CRITICAL REVIEW
Sebuah
artikel yang berjudul “Classroom Discourse to
Foster Religious Harmony” yang ditulis oleh A. Chaedar Alwasilah, Bandung | Opinion | Sat,
October 22 2011, 12:07 PM adalah sebuah artikel yang membahas tentang
pentingnya wacana sipil untuk membangun masyarakat yang mempunyai rasa
toleransi tinggi antar umat beragama. Indonesia merupakan negara yang kaya akan
suku bangsa, budaya, bahasa, dan agamanya. Tujuan dari artikel yang ditulis
oleh A. Chaedar Alwasilah adalah agar para pendidik dapat mengajarkan dan
membimbing siswa untuk bisa menjadi warga negara yang siap akan
perbedaan-perbedaan yang dimiliki negaranya. Para siswa harus dilatih untuk
dapat saling menghargai dan menghormati antara perbedaan yang ada tersebut.
Pendidikan
adalah suatu lembaga yang akan menanamkan sikap, budi pekerti serta pengetahuan
yang baik pada peserta didiknya, sehingga dapat mencetak individu dan warga
negara yang cerdas. Pendidikan merupakan faktor penting dalam menentukan
kemajuan sebuah negara. Ketika sebuah negara memiliki lembaga pendidikan yang
berkualitas, maka sumber daya manusia di negara tersebut akan memiliki kualitas
yang baik pula. Jika ingin
mengetahui kualitas suatu bangsa, kita dapat melihat kualitas dan praktek sistem
pendidikan. Hampir semua negara maju menyadari link ini dan dengan demikian
membentuk sistem pendidikan yang baik. Menurut UU republik
indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional
pasal 1 Pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Pendidikan
merupakan sarana strategis untuk meningkatkan kualitas suatu bangsa, karenannya
kemajuan suatu bangsa dapat diukur dari kemajuan pendidikannya. Kemajuan
beberapa negara di dunia ini tidak terlepas dari kemajuan yang di mulai dari
pendidikannya, pernyataan tersebut juga diyakini oleh bangsa ini. Namun pada
kenyataannya, sistem pendidikan Indonesia belum menunjukkan keberhasilan yang
diharapkan.
Pendidikan
di Indonesia masih belum berhasil menciptakan sumber daya manusia (SDM) yang
andal apalagi sampai taraf meningkatkan kualitas bangsa. Krisis multidimensi
yang dialami bangsa ini diyakini banyak kalangan akibat gagalnya sistem
pendidikan yang digunakan, juga merosotnya indeks pembangunan manusia (IPM)
atau Human Deveopment Index (HDI) Indonesia tidak terlepas dari
rendahnya kualitas pendidikan di negeri kita ini.
Data
UNDP tahun
2000 tentang Human
Development Report atau Human Development Indeks menunjukkan
dari 174 negara, Indonesia pada posisi yang kurang menguntungkan bahkan
memprihatinkan. Kita berada pada posisi ke-109, hanya 1 (satu) tingkat di atas
Vietnam. Sementara Malaysia pada posisi ke-56, Brunai di posisi ke-25 dan
Singapura berada diperingkat ke-22. pendeknya semua negara ASEAN berada pada
kisaran angka ke-100. Kecuali negara kita tercinta, bahkan Jepang satu-satunya
negara ASEAN yang mampu bertengger di atas, yakni pada posisi ke-4.
Sedangkan
pada tahun 2003 IPM Indonesia merusut lagi dari 0,684 menjadi 0,0682; hal ini
menyebabkan peringkat Indonesia di antara 175 negara juga merosot; dari posisi
ke-109 menjadi posisi ke-112. Tingkat partisipasi
pendidikan yang rendah, angka drop-out
yang tinggi, angka melanjutkan yang terbatas, prestasi belajar siswa yang
rendah dan sebagainya, merupakan indikator gagalnya pendidikan nasional kita.
Peningkatan
kualitas bangsa lewat jalur pendidikan, setidaknya ada beberapa faktor yang
perlu diperhatikan: diantaranya pembentukan karakter dan budi pekerti anak
didik. Dengan kondisi yang demikian, pendidikan karakter atau budi pekerti
menjadi sesuatu yang penting. Pendidikan karakter atau pendidikan budi pekerti,
menginginkan pembentukan karakter pelajar (character building), yang
nantinya mempengaruhi pola pikir dan prilaku. Tepatnya, ini adalah bagian
penting upaya mencerdaskan moralitas manusia muda pada masa fermative years-nya.
Yang pada akhirnya nanti akan melahirkan individu-individu baru, dan siap
bersaing dengan negara lainnya.
Pendidikan
moral (budi pekerti) adalah suatu kesepakatan tentang apa yang seharusnya
dilakukan oleh manusia dengan tujuan untuk mengarahkan generasi muda atas
nilai-nilai (values) dan kebajikan (virtues), yang akan
membentuknya menjadi manusia yang baik (good peoples). Tujuan lainnya
adalah membentuk kapasitas intelektual pada generasi muda yang memungkinkannya
untuk membuat keputusan bertanggungjawab atas hal atau permasalahan rumit yang
dihadapinya dalam kehidupan.
Moral
secara turun temurun diajarkan kepada generasi muda melalui penanaman kebiasaan
(cultivation) yang menekankan pada mana yang benar dan mana yang salah
secara absolut. Sedangkan hal yang di ajarkan kepada siswa didik, adalah
mengenalkan pada mereka nilai baik dan salah dan memberikan hukuman secara
langsung maupun tidak manakala terjadi pelanggaran. Yang tidak kalah penting,
pendidikan ini juga menghendaki adanya penghayatan bahwa ilmu yang dipelajari
akan diamalkan tanpa pamrih. Sifat ilmu yang tanpa pamrih ini (scientific
disinterestedness), merupakan suatu etos ilmiah yang tetap harus dijunjung
tinggi sampai saat ini.
Konflik sosial dan ketidakharmonisan
agama khususnya merupakan tantangan bagi pendidik dalam melakukan yang terbaik
untuk mempersiapkan generasi berikutnya sebagai warga negara yang demokratis
dengan karakter yang baik sebagaimana diatur dalam UU Sisdiknas. Indonesia merupakan negara yang
kaya akan suku bangsa, budaya, agama dan bahasanya. Keanekaragaman dan kekayaan
Indonesia tersebut seharusnya menjadi kebanggaan bagi bangsa Indonesia, namun
bagi orang-orang tertentu, keanekaragaman tersebuat sering dijadikan sebagai
perbedaan yang saling mengunggulkan kelompoknya masing-masing. Dalam lingkungan
sosial kurangnya rasa saling menghargai dan menghormati antar kelompok sosial dapat
menyebabkan terjadinya konflik sosial. Konflik sosial adalah sebuah
permasalahan sosial yang disebabkan oleh adanya perdebatan tentang perbedaan
antara kelompok sosial. Menurut Soerjono Soekanto, Pengertian konflik sosial
adalah suatu proses social dimana individu atau kelompok berusaha untuk
memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan yang disertai dengan
ancaman atau kekerasan.
Menurut
teori konflik, masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang di
tandai oleh pertentangan yang terus menerus diantara unsure-unsurnya. Teori
konflik melihat bahwa setiap elemen memberikan sumbangan terhadap disintegrasi
sosial. Teori konflik melihat bahwa keteraturan yang terdapat dalam masyarakat
itu hanyalah disebabkan karena adanya tekanan atau pemaksaan kekuasaan dari
atas golongan yang berkuasa. Konflik merupakan kenyataan hidup, tidak
terhindarkan dan sering bersifat kreatif. Konflik terjadi ketika tujuan
masyarakat tidak sejalan, berbagai perbedaan pendapat dan konflik biasanya bisa
diselesaikan tanpa kekerasaan, dan sering menghasilkan situasi yang lebih baik
bagi sebagian besar atau semua pihak yang terlibat (Fisher, 2001).
Secara
teoritis, konflik yang terjadi dalam masyarakat dapat dibedakan kedalam dua
bentuk, yaitu konflik sosial vertikal dan horizontal. Konflik sosial vertikal
adalah konflik yang terjadi antara masyarakat dan Negara dan dapat dikatakan
konflik laten, sebab benih-benih konflik sudah ada dan telah terpendam pada
masa sebelumnya. Konflik sosial horizontal, disebabkan karena konflik antar
etnis, suku, golongan, agama, atau antar kelompok masyarakat yang dilatar
belakangi oleh kecemburuan sosial yang memang sudah terbentuk dan eksis sejak
masa kolonial.
Soerjono
Soekanto
mengemukakan bahwa sebab sebab terjadinya konflik antara lain sebagai berikut.
1. Perbedaan antar perorangan.
Perbedaan-perbedaan
inilah yang dapat menjadi salah satu penyebab terjadinya konflik sosial, sebab
dalam menjalani sebuah pola interaksi sosial, tidak mungkin seseorang akan
selalu sejalan dengan individu yang lain.
2. Perbedaan kebudayaan.
Perbedaan
kebudayaan mempengaruhi pola pemikiran dan tingkah laku perseorangan dalam
kelompok kebudayaan yang bersangkutan. Dalam lingkungan kelompok masyarakat
yang samapun tidak menutup kemungkinan akan terjadi perbedaan kebudayaan,
karena kebudayaan lingkungan keluarga yang membesarkannya tidak sama. Apabila
tidak terdapat rasa saling pengertian dan menghormati perbedaan tersebut, tidak
menutup kemungkinan faktor ini akan menimbulkan terjadinya konflik sosial.
3. Bentrokan kepentingan.
Bentrokan
kepentingan dapat terjadi di bidang ekonomi, politik, dan sebagainya. Hal ini
karena setiap individu memiliki kebutuhan dan kepentingan yang berbeda dalam
melihat atau mengerjakan sesuatu. Demikian pula halnya dengan suatu kelompok
tentu juga akan memiliki kebutuhan dan kepentingan yang tidak sama dengan
kelompok lain.
4. Perubahan sosial yang terlalu cepat
dalam masyarakat.
Perubahan
tersebut dapat menyebabkan terjadinya disorganisasi dan perbedaan pendirian
mengenai reorganisasi dari sistem nilai yang baru. Perubahan-perubahan yang
terjadi secara cepat dan mendadak akan membuat keguncangan proses-prosessosial
di dalam masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk
perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehidupan masyarakat yang telah
ada. Sebenarnya perubahan adalah sesuatu yang wajar terjadi, namun jika
terjadinya secara cepat akan menyebabkan gejolak sosial, karena adanya
ketidaksiapan dan keterkejutan masyarakat, yang pada akhirnya akan menyebabkan
terjadinya konflik sosial.
Kurangnya rasa toleransi antar umat
beragama merupakan salah satu contoh konflik sosial yang sering terjadi di
Indonesia. Hal ini juga disebabkan bangsa Indonesia kurang memahami arti dari
dasar Negara Indonesia sendiri, yaitu Pancasila. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Toleransi yang berasal dari kata “toleran” berarti bersikap atau
bersifat menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan), pendirian (pendapat,
pandangan, kepercayaan, kebiasaan, dsb) yang berbeda atau yang bertentangan
dengan pendiriannya. WJS. Poerwadarminta mengartikan toleransi dengan
kelapangan dada, dalam arti suka rukun kepada siapapun, membiarkan orang lain
berpendapat atau berpendirian lain, tak mau mengganggu kebebasan berpikir dan
keyakinan orang lain”. Jadi toleransi (tasamuh) beragama adalah menghargai
dengan sabar, menghormati keyakinan atau kepercayaan seseorang atau kelompok
lain. Kesalahan memahami arti toleransi dapat mengakibatkan talbisul haqbil
bathil (mencampuradukkan antara hak dan bathil) yakni suatu sikap yang sangat
terlarang dilakukan seorang muslim, seperti halnya nikah antar agama yang
dijadikan alasan adalah toleransi padahal itu merupakan sikap sinkretisme yang
dilarang oleh Islam. Sinkretisme adalah membenarkan semua agama.
Siswa harus diberi kesempatan untuk
berinteraksi dengan satu sama lain melalui tugas-tugas kelompok untuk berlatih
mendengarkan penuh perhatian, berdebat hormat dan suara mengorbankan untuk
mempersiapkan mereka untuk hidup sebagai anggota fungsional dari suatu
masyarakat yang demokratis . Dalam pertumbuhan dan perkembangan
demokrasi di Indonesia, peran pendidikan sangat besar, karena melalui
pendidikan maka pengetahuan dan pemahaman kesadaran demokrasi warga negara
dapat ditingkatkan. Selama ini demokrasi berjalan sesuai dengan persepsi dan
intepretasi masing-masing. Oleh karena itu dalam perjalnannya demokrasi
menyimpang dari jalan atau jalur yang sebenarnya. Kebanyakan orang menyebut
demokrasi kebablasan. Kesalahan persepsi dan interpretasi inilah yang menjadi
penyebab munculnya fenomena seperti diuraikan sebelumnya.
Fenomena tersebut menunjukkan bahwa
kita tidak siap untuk berdemokrasi, demokrasi belum sepenuhnya menjadi
kesadaran dan mental bangsa Indonesia. Perilaku politik sebagian anggota partai
yang paling besar dan paling demokratis sekalipun masih terlalu pekat dengan
sikap tradisionalnya, juga sikap masyarakat terhadap masalah kebebasan dan
toleransi umat beragama yang ternyata masih jauh panggang dari api
demokrasi. Begitu pula halnya penggunaan
kekerasan politik di masyarakat dalam menyelesaikan masalah. Untuk itu
pendidikan politik perlu diberikan sejak dini, khususnya dalam pembelajaran di
sekolah.
Demokrasi mempunyai paling tidak
ada dua konteks, yaitu pertama, dalam kehidupan bernegara, yang menyangkut
sisitem pemerintahan, peran lembaga, dan partai politik. Kedua, demokrasi
sebagai perilaku dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam kaitannya dengan kehidupan bernegara,
demokrasi adalah:
- Abraham Lincoln, bahwa demokrasi adalah system pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat (Suwarma, 2001: 6.43)
- John Dewey, bahwa demokrasi adalah:
·
Pandangan hidup yang dicerminkan dengan
perlunya partisipasi dari setiap warga Negara yang sudah dewasa dalam membentuk
nilai-nilai yang mengatur kehidupan bersama
·
Situasi keyakinan, prinsip pertama dan
paling utama yang harus dijabarkan dan dilaksanakan secara sisitematis dalam
bentuk aturan social politik
·
Suatu bentuk kehidupan bersama dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara (Zamroni, 2000:45)
- Meliputi authority, human right, personality, dan responsibility (Zamroni, 2000:31)
Dalam kaitannya dengan kehidupan
bermasyarakat, demokrasi menurut John Dewey adalah:
1. Bebas
untuk berinisiatif, berkreasi dan bertindak sesuai dengan aturan yang berlaku
2. Mengahargai
dan mau mendengar pendapat orang lain
3. Mengakui
adanya perbedaan dalam berbagai hal
4. Sistem
hokum yang objektif dan mandiri
5. Struktur
social, politik dan ekonomi yang menjauhi monopoli dan memungkinkan terjadinya
mobilitas yang tinggi dan kesempatan yang adil bagi semua orang
6. Kebebasan
berpendapat agar ide-ide warga masyarakat dapat diserap oleh pemerintah
7. Kebebasan
menentukan pilihan pribadi (Zamroni, 2001: 31)
Dalam
pengaturan multikultural , siswa berasal dari latar belakang etnis , agama dan
sosial yang berbeda dan pola pikir mereka dominan dibentuk oleh latar belakang
mereka. Saling menghargai, menghormati dan
toleransi antar umat beragama merupakan sikap yang akan meningkatkan rasa
persatuan dan kesatuan diantara perbedaan-perbedaan yang ada di Indonesia.
Menghargai persamaan Kedudukan Warga Negara Tanpa Membedakan Ras, Agama,
Gender, Golongan, Budaya dan Suku.Sebagaimana kita ketahui, semboyan bangsa
Indonesia adalah Bhineka Tunggal Ika. Perbedaan yang ada hendaknya tidak
dianggap sebagai ancaman tetapi lebih merupakan anugerah. Untuk meningkatkan
kesatuan dan persatuan diantara semua komponen bangsa, maka perbedaan itu harus
disikapi sedemikian rupa sehingga terjalin keserasian hidup. Semua warga Negara
Indonesia yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan orang-orang bangsa
Indonesia asli dalam mewujudkan kejayaan bangsa dan Negara Indonesia dimata
dunia internasional. Kita harus saling menghormati dan saling menghargai.
Idealnya
kebijakan harus ditegakkan dimana sekolah yang dikelola oleh guru dan tenaga
yang berbeda agama, etnis dan dari kelompok-kelompok sosial yang berbeda.
Kampus ini juga harus menyediakan tempat ibadah bagi siswa dari semua agama.
Siswa akan belajar bagaimana orang lain melakukan ritual keagamaan. Dan ini
akan menjadi bentuk efektif pendidikan agama dalam lingkungan sekolah
multikultural. Setiap
warga negara memiliki hak yang sama. Kebebasan dalam memeluk agama merupakan
hak individu. Sesuai yang tercantum dalam UU Hak
Asasi Manusia Pasal 28E yang berbunyi:
(1) Setiap orang bebas memeluk agama dan
beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih
pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal diwilayah negara dan
meninggalkannya, serta berhak kembali.
(2) Setiap orang atas kebebasan meyakini
kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
(3) Setiap orang berhak atas kebebasan
berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Perbedaan
Agama, Pasal 29 ayat 2 UUD 1945 menyatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agama dan kepercayaannya itu. Untuk itu maka pemerintah membentuk
lembaga keagamaan. Lembaga keagamaan adalah suatu organisasi yang mengatur,
mengurus, serta membahas dan menyelesaikan segala masalah yang menyangkut
keagamaan. Adapun fungsi dari lembaga keagamaan adalah :
1. Tempat untuk membahas dan
menyelesaikan segala masalah yang menyangkut keagamaan
2.
Media menyampaikan gagasan yang bermanfaat
bagi pembangunan umat dan bangsa.
3.
Wahana
silahturahmi yang dapat menumbuhkan rasa persaudaraan dan kekeluargaan.
4. Tempat berdialog antara sesame
anggota antarkelompok agama.
Untuk
membina sikap saling menghormati dalam kehidupan Bergama maka dalam lingkungan
masyarakat harus diciptakan :
1) Toleransi antarumat beragama;
2)
Kemerdekaan
beragama dilaksanakan dengan adil dan benar;
3)
Menumbuhkan
kerukunan dalam pergaulan;
4)
Menumbuhkan
saling pengertian dalam pergaulan;
5) Tidak bersikap reaktif dan
menentang.
Untuk
meningkatkan kerukunan hidup antar umat beragama di Indonesia dan demi
tercapainya persatuan dan kesatuan bangsa maka setiap warga Negara hendaknya
menjalankan agama masing-masing dan saling menghormati, misalnya dengan sikap
sebagai berikut:
1. Memberi kesempatan pemeluk agama
lain yang akan melaksanakan kegiatan keagamaannya dan tidak menggangu atau
berbuat gaduh/kacau terhadap agama lain.
2.
Saling
membantu dalam bidang kemanusiaan atau social, seperti gotong royong, membantu
korban bencana dan lain-lain.
3. Mengadakan musyawarah wakil-wakil
agama yang berbeda secara mandiri maupun dengan pihak pemerintah demi
kepentingan bersama.
Peran
serta lembaga keagamaan bagi pembangunan kehidupan diri, bangsa, dan Negara,
yaitu :
a) Bagi kehidupan pribadi untuk
meningkatkan iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
b)
Bagi
lembaga lembaga keagamaan untuk membina kerukunan umat beragama dan
menyelesaikan masalah intern umat seagama.
c) Bagi kehidupan masyarakat untuk
membina kerukunan antarumat beragama dan kerjasama dalam masalah yang bersifat
kemanusiaan.
Mengakui
keberadaan dan hak agama lain hanyalah cukup untuk mengurangi fanatisme, tapi
belum cukup memberikan kontribusi dalam memperkuat eksistensi pluralisme. Dalam
bahasa Nurcholish Madjid, ini baru sebatas "kebaikan negatif."
Menurutnya, pluralisme harus dipahami sebagai pertalian sejati kebhinekaan
dalam ikatan-ikatan keadaban (genuine engagement of diversities within the bond
of civility). Hal lain yang perlu dikembangkan adalah memberikan landasan
multikultural dalam pendidikan agama. Perspektif multikultural dalam pembelajaran
agama membantu peserta didik untuk memahami dan mengapresiai
perbedaan-perbedaan dan persamaan-persamaan, agar keragaman dianggap sebagai
kekayaan sosial, bukan sebagai penghambat kemajuan bersama. Sikap-sikap
apresiatif merupakan modal individual dan sosial agar dapat berinteraksi,
bernegosiasi, dan berkomunikasi dengan orang-orang dari berbagai kelompok guna
menciptakan harmoni bersama di tengah masyarakat pluralistik dan demokratik.
Jika pendidikan agama memperhatikan aspek-aspek seperti di
atas maka pendidikan agama sesungguhnya telah menyiapkan peserta didik untuk
hidup a part of society, atau bagian dari masyarakat yang sesungguhnya, yaitu
masyarakat yang heterogen secara sosial, budaya, agama, paham keagamaan, etnis,
dan gender. Sebaliknya, jika pendidikan agama mengabaikan keragaman seperti di
atas maka pendidikan agama sebenarnya justeru menyiapkan peserta didik untuk
hidup a part of society, atau jauh dari konteks kehidupan sosial yang
sebenarnya.
Dari
pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa pendidikan merupakan suatu wadah
dimana seorang siswa akan disiapkan untuk menjadi individu dan warga negara
yang baik. Membentuk kepribadian siswa sebagai warga negara yang demokratis,
merupakan salah satu cara agar siswa Indonesia mempunyai rasa demokrasi
terhadap perbedaan-perbedaan multicultural di Indonesia. Indonesia merupakan
negara yang kaya akan suku bangsa, budaya, bahasa dan agamanya. Sikap toleransi
antar individu atau kelompok harus
ditanamkan sejak siswa menginjak pendidikan dasar. Dengan terciptanya rasa
toleransi, masalah atau konflik sosial pun dapat terhindari. Keanekaragaman
suku bangsa, budaya, bahasa yang dimiliki Indonesia tersebut seharusnya menjadi
suatu kebanggaan dan kekayaan bangsa Indonesia, bukan menjadi batasan-batasan
pembeda antara satu dengan yang lainnya.
REFERENCES
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic