Literasi tinggi dimulai dari hal terkecil
Begitu pentingnya kualitas suatu bangsa, dimana interaksi lah yang menjadi system utama untuk mewujudkan bangsa yang bersatu. Interaksi suatu bangsa adalah perkumpulan dimana masyarakat yang rendah ataupun tinggi tanpa membedakan satu sama lainnya. Dengan adanya interaksi yang baik, maka akan timbul sebuah literasi yang tinggi. Perbedaan etnis, agama, suku, budaya dan sebagainya, itulah hak setiap warga Negara untuk memilih. Dalam perbedaan itu akan timbul suatu persamaan dimana persamaan itu akan menghasilkan suatu kerukunan. Warga Negara yang rukun, akan menghasilkan suatu persatuan antar bangsa. Sebelum kita membahas tentang perstuan suatu bangsa, marilah kita tengok terlebih dahulu persatuan antar siswa. Apakah antar siswa sudah memiliki persatuan? Inilah yang menjadi pertanyaan besar pada pembahasan kali ini.
Setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan. Sekolah adalah tempat dimana siswa mencari ilmu, mencari jati dirinya, dan mencari kebahagiaan dengan teman sebayanya. Factor itulah yang harus ditingkatkan terlebih dahulu. Seorang guru harus bisa berinteraksi baik dengan muridnya. Siswa biasanya mempunyai teman dekat sendiri, oleh karena itu siswa biasanya bermain dengan teman dekatnya saja dan bahkan mereka tidak mengenal dengan teman yang lain atau teman satu kelasnya. Adanya masalah ini lah guru harus berpintar-pintar dalam mengajar. Guru harus memberi tugas kelompok, agar siswa pun bisa beriteraksi dengan teman yang lain. Dengan begitu, antar siswa akan berbagi bersama-sama baik itu tentang pengetahuan maupun pengalaman. Dimana mereka dapat saling membantu, menghormati, berbagi, dan umumnya sopan terhadap satu sama lain.
Undang-Undang Dasar Pasal 31 Ayat 1
Di zaman sekarang, banyak pertengkaran, perkelahian, ataupun peperangan. Semua masalah itu mayoritas dialami oleh antar siswa. Semua ini terjadi karena kurangnya semata-mata kepekaan dan rasa hormat tehadap orang lain dari kelompok yang berbeda. Masalah ini bisa terjadi juga akibat kurangnya interaksi yang baik dalam menjalin hubungan. Keharmonisan yang baik akan timbul dengan adanya suatu interaksi yang baik. Untuk menjalin kualitas suatu bangsa, maka kita sebagai warga Negara harus bisa memperbaiki hal yang kecil terlebih dahulu. Indonesia akan maju, jika warga Negara bisa menjalin hubungan yang baik dengan sesama. Hal yang terkecil contohnya, menjalin hubungan dengan tetangga, teman sebaya, dan teman karib.
Sekarang, banyak masyarakat yang tidak mengenal antar tetangga, padahal mereka berdampingan. Factor kesibukan, ekonomi, dan politik lah yang mereka pikirkan, sampai-sampai mereka tidak mengenal antar tetangga. Bagaimana bisa menjalin hubungan yang baik? Jika mereka pun tidak saling mengenal. Itulh pertanyaan yang timbul dalam benak saya. Mereka seolah-olah tidak mau kenal satu sama lainnya. Dalam islam dijelaskan bahwa, “manusia harus pandai berinteraksi dan menjalin hubungan dengan baik antar sesama”. Itulah salah satu pedoman bagi kita untuk memperbaiki kebiasaan buruk. Jika hal seperti ini sudah ditanggulangi, maka dengan mudahnya Indonesia bersatu.
Kembali lagi ke pembahasan tentang siswa, konsep interaksi dengan rekan sebaya adalah komponen penting dalam teori pembangunan social (Rubin, 2009). Dalam pengaturan multicultural, siswa berasal dari latar belakang etnis, agama dan social yang berbeda dan pola pikir mereka dominan dibentuk oleh latar belakang mereka. Program sekolah harus sengaja memfasilitasi interaksi rekan untuk mengembangkan wacana sipil positif. Dalam sekolah, biasanya mayoritas terdapat perbedaan yang besar dibandingkan dengan persamaannya. Seorang guru harus bisa menyamaratakan siswa-siswanya, agar mereka tidak merasa di anak tirikan. Pendidikan adalah menopang kita dalam mewujudkan sebuah cita-cita. Dalam mempererat tali persahabatan, guru harus bisa membaca situasi. Contohnya diadakan belajar kelompok untuk mengompakkan siswa-siswanya untuk mencapai target yang hendak dicapai yaitu memiliki pola pikir yang kritis dan bisa mengikuti pelajaran dengan baik.
Indicator wacana sipil termasuk mendengarkan penuh perhatian, menyumbang ide-ide atau pendapat, mengajukan pertanyaan, menyatakan kesepakatan dan ketidaksepakatan, dan mencapai kompromi dengan cara yang hormat. Dalam arti praktis, ini akan berlaku untuk setiap mata pelajaran sekolah. Inilah hasil dari sebuah diskusi antar teman sebaya. Mereka akan mendapatkan ilmu pengetahuan dan wawasan yang luas. Banyak manfaat yang dihasilkan dalam diskusi tersebut. Antar siswa bisa mengerti betapa pentingnya arti kebersaman, dan kepedulian. Siswa harus dilatih untuk mendengarkan secara aktif dengan mempertahankan kontak mata langsung, berdiri diam dan bergiliran berbicara. Mereka juga harus diajarkan bagaimana untuk menyumbangkan ide-ide yang releven dengan topic diskusi. Dari situlah timbul rasa percaya diri yang kuat antar siswa. Sehingga antar siswa bisa saling berkomunikasi didepan kelas dengan baik, berkomunikasi dengan guru, dan bisa menjawab pertanyaan bahkan bisa mengeluarkan pendapatnya dimuka umum. Seandainya seorang siswa tidak pernah berinteraksi dengan teman sebayanya bahkan mereka tidak kenal satu sama lainnya, pasti siswa tersebut akan memiliki jiwa yang kesepian, selau terpuruk, tidak mempunyai teman, bahkan dia pun tidak bisa berdiri dimuka umum. Berdiri didepan kelas saja tidak bisa ataupun selalu gerogi apalagi berdiri dimuka umum. Itulah salah satu factor yang mempengaruhi akibat kurangnya interaksi dengan teman sebayanya.
Pada sekolah dasar, guru kelas berfungsi untuk mengawasi siswa hampir sepanjang hari. Bahkan guru pun harus ada disamping siswa setiap siswa hendak beraktifitas. Karena guru adalah orang tua siswa saat disekolah. Guru harus tahu bagaimana cara merancang dan memfasilitasi interaksi teman sebaya dengan benar, mereka akan mengembangkan wacana sipil positif sebagai bagian dari pendidikan kewarganegaraan. Guru harus mengajarkan kepada siswa betapa pentingnya mengetahui undang-undang dasar yang telah dirancang untuk Indonesia. Dengan kita mengetahui undang-undang, maka tingkah laku baik kita dalam perbuatan maupun ucapan dapat dijaga, karena semua itu sudah tertera dalam undang-undang. Itu semua bukti hormat kita kepada bangsa Indonesia. Agar literasi bangsa kita menjadi tinggi. Sebelum kita ingin Negara lain menghormati kita, maka warga Negara juga harus bisa menghargai negeri kita sendiri.
Pada menyelesaikan pendidikan formal, siswa memasuki dunia dimana kemampuan untuk menjaga hubungan baik sangat penting untuk keberhasilan individu. Sebaliknya, ketidakmampuan untuk menjaga hubungan baik dapat merugikan individu dan dapat menyebabkan tingkat tertentu konflik social dalam suatu masyarakat tertentu. Dunia itu adalah dimana kita mencari jati diri, didalam tingkat yang lebih tinggi. Disitulah, sikap individu kita akan terlihat. Tanpa adanya teman, kita melakukan sesuatu hal. Tetapi siswa telah diajarkan bagaimana cara menjadi ribadi yang individu. Dalam penjelasan diatas sudah tertera, bahwa keuntungan dari mengadakan diskusi, kita akan menjadi pribadi yang mandiri dan bisa berdiri di muka umum.
Dalam pembahasan itulah, maka Indonesia akan mempunyai anak didik yang mempunyai literasi yang tinggi. Dengan adanya literasi yang tinggi, Indonesia pun bisa menyaingi Negara-negara lain dengan mudah. Dengan kata lain, membangun suatu bangsa harus diawali dengan membangun guru yang professional, dan guru yang professional hanya dihasilkan oleh lembaga pendidikan guru yang professional juga.
Pendidikan Moral
Literasi yang tinggi, memiliki pendidikan moral yang tinggi. Moral kebangsaan yang paling berharga dalam konteks Indonesia adalah kesatuan bangsa karena negeri ini luas dan terdiri atas ribuan pulau yang dipisahkan laut, dihuni oleh manusia dari berbagai suku bangsa yang berbeda adat istiadat, bahasa, dan kepercayaannya. Perguruan tinggi selama ini gagal memproduksi calon birokrat dan politisi yang bermoral bisa jadi karena satu atau beberapa sebab sebagai berikut.
Pertama, pendidikan prauniversitas tidak membangun karakteter yang kokoh, sehingga pendidikan akademik di pendidikan tinggi bagaikan “menanam pohon di tanah bebatuan.” Pohon professional itu mudah tercabut dari akar moralnya. Mungkin karena guru tidak memiliki kompetensi yang memadai. Mereka tidak menyadari bahwa tugas utama mereka bukan mengajari siswa agar menjadi pintar, tetapi menjadikan siswa bermoral, yakni berakhlak mulia. Kedua, pendidikan universitas hanya terfokus pada pembangunan keahlian mahasiswa demi kariernya. Tujuan pendidikan umum adalah agar mahasiswa-apapun bidang studinya tidak berpikiran sempit, seolah-olah bidang studi mereka itu yang terhebat dan segalanya, memiliki keterampilan untuk belajar sepanjang hayat, dan pada akhirnya menjadi insan kamil, yakni manusia seutuhnya. Ketiga, visi dan misi pendidikan formal yang secara filosofis benar dan mulia tidak berdaya ditekuk oleh dahsyatnya pragmatism dunia praktis.
Itulah cara agar para guru dinegeri kita mempunyai literasi yang tinggi. Setelah guru mempunyai literasi yang tinggi, maka guru akan mengajarkan kepada muruidnya bagaimana agar merka pun mempunyai literasi yang tinggi dan bisa berdiri tegak pada sekumpulan Negara lain.
Kini, saatnya para pengelola perguruan Tinggi melakukan tobat akademik dengan melakukan revitalisasi mata kuliah umum secara professional. Bukti-bukti lain dari ambruknya moral ini adalah:
• Lemahnya penguasaan bahasa nasional (daerah dan Indonesia) sebagai akibat dari imperialism bahasa.
• Kebanggaan yang berlebihan terhadap produk (berbagai artifak cultural asing.
• Ketidakpuasan (masa bodoh) terhadap Megara dalam hal penanganan korupsi, layanan public, kinerja pemerintah.
• Fenomena brain drain yang disengaja belum kokohnya jatidiri pendidikan nasional sebagai akibat imperialism pendidikan.
Itulah bukti-bukti umum ambruknya moral suatu bangsa. Semua itu menyebabkan literasi bangsa kita menjadi rendah. Dari hal kecil seperti, perkelahian antar siswa, sampai bahanya kebangsaan kita seperti yang tertera diatas. Hal yang terkecil yaitu guru harus membenahi masalah tersebut. Tetapi dalam hal pendidikan, guru yang bukan bidang studinya, mereka malah mengajar pelajaran yang lain. Contohnya, guru yang bidang studinya bahasa, tetapi mereka mengajar matematika. Bagaimana anak didik bisa maju?. Jika seorang guru pun berbeda bidang studi dalam mengajarnya.
Revitalisasi mata kuliah umum mesti didasari oleh fungsinya untuk memperkaya bidang studi (enriched major), bukan menambah keahlian. Untuk itu ada sejumlah saran solusi yaitu sebagai berikut:
1. Pendekatan aplikasi dan praktis bukan teori dan indoktrinasi.
2. Mahasiswa ditawari sejumlah (tema) mata kuliah umum yang beraneka untuk dipilih sesuai dengan hobi dan nuraninya.
3. Perlu dilakukan analisis kebutuhan mahasiswa untuk menentukan materi dan cakupan perkuliahan.
4. Mata kuliah umum mesti dikelola secara terintegrasi dengan visi dan misi yang jelas dari tingkat universitas, fakultas, sampai jurusan. Agar mahasiswa memperoleh manfaat yang banyak, sehingga konsep enriched major itu tercapai.
5. Para MKU mesti sensitive terhadap tantangan zaman sehingga para mahasiswa berpikir kritis terhadap kehidupan nyata.
6. Integrasi mata kuliah pendidikan kewarganegaraan dengan Pancasila, ilmu alamiah dasar, ilmu budaya dasar adalah satu strategi dan merupakan kewenangan perguruan Tinggi sebagai satuan pendidikan.
7. Perlunya pembinaan dosen mata kuliah umum secara professional.
(A. Chaedar Alwasilah, Pikiran Rakyat, 27 Mei 2011)
Itulah saran yang mendalam agar para mahasiswa yang nantinya akan menjadi guru bisa mendidik dengan baik kepada siswanya yaitu mendidik pengetahuan umum. Calon guru juga bisa menjadi professional karena dididik oleh lembaga pendidikan yang professional. Dengan begitu literasi Indonesia akan semakin meningkat. Literasi yang tinggi bisa dicapai bukan hanya dengan memiliki pendidikan yang tinggi, tetapi juga harus memiliki peradaban yang berakhlak mulia.
Peradaban sangat berpengaruhi untuk mencapai literasi yang tinggi
Studi Aprilliaswati mengajarkan kepada kita bahwa pendidikan harus mengembangkan tidak hanya penalaran ilmiah, tetapi juga wacana sipil positif. Penalaran ilmiah sangat diperlukan dalam mengembangkan warga intelektual, sedangkan kompetensi wacana sipil sangat penting untuk menciptakan warga Negara yang beradab.
Bahasa menunjukkan bangsa, artinya menunjukkan jenis, kedudukan atau keturunan dari penutur atau penulisnya. Bahasa kasar yang diumbar di depan publik oleh seorang politisi atau birokrat, walaupun akademiknya tinggi, menunjukkan bahwa penuturnya termasuk “bangsa atau kelompok manusia kasar atau kurang beradab, layaknya “tidak berpendidikan tinggi,” tingginya pendidikan seseorang tidak berbanding lurus dengan tingginya kualitas bahasanya. Fenomenya, “cerdas minus bahasa beradab” ini sangat terkait dengan karakter. Ihwal kaitan bahasa dengan karakter dan sejumlah hipotesis.
Pendidikan ditempuh dengan mediasi bahasa, yakni sebagai bahasa yang digunakan oleh guru, dipakai dalam buku ajar, dipakai mahasiwa untuk berpikir, menulis, dan berinteraksi. Namun, terbukti bahwa banyak ilmuwan, birokrat, atau politisi yang kurang beradab. Artinya, dalam konteks ini bahasa hanyalah sebagai alat untuk membangun nalar saja, tidak serta merta mambangun karakrter. Contohnya, masih segar dalam ingatan kita adalah insiden memalukan pada tahun 2010, ketika anggota parlemen saling bertukar kata-kata kasar dengan cara tidak sopan dalam siding disiarkan langsung diseluruh negeri. Alih-alih mendidik anak sekolah, politisi ini telah menetapkan contoh yang sangat miskin bagaimana berperilaku. Kejadian ini menunjukkan bahwa pendidikan politik belum berbuat cukup mempromosikan kompetensi dalam wacana sipil.
Perbedaan antara pendidikan nalar dan pendidikan karakter. Pendidikan dinegeri ini telah berhasil membangun nalar cerdas, tetapi telah gagal membangun karakter terpuji. Sejumlah penyakit sosial yang kita saksikan selama ini antara lain:
• Lemahnya nasionalisme.
• Hilangnya empati terhadap perbedaan.
• Merebaknya budaya yang ingi cepat kaya.
• Hilangnya budaya malu.
Inilah bukti gagalnya pendidikan karakter.
(A. Chaedar Alwasilah, Pikiran Rakyat, 26 Oktober 2011)
Sesuai UU No. 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen, ada 4 kompetensi yang mesti dimiliki seorang pendidik profesional:
Kompetensi pedagogic
Kompetensi kepribadian
Kompetensi professional
Kompetensi social.
Karakter bukan persoalan pengavlingan bidang studi atau cabang ilmu, tetapi persoalan kemanusiaan. Filfus pendidikan Amerika Emerson (1837) mangatakan, “A man must be a man before he can be a good farmer, terde man, or engineer.” Manusia harus dididik menjadi menusia beneran sebelum menjadi petani, pebisnis, insinyur, dan lain sebagainya. Untuk membentuk moral beradab yang sangat miskin, maka kita harus bahas tentang pendidikan berkarakter.
Pendidikan karakter
Gerakan pendidikan karakter sering bersandar pada diagnosis penyakit moral masyarakat terutama di kalangan generasi muda. Gerakan pendidikan karakter digelar untuk membangun kembali peran guru sebagai pendidik, indtruktur, dan suri tauladan moral. Sekolah adalah komunitas moral bukan sekedar personel pendidikan. Pendidikan moral menghendaki gerakan kolektif dari sekolah sebagai “komunitas moral” yang secara sistematik gawe bareng dengan masyarakat, keluarga, dan lembaga-lembaga keagamaa. Guru apapun bidang studinya adalah pendidik, pengajar, dan suri tauladan yang langsung berhadapan dengan siswa.
Karakter dipandu oleh ilmu pengetahuan dan nilai-nilai kemanusiaan (human values) yang oleh Chibber (2006) dikelompokkan menjadi 5 yaitu:
o Truth (kebenaran)
o Love (kasih saying)
o Peace (perdamaian)
o Right conduct (perilaku yang benar)
Non violence (anti kekerasan).
Seorang guru harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk mendorong pengalaman bermakna, yaitu interaksi dengan siswa dari agama yang berbeda, etnis dan dari kelompok-kelompok sosial yang berbeda. Seperti yang sudah dijelaskan diatas tetapi ini lebih cenderung membahas perbedaan agama. Sekolah ataupun kampus harus menyediakan tempat ibadah bagi siswa dari semua agama. Siswa akan belajar bagaimana orang lain melakukan ritual keagamaan. Dan ini akan menjadi bentuk efektif pendidikan agama dalam lingkungan sekolah multikutural. Cara tradisional pengajaran agama telah dikritik karena aspek teologis dan ritual, sementara mengabaikan aspek-aspek sosial interaksi yaitu horizontal dan toleransi antar pengikut agama yang berbeda. Seperti yang dijelaskan Undang-Undang Dasar BAB XI Pasal 29 Ayat 29 yang berbunyi, “Negara berdasarkan atas ketuhanan Yang Maha Esa.
Dalam konteks Indonesia, mesti adanya pendidikan liberal. Pendidikan liberal harus mencakup pengetahuan etnis, agama dan minoritas bahasa dan budaya. Warga Negara Indonesia juga harus memiliki pendidikan liberal. Menurut Derek Bok, mantan Presiden Harvard adalah “a critical mind, free of dogma but mourished by humane values”. Kemampuan berpikir kritis dan nilai-nilai kemanusiaan adalah factor terpenting dalam membangun pendidikan liberal. Pendidikan liberal bertujuan untuk membebaskna siswa dari kungkungan atau perbudakan yang timbul karena kebodohan, syak wasangka, dan kepicikan. Kebebasan seperti ini mensyaratkan siswa memiliki pandangan yang jembar atas berbagai temuan, prestasi, dan kemampuan. Dengan kata lain, pendidikan liberal berniat menjadikan siswa atau mahasiswa memiliki kemampuan dan kecenderungan untuk menghadapi fakta, teori, dan tindakan melalui perbincangan rasional. Pendidikan liberal mencakup pendidikan literasi, yaitu kemampuan membaca dan menulis. Dengan kita memiliki pendidikan liberal, maka kita menjadi warga Negara yang demokratis.
Karakteristik warga Negara yang demokrat antara lain sebagai berikut:
• Rasa hormat dan tanggung jawab
• Bersikap kritis
• Membuka diskusi dan dialog
• Bersifat terbuka
• Rasional
• Adil
• Jujur
(Zalik Nuryana)
Inilah karakteristik warga Negara demokrat. Karakteristik seperti ini juga harus dimiliki oleh seorang guru dan mengajarkan kepada peserta didik. Agar, peserta didik juga memiliki individu yang mandiri, bertanggung jawab, dan bisa beriteraksi dengan yang lain secara baik.
Jadi, kualitas atau literasi suatu bangsa akan tinggi, jika dimulai dari hal yang terkecil terlebih dahulu yang harus diperbaiki. Dengan begitu, dalam menghadapi hal yang besar, sebagai warga Negara Indonesia dengan mudahnya tercapai. Literasi yang tinggi bukan hanya memiliki pendidikan yang tinggi saja, melainkan harus memiliki peradaban dan moral yang tinggi. Pendidikan moral, peradaban, dan pendidikan berkarakter, merupakan sarana terpenting bagi warga Negara, agar memiliki kualitas dan literasi yang tinggi. Dengan adanya kualitas dan literasi yang tinggi, maka masyarakat akan menjadi warga Negara yang demokrat. Jika, sebagai guru sudah menjadi warga Negara yang demokrat, maka anak didiknya pun memiliki literasi yang tinggi. Jika negeri ini sudah memiliki literasi yang tinggi, maka dengan mudahnya kita bisa menyaingi Negara-negara lain.
Reference:
Alwasilah, A.Chaedar. PokoknyaRekayasa Literasi. Bandung: UPI
Undang-Undang Dasar 1945
zolopox.blogspot.com/2009/12/karakteristik-warga-negara-yang.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic