Critical Review
Pendidikan
adalah wadah untuk menyalurkan kecerdasan dan kemampuan yang di miliki oleh
makhluk sosial. Pendidikan tidak lepas dari pendidikan agama karena dengan
pendidikan agama kita bisa mengontol diri kita sendiri untuk tidak melakukan
perbuatan yang tercela. Ditengah-tengah maraknya aksi-aksi yang mengancam
kerukunan umat beragama dan berkeyakinan di Indonesia, kerukunan umat beragama
semakin menurun. Misalnya dari kebebasan beribadah sampai intoleransi, namun
masi yang melihat bahwa Indonesia masih menjadi laboratorium bagi kerukunan
umat beragama.
Salah satu tujuan dari
pendidikan dasar adalah untuk memberikan siswa keterampilan dasar untuk
mengembangkan kehidupan mereka sebagai individu, anggota masyarakat dan warga
negara. Masalah sosial berulang seperti tawuran pelajar, bentrokan pemuda dan bentuk
lain dari radikalisme diseluruh Indonesia adalah indikasi dari penyakit sosial,
yaitu kurangnya semata-mata kepekaan dan rasa hormat terhadap orang lain dari
kelompok yang berbeda. Konsep interaksi dengan rekan sebaya adalah komponen
penting dalam teori pembangunan sosial (Rubin, 2009). Dalam pengaturan
multikultural, siswa berasal dari latar belakang etnis, agama dan sosial yang
berbeda dan pola pikir mereka dominan dibentuk oleh latar belakang mereka. Program sekolah harus sengaja
memfasilitasi interaksi rekan untuk mengembangkan wacana sipil positif. Cara
tradisional pengajaran agama telah dikritik karena menekankan aspek teologis
dan ritual, sementara mengabaikan aspek-aspek sosial, interaksi yaitu horizontal
dan toleransi antar pengikut agama yang berbeda. Dalam konteks Indonesia,
pendidikan liberal harus mencakup pengetahuan etnis, agama dan minoritas bahasa
dan budaya. Dengan demikian didefinisikan, pendidikan liberal bertujuan membebaskan
siswa dari sikap rabun provinsi terhadap orang lain. Pada dasarnya, itu
penempaan kamil insan, yaitu orang yang ideal yang memenuhi kriteria untuk
mengasumsikan setiap pekerjaan atau penunjukan sebagai warga negara yang
demokratis.
Pendidikan
dasar merupakan faktor terpenting dalam kehidupan manusia. Keterampilan dasar
ini juga merupakan dasar untuk pendidikan lebih lanjut. Menurut Djadja, Jenjang
pendidikan dasar merupakan jenjang terbaweah dari system pendidikan nasional,
seperti yang ditetapkan dalam UU 20/2003. Pendidikan dasar diselenggarakan
untuk mengembangkan sikap dan kemampuan serta memberikan pengetahuan dan
keterampilan dasar yang diperlukan untuk hidup dalam masyarakat serta
mempersiapkan peserta didik yang memenuhi persyaratan untuk mengikuti pendidikan
di tingkat menengah dan pendidikan tinggi.
Pendidikan
dasar merupakan peletak dasar sebagai pendidikan untuk tahap-tahap berikutnya
karena dengan mengikuti gagasan konsep belajar sepanjang hidup, pendidikan
dasar memberikan tekanan kepada belajar untuk mengetahui(learning to know), belajar untuk bekerja (learning to do),
belajar menjadi dirinya sendiri (learning to be) dan
belajar hidup bersama (learning to live together), yang semuanya ini
merupakan bekal untuk terus belajar di jenjang pendidikan lebih lanjut. Pendidikan
dasar merupakan pondasi yang paling kuat dalam menanamkan kecerdasan bagi
siswa.
Data dari studi Ariliaswati
diperoleh dalam penelitian tindakan tiga siklus yang dilakukan dengan kelas empat
dari 43 siswa di sebuah sekolah dasar di Pontianak, kota di mana bentrokan anta
retnis telah terjadi cukup sering. Studi ini membuktikan bahwa sekolah harus
berfungsi sebagai laboratorium untuk latihan masyarakat sipil. Penelitian
Tindakan Kelas (Classroom Action Research) adalah penelitian yang dilakukan
oleh guru yang berfokus pada masalah-masalah yang ada di kelas yang bertujuan
memperbaiki mutu praktik pembelajaran di kelas. Sehingga dapat menciptakan dan
mempertahankan kondisi yang optimal dalam proses belajar mengajar. Kegiatan
yang termasuk dalam hal ini misalnya, penghentian tingkah laku siswa yang
mengganggu jalannya pembelajaran, seperti berkelahi dengan sesama siswa. Riset-riset
pendidikan pada dasarnya dapat digolongkan dalam empat katagori (Candy, 1989;
McTaggart, 1991; Connole, 1993 dalam Andreas Priyono,2008) yaitu:
1. Emperisme
Adalah
jenis penelitian yang nenekankan metode ilmiah sebagai satu-satunya metode yang
menghasilkan pengetahuan.
2. Intepretivisme
Menyakini
bahwa pengetahuan atau fakta atau realita itu dapat berubah.
3. Criticalisme
Memandang
bahwa pengetahuan itu disamping subyektif juga problematik, artinya pengetahuan
itu disamping dipengaruhi oleh unsur-unsur subyektif juga dipengaruhi oleh kekuatan yang
mempengaruhi peneliti, untuk itu penelitian ini menekankan aspek pemikiran reflektif
atau krisis terhadap segala faktor luar yang dapat mempengaruhi kualitas
penelitian itu sendiri.
4. Post-Criticalisme
Adalah
penelitian yang menekankan bahwa
kebenaran atau realita itu sebenarnya tidak ada. Apa yang disebut
realitas itu hanya sebatas bahasa yang mengungkapkan.
Pendidikan
dasar merupakan pondasi yang paling kuat dalam menanamkan karakter dan
kecerdasan bagi siswa serta memiliki rasa saling toleransi sesama manusia. Jika
pondasi dari dasarnya kurang kuat maka nantinya akan menimbulkan
konflik-konflik sosial. Masyarakat mengalami kondisi mental spiritual yang
sangat rapuh, seperti perilaku amoral,
asusila, dan gejala-gejala buruk lainnya suadah dianggap sebagai hal biasa,
bahkan dipersepsi sebagai budaya dan kebiasaan yang melekat pada masyarakat.
Misalnya, perilaku korupsi telahdilakukan secara terbuka oleh pemerintah dari
pusat sampai tingkat paling bawah. Akibatnya tidak ada lagi sikap percaya
kepada pemimpin, dan lama-lama berkembang menjadi saling curiga diantara sesama
warga dan kelompok. Hilangnya perasaan akan nilai-nilai kemanusiaan, seperti
memudarnya sikap ramah, toleran, rukun, dan suka menolong, dan tiba-tiba
berubah menjadi sikap suka bertengkar. Misalnya, karena persoalan kecil memicu
perkelahian antar pemuda sebagai pertikaian antar ras, antar etnis, dan antar
agama. Gejala-gejala tersebut merupakan fakta kehidupan yang tidak hanya
terjadi di Indonesia, melainkan dapat terjadi di mana saja di seluruh
masyarakat di dunia ini.
Konflik sosial dan
ketidak harmonisan agama khususnya merupakan tantangan bagi pendidik dalam
melakukan yang terbaik untuk mempersiapkan generasi berikutnya sebagai warga
negara yang demokratis dengan karakter yang baik sebagaimana diatur dalam UU
Sisdiknas. Realitas kehidupan bermasyarakat menunjukan betapa pentingnya untuk
ikut serta dalam kehidupan bersama yang lebih intensif. Sebagaimana kita
ketahui saat ini kita telah berada dalam perikehidupan global yang penuh dengan
tantangan dan persaingan. Tantangan dan persaingan yang terjadi tidak lagi
bersumber dari dalam negeri, tetapi juga dari dunia internasional.
Pada era globalisasi
dan pasar bebas, dimana bangsa Indonesia ikut terlibat di dalamnya, maka tidak
ada pilihan lain bahwa warga nengara bersama pemerintah harus peka terhadap
masalah-masalah yang terkait dengan hak asasi manusia. Masalah hak asasi
manusia tersebut menyangkut seluruh aspek kehidupan baik dibidang ekonomi,
sosial, budaya, politik, serta pertahanan dan keamanan.
Dalam kehidupan bermasyarakat,
agama memegang peranan yang besar dan sangat penting. Keberadaan agama di
tengah-tengah masyarakat tidak dapat diabaikan. Agama mengatur tentang
bagaimana membentuk masyarakat yang madani. Agama juga yang mampu menciptakan
kerukunan dalam kultur masyarakat yang majemuk. Seperti yang kita semua ketahui
bahwa tidaklah mudah untuk hidup dalam perbedaan. Setiap perbedaan, utamanya
perbedaan pendapat yang ada di masyarakat dapat memicu timbulnya perselisihan.
Di sinilah posisi agama memainkan perannya yang penting sebagai penegak hukum
dan menjaga agar masyarakat saling menghormati dan tunduk pada hukum yang
berlaku. Jadi semuanya tidak
tergantung kepada pendidik saja melainkan seluruh warga negara harus ikut serta
dalam menciptakan generasi yang terbaik di masa yang akan datang.
Menurut Abdul Rokhimaja dalam
blognya mengatakan bahwa dalam perspektif masyarakat sekarang, pada masa-masa
ini agama dinilai tidak mampu memberikan perannya secara maksimal dalam
mengatasi masalah-masalah kenegaraan yang ada dalam kehidupan masyarakat
Indonesia, utamanya masalah sosial dan ekonomi. Bahkan dalam beberapa aspek,
agama dinilai sebagai pemicu munculnya konflik sosial dalam kehidupan
masyarakat. Hal itu bisa menjadi masalah yang serius. Peran agama dalam
mengukir masa depan bangsa Indonesia sangat diharapkan kembali oleh rakyat
Indonesia, mengingat "gagalnya" pemerintah dalam menyelesaikan
permasalahan-permasalahan tersebut. Dalam momentum inilah agama menjadi harapan
akhir rakyat dalam mengatasi permasalahan-permasalahan yang kini semakin
kompleks.
Langkah awal yang paling tepat
untuk menggugah kembali potensi agama dalam mengatasi masalah-masalah
kenegaraan (sosial-ekonomi) adalah dengan mengubah paradigma para agamawan dari
orientasi yang selalu bertumpu pada dasar ritual menuju peran sosial-ekonomi
yang potensial untuk dicampuri oleh agamawan. Langkah selanjutnya yaitu
mengubah pola pikir para agamawan tersebut.
Mereka (para agamawan) dituntut untuk dapat
merealisasikan konsep keagamaannya, kemudian memberikan solusi praktis
penyelesaiannya. Hal ini penting bagi masa depan bangsa ini untuk mencapai
cita-cita, dan penting pula bagi para agamawan itu sendiri untuk memaksimalkan
potensi yang sebenarnya ada pada diri agama mereka melalui peran para agamawan
hendaknya tidak hanya memberikan peran sebatas pada pemberian hukum atas
persoalan-persoalan dan sisi-sisi kehidupan mereka. Peran agamawan tidak hanya
sebatas pembimbing mental-spiritual mereka. Lebih dari itu, para agamawan
dituntut untuk bisa memberikan solusi nyata penyelesaian persoalan, misalnya
dengan membentuk lembaga-lembaga yang menampung mereka dan mengembangkan
potensi-potensi yang mereka miliki sehingga mereka dapat menyalurkan dan
memanfaatkan potensinya dan menunjang perekonomiannya sendiri tanpa harus
melakukan tindakan kriminal. Setidaknya, peran
serta seperti itulah yang selama ini seharusnya dilakukan oleh agamawan. Karena
pada realita menunjukkan bahwa itulah potensi yang dimiliki agama dalam menata
kehidupan ini, seperti dahulu ketika agama berpartisipasi dalam membebaskan
kita dari tirani penjajahan.
Dengan kontribusi signifikan dari
agama dalam menyelesaikan permasalahan yang berkembang di negara ini, berarti
agama telah menampakkan wujud aslinya dan telah memaksimalkan potensinya dalam
menata kehidupan sosial masyarakat. Sehingga peran agama pun tidak hanya
terlihat dalam sisi ritual-spiritual masyarakat saja, namun agama juga mewarnai
kehidupan sosial-ekonomi masyarakat ini. Maka di sinilah kita menemukan peran
universal agama dalam kehidupan masyarakat, Indonesia khususnya.
Konsep interaksi dengan
rekan sebaya adalah komponen penting dalam teori pembangunan sosial ( Rubin,
2009). Dalam pengaturan multikultural, siswa berasal dari latar belakang etnis,
agama dan sosial yang berbeda dan pola pikir mereka dominan dibentuk oleh latar
belakang mereka. Program sekolah harus sengaja memfasilitasi interaksi rekan
untuk mengembangkan wacana sipil positif. Sekolah
merupakan system yang terstruktur, interaksi yang terjadi antar warga sekolah
tentu tidak selamanya baik-baik saja, apalagi jika kita melihat
fenomena-fenomena yang banyak terjadi di Negara Indonesia menganai perilaku
menyimpang remaja di sekolah. Hal ini berpengaruh terhadap sistem sekolah dan
yang paling besar pengaruhnya yaitu terhadap pribadi dan masa depan siswa itu
sendiri.
Dalam
pergaulan remaja, kebutuhan untuk dapat diterima bagi setiap individu merupakan
suatu hal yang sangat mutlak sebagai mahluk sosial. Setiap anak yang memasuki
usia remaja akan dihadapkan pada permasalahan penyesuaian sosial, yang
diantaranya adalah problematika pergaulan teman sebaya. Pembentukan sikap,
tingkah laku dan perilaku sosial remaja banyak ditentukan oleh pengaruh
lingkungan ataupun teman-teman sebaya. Interaksi tidak bisa di pisahkan dengan
komunikasi.
Menurut Imam
Subqi, komunikasi merupakan
keterampilan yang sangat penting dalam kehidupan manusia, dimana dapat kita
lihat komunikasi dapat terjadi pada setiap gerak langkah manusia. Dalam
kegiatan belajar mengajar, komunikasi antar pribadi merupakan suatu keharusan,
agar terjadi hubungan yang harmonis antara pengajar dengan peserta belajar.
Keefektifan komunikasi dalam kegiatan belajar mengajar ini sangat tergantung
dari kedua belah pihak. Akan tetapi karena pengajar yang memegang kendali
kelas, maka tanggung jawab terjadinya komunikasi dalam kelas yang sehat dan
efektif terletak pada tangan pengajar. Keberhasilan pengajar dalam mengemban
tanggung jawab tersebut dipengaruhi oleh keterampilannya dalam melakukan
komunikasi.
Pembelajaran
sebagai subset dari proses pendidikan harus mampu memberikan kontribusi
terhadap peningkatan kualitas pendidikan, yang pada ujungnya akan berpengaruh
terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia. Agar pembelajaran dapat
mendukung peningkatan mutu pendidikan, maka dalam proses pembelajaran harus
terjadi komunikasi yang efektif, yang mampu memberikan kepahaman mendalam
kepada peserta didik atas pesan atau materi belajar.
Manusia adalah makhluk sosial yang
tergantung satu sama lain dan mandiri serta saling terkait dengan orang lain di
lingkungannya. Oleh
sebab itu manusia tidak dapat hidup sendiri. Mereka membutuhkan orang lain.
Contoh dalam pengajaran pembelajaran guru dengan siswa mempunyai hubungan
keterkaitan yang sangat erat dalam pembelajaran. Jika tidak ada guru tidak akan
tercipta generasi berikutnya. Pembelajaran agama sangat penting dalam
pendidikan. Dengan adanya pendidikan agama, kita dapat saling menghargai dan
menghormati serta toleransi antar agama yang berbeda.
Cara pengajaran agama
tradisional telah dikritik karena menekankan aspek teologis dan ritual, sementara
mengabaikan aspek-aspek sosial, interaksi dan toleransi antar pengikut agama
yang berbeda. Kritikan cara pengajaran agama tradisional yang menyebutkan
mengabaikan aspek-aspek sosial, interaksi dan toleransi itu semua tidak benar.
Ini semua bisa kita lihat dalam pasal 28E yang berbunyi:
1.
Setiap orang berhak memeluk
agama dan beribadah menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran,
memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal dan
meninggalkannya, serta berhak kembali.
2.
Setiap orang berhak atas
kebebasan menyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan
hati nuraninya.
3.
Setiap orang berhak atas
kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.
Hal ini diperkuat
dengan penilaian dari Franco Frattini ini oleh Mochsen, saat berlangsung Dialog
Pengembangan Wawasan Multikultural bagi tokoh agama, pemuda, dan mahasiswa
lintas agama di Palu, (Kompas, 10 Januari 2012). Dalam diskusi tersebut
terdapat tiga tantangan yang akan dihadapi kerukunan umat beragama dari dampak
krisis ekonomi global yang akan terakumulasi dalam berbagai sektor,
problematika kehidupan beragama yang semakin kompleks, termasuk pemilihan umum
lima tahunan yang akan berlangsung dua tahun lagi.
Dalam hal ini maka
agama menjadi rawan dari akses-akses negatif dari ranah politik praktis. Inilah
yang bisa mengganggu Indonesia menjadi laboratorium kerukunan umat beragama.
Sebenarnya, Indonesia sebagai lokus dari laboratorium umat beragama, sudah lama
kita ketahui bersama, seperti yang dinyatakan oleh Mohamad Monib”, Penilaian
dunia Internasional bahwa Indonesia sebagai laboratorium kerukunan umat
beragama, saya nilai sangat beralasan. Pertama,
4 pilar bangsa: Pancasila, NKRI, Bhineka Tunggal Ika, UUD 1945 merupakan tulang
belakang tegaknya kehidupan agama-agama. Ini sebuah fakta sosiologis dan
teologis. Dari awal berdirinya bangsa ini sudah bertekad menjadi rumah bersama
agama-agama. Kedua, secara
sosiologis, politik, teologis bangsa ini mempunyai dua organisasi jangkar
moderasi kehidupan keagamaan. Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah. Keduanya jelas
menjadi stabilisator kehidupan keagamaan di Indonesia. Ketiga, budaya hidup damai dan rukun, itu sesungguhnya jiwa asli
bangsa Indonesia.”
Dengan adanya
penilaian-penilaian tersebut membuktikan bahwa pengajaran agama tradisional
tidak mengabaikan aspek-aspek sosial, interaksi dan toleransi antara pemeluk
agama yang berbeda karena Indonesia merupakan budaya yang mencintai hidup damai
dan rukun. Walaupun kenyataanya di Indonesia masih banyak pro dan kontra,
berbeda suku dan ras, namun mereka tetap dalam satu naungan yaitu konteks
Indonesia.
Dalam
konteks Indonesia, pendidikan liberal harus mencakup pengetahuan etnis, agama
dan minoritas bahasa dan budaya. Liberalisme pendidikan adalah untuk
melestarikan dan meningkatkan mutu ketahanan sosial yang ada sekarang dengan
cara mengajar setiap anak bagaimana cara mengatasi masalah-masalah kehidupannya
secara efektif.
Berdasarkan
KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), liberal memiliki arti bersifat bebas; berpandangan
bebas (luas dan terbuka); Jadi
berdasarkan pengertian - pengeertian diatas, Paradigma Idiologi Pendidikan
Liberal dapat diartikan sebagai Model dalam Teori Ilmu Pengetahuan dalam usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat yang
sesuai dengan paham, teori dan tujuan yang merupakan satu program sosial
politik yang bebasm berpandangan luas dan terbuka.
Tujuan liberalisme
pendidikan adalah mengangkat perilaku individu yang efektif. Sedangkan tujuan
liberalisme pendidikan bagi sekolah adalah menyediakan informasi dan
keterampilan yang diperlukan oleh siwa supaya bisa belajar sendiri secara
efektif. Selain itu, siswa juga diajarkan tentang bagaimana cara menyelesaikan
masalah praktis melalui penerapan tata cata pemecahan masalah secara perseorangan
maupun kelompok berdasarkan metode ilmiah yang rasional. Pendekatan liberal inilah yang
mendominasi segenap pemikiran tentang pendidikan dalam berbagai macam
pelatihan.
Jadi akar dan pendidikan ini adalah
Liberalisme, yakni suatu pandangan yang menekankan pengembangan kemampuan,
melindungi hak, dan kebebasan (freedoms), serta mengidentifikasi problem dan
upaya perubahan sosial secara inskrimental demi menjaga stabilitas jangka
panjang. Dengan demikian didefinisikan, pendidikan
liberal bertujuan membebaskan siswa tidak terhadap provinsi orang lain. Pada
dasarnya, itu penempaan kamil insan yaitu orang yang ideal yang memenuhi
kriteria untuk mengasumsikan setiap pekerjaan atau penunjukan sebagai warga
negara yang demokratis .
Kesimpulan
Pendidikan kerukunan antara umat
beragama ini jelas bisa kita pertahankan dan terus ditumbuhkan pada setiap
individu maupun masyarakat. Itu bisa kita lihat dalam kurikulum pendidikan
nasional mamasukan semangat persepektif multikultural.
Menurut makalah yang ditulis oleh
sunarjo menyebutkan bahwa pendidikan
multikultural adalah pendidikan yang mengharagai perbedaan. Sehingga nantinya
perbedaan tersebut tidak menjadi sumber konflik dan perpecahan. Sikap saling
toleransi inilah yang nantinya akan menjadikan keberagaman yang dinamis,
kekayaan budaya yang menjadi jati diri bangsa yang patut untuk dilestarikan. Dalam pendidikan multikultural, setiap peradapan dan kebudayaan yang ada
berada dalam posisi yang sejajar dan sama, tidak ada kebudayaan yang lebih
tinggi atau dianggap lebih tinggi (superior) dari kebudayaan yang lain.
Sehingga akan
memperkaya kebudayaan atau peradaban yang bersangkutan sehingga nantinya
terwujud masyarakat yang makmur, adil, sejahtera yang saling menghargai
perbedaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic