We are simple, but no simple impact. Proudly Presents, PBI C 2012. Happy Reading!

Course: Writing and Composition 4

Instructor : Lala Bumela

This website created by : College student from The State Institute of Islamic Studies Syekh Nurjati Cirebon, The Dapartment of English Education 2012.


widgets

Senin, 24 Februari 2014



Critical Review

                                       

Mengaktualisasikan Peran Pendidikan dalam Kerukunan Umat Beragama



Pendidikan merupakan suatu cara untuk menyalurkan potensi, bakat, pengetahuan dari orang-orang. Bukan hanya untuk kalangan pelajar di tingkat dasar, menengah pertama, menengah atas, perguruan tinggi, bahkan untuk masyarakat luas sekalipun dapat merasakan pendidikan. Pendidikan bukan hanya ajang untuk mengekplorasi dan mengembangkan pengetahuan saja, namun juga mendidik manusia menjadi pribadi yang baik serta  memiliki moral, tingkah laku, dan tutur kata yang baik. Tujuan pendidikan adalah memberikan keterampilan kepada peserta didik untuk dapat hidup secara individu, masyarakat atau kelompok, dan warga Negara. Tetapi, yang terjadi dilapangan tidak sesempurna yang kita fikirkan. Bahkan masalah sosial ikut terlibat di dalam proses pendidikan. Masalah social yang terkait adalah kurangnya kepekaan dan kepedulian terhadap antar umat beragama.
Manusia sebagai makhluk social tidak bisa dilepaskan dari hubungan (interaksi social) dengan sesamanya. Hubungan antara manusia dengan masyarakat ditata dalam suatu tatanan normatif yang disepakati yang menjamin terwujudnya keharmonisan dan ketentraman dalam masyarakat. Dalam hidup bermasyarakat harus saling rukun, supaya konfik social tidak bermunculan.
Warga negara Indonesia memeluk agama yang berbeda-beda. 90% dari warga Negara Indonesia memuluk agama Islam, dan selebihnya memeluk agama Kristen, Hindu, dan Budha. Mengapa orang-orang Indonesia bisa memiliki dan menganut agama yang berbeda-beda? Karena pada hakikatnya kita terlahir oleh latar belakang yang berbeda-beda. Bila kita telaah secara cermat bahwa latar belakang sangat berpengaruh terhadap bagaimana seseorang memeluk agamanya. Latar belakang dapat meliputi lingkungan, karena seperti yang terdapat pada materi biologi bahwa “Pembentukan karakter seseorang  itu 75% dari orang tua dan 25% dari lingkungan tempat tinggal kita”.
Berbicara mengenai konflik social yang terjadi di dunia pendidikan, seharusnya para pendidik mencegah supaya konflik itu tidak terjadi. Kita adalah makhluk yang hakikatnya membutuhkan orang lain, oleh karena itu pendidik harus berperan yang paling pertama dalam membentuk karakter peserta didik yang mempunyai jiwa demokratis dan peduli kepada sesama. Kepedulian menjadi salah satu gerbang untuk mendapatkan suatu keberhasilan kelak nanti. Orang tua yang baik adalah yang mampu menanamkan sifat kepedulian terhadap sesama kepada anaknya, begitu pula dengan tenaga pendidik. Dalam sekolah, pasti ada murid yang berbeda agama. Tugas pendidik harus mampu mengajarkan, menerapkan dan mempraktikan sifat kepedulain terhadap sesama, khususnya kepada antar umat beragama. Waktu yang paling signifikan untuk mengajarkan, menerapkan, dan mempraktikan adalah pada tingkat sekolah dasar. Sebab pada tingkat sekolah dasar, peserta didik sedang aktif untuk megekplorasi dan mengembangkan apa yang ada dalam dirinya. Bukan hanya itu saja, namun masih memiliki semangat yang luar biasa dan mampu  menerima apa yang guru katakan.
Baiklah, pada artikel Classroom Discourse to Foster Religious Harmony” membahas tentang “Cara Tradisional pengajaran agama telah dikritik karena menekankan aspek teologis dan ritual, sementara mengabaikan aspek-aspek social, interaksi yaitu horizontal dan toleransi antar pengikut yang berbeda agama” menurut A. Chaedar Alwasilah (2011:3).  Pada dasarnya kenyataanya tidak seperti itu, karena pengajaran agama (Islam) di sekolah-sekolah juga mengajarkan adanya toleransi umat beragama, meskipun memang banyak membahas ritual tau tradisi dalam Islam. Tetapi, Islam pun mengajarkan untuk peduli terhadap sesama. Seperti materi BAB IX dalam buku Pengajaran Agama Islam Tingkat Sekolah menengah Atas bahwa “Dalam perkembanganya, agama Islam diterima oleh masyarakat yang berbeda suku, bangsa dan budaya. Perberbedaan pengetahuan dan pemahaman masing-masing suku dan bangsa, mendorong munculnya beberapa aliran dalam agama”. Kalaupun memang ada sebuah sekolah yang memiliki peserta didik berbeda agama, para guru akan menghargai akan perbedaan tersebut. Contohnya dalam dunia pendidikan tingkat sekolah dasar, menengah pertama dan menengah atas masih mengenal mata pelajaran Pendidikan Agama Islam.
Dalam proses belajar mengajar, seorang guru agama memberikan pilihan kepada peserta didik yang berbeda agama untuk tetap mengkuti proses pembelajaran ataukah menunggu di luar kelas selama proses pelajaran Pendidikan Agama Islam. Sikap toleransi dalam berbeda agama dapat ditunjukan melalui :
a.       Saling menghargai dan menghormati ajaran masing-masing agama
b.      Menghormati atau tidak melecehkan simbol-simbol maupun kitab suci masing-masing agama.
c.       Tidak mengotori atau merusak tempat ibadah agama oranga lain, serta ikut menjaga ketrtiban dan ketenangan kegiatan keagamaan.
Begitu pula dengan adanya UUD I945 ayat 2 tentang “Setiap warga Negara berhak memeluk agama dan kepercayaan masing-masing”. Seorang guru bukan hanya mengajarkan , menerapkan, dan mempraktikan tentang dunia social (kerukunan umat beragama), tapi juga perlu adanya dukungan wacana sipil positif. Serti yang dikatakan oleh A. Chaedar Alwasilah dalam bukunya Rekayasa Literasi bahwa “Membangun literasi bangsa harus diawali dengan membangun guru yang professional, dan guru yang professional hanya dihaslkan oleh lembaga guru yang professional juga”. Wacana sipil positif merupakan bagian dari literasi.
Sekolah yang baik adalah sekolah yang mampu memenuhi kebutuhan untuk bidang akademik dan non-akademik bagi para peserta didiknya. Seperti yang ditercantum dalam artikel Classroom Discourse to Foster Religious Harmony bahwa “ program sekolah harus sengaja memfasilitasi interaksi rekan untuk mengembangkan wacana sipil positif”. Kita sebagai pelajar tidak sependapat dengan pernyataan di atas. Mengapa harus ada kata harus sengaja, padahal dalam suatu lingkup pendidikan hal itu harus petatutnya ada?  Pihak sekolah seharusnya bukan hanya memfasilitasi saja,namun para tenaga pendidik (guru) juga harus ikut andil dalam wacana sipil positif. Seorang guru adalah panutan bagi para peserta didik. Jadi, karakter dan sifat seorang guru juga harus dibenahi sejak awal, termasuk masalah kerukunan umat beragama. Sebab seorang peserta didik meniru apa yang dilakukan oleh gurunya.
Indicator wacana positif harus diterapkan di semua mata pelajaran, dan cirinya adalah mendengarkan penuh perhatian, menyumbangkan ide-ide atau pendapat, mengajukan pertanyaan, menyatakan kesepakatan dan tidak kesepakatan dan mencapai kompromi dengan cara yang hormat. Dengan menyebutkan ciri-ciri di atas sama dengan apa yang terteca dalam A. Chaedar Alwasilah tentang Rekayasa Literasi bahwa “Literasi membekali manusia kemampuan menjadi warga negara yang efektif”. Menurut pendapat saya ciri efektif seperti ciri indicator dalam wacana positif. Contohnya dalam diskusi, apabila sedang diskusi kita dituntut menjadi pendengar yang penuh perhatian. Perhatian kita hanya tertuju untuk yang sedang menyampaikan materi. Setelah diskusi selesai, pasti ada waktu untuk tanya jawab. Dalam sesi tanya jawab kita dipekenankan untuk mengajukan pertanyaan kepada para pemateri, dan apabila pemateri kurang mendapatkan ide atau jawabannya kurang sesuai, kiba boleh untuk menyumbangkan ide-ide atau pendapat. Tetapi, cara menyalurkan pendapat atau menyanggah pendapat orang itu harus dengan sopan dan tahu etika. Kita sebagai pelajar harus memiliki sikap dan tatakrama yang baik  saat berdiskusi.
Mempunyai karakter yang efektif tidak hanya dalam proses diskusi saja, seorang siswa juga harus memiliki sifat seperti itu saat proses belaja mengajar. Contohnya apabila guru sedang menjelaskan materi pelajaran, seorang peserta didik harus mempertihatikan secara seksama terhadap apa yang sedang dijelasakan oleh gurunya. Seorang guru juga akan memberikan waktu kepada siswanya untuk berbicara setelah materi tersebut disampaikan. Dengan seperti itu guru melatih siswa untuk menjadi pendengar yang baik. Tetapi, pada kenyataannya tidak seperti itu. Malah sebaliknya yang dilakukan oleh peserta didik. Bila guru sedang menjelaskan materi, peserta didik sibuk sendiri, dan apabila diberikan waktu untuk berbicara (bertanya yang belum dipahami auat mungkin ada pendapat) cenderung diam. Apa yang salah dengan pendidikan  di Indonesia?
Kembali lagi megenai kerukunan umat beragama di kalangan pendidikan. Disebutkan dalam artikel Classroom Discourse to Foster Religious Harmony bahwa “kerukunan umat beragama harus dikembangkan disekolah awal usia mungkin”. Kebanyakan dari masyarakat kita kurang  sependapat dengan peryataan di atas, yang paling awal mengajarkan adalah orang tua. Memang benar sifat kerukunan umat beragama harus ditanamkan sejak dini mungkin.  Sekolah hanya ikut membantu mengembangkan kemampuan dalam kepedulian terhadap sesama. Kebanyakan orang tua mengabaikan atau tidak memperdulikan terhadap kasus social yang terjadi di masyarakat, salah satunya kurangnya kepedulian antar umat beragama. Seharusnya orang tua memberikan nasihat kepada anaknya mengenai orang yang berbeda agama. Yang menjadi permasalah seorang anak lebih memilih untuk berinteraksi dengan teman-teman sebayanya dibandingkan dengan orang tuanya. Meskipun belum ada data yang menunjukan tingkat interaksi seoarang anak dengan teman sebayanya lebih tinggi dibandingkan dengan orang tuanya. Namun kita dapat melihat dalam kehidupan sehari-hari.
Pada pembahasan ini saya mepunyai studi kasus tentang kerukunan antar umat beragama di dunia pendidikan. Mengapa sekolah Kristen lebih maju daripada sekolah Islam? Padahal pada hakikatnya kita sama-sama manusia yang diberikan akal untuk mengembangkan dan mengekplorasi ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu, mengapa peranan tenaga pendidik dan orang tua sangat berpengaruh terhadap pembentukan sifat kepedulian terhadap sesama bagi seorang anak. Tetapi, malah yang terjadi saat diskusi orang yang berbeda agama malah berdebat dan terjadi permusuhan. Contohnya kasus terorisme, itu sudah menunjukan betapa mirisnya dan krisisnya kepedulian kita terhadap antar umat beragama. Masalah tertoris sudah menjadi masalah besar yang harus dicarikan solusi secara tepat. Agama tampaknya bukan lagi alat kedamaian umat, tetapi sudah menjadi ancaman menakutkan. Hal ini dapat dilihat dari hubungan positif antara praktik beragama dengan aksi kekerasan yang sering terjadi. Sebab kekerasan adalah adanya factor pemahaman agama, termasuk praktik dan pemahaman beragama yang mengarah sikap fanatisme dan milintasi. Kalau sudah seperti ini siapa yang harus disalahkan? Kalau kita memikirkan siapa yang salah maka pemikiran kita tidak akan maju. Yang harus difikirkan adalah bagaimana caranya membangun kepedulian antar umat beragama yang sekarang ini sudah sangat melemah.
Salah satu penyebabnya adalah adanya bentuk-bentuk radikalisme yang telah mengganggu kohesi social dan dapat menghasilkan saling tidak percaya di antara kelompok-kelompok social dalam masyarakat. Sebuah lembaga pendidikan (sekolah) juga mengajarkan kepada peserta didik untuk hidup berkelompok, bukan hanya sebagai individu saja. Contohnya apabila kita sedang tertiba masalah atau bencana, pasti kita membutuhkan orang lain untuk mengatasinya. Adanya konflik dan ketidakharmonisan antar umat beagama akan merugikan bangsa dan negara termasuk pemeluk agama itu sendiri. Ketidakharmonisan itu akan berdampak bagi semua aspek kehidupan, karena kita hidup di tengah-tengah masyarakat (kelompok). Aspek kehidupan akan terganggu contohnya, stabilitas ekonomi yang kurang labil, proses politik, dunia social dan budaya.
Mengapa dunia pendidikan tidak di sebutkan dalam aspek di atas? Karena dunia pendidikan sudah mencakup budaya dan duna soial. Dalam artikel Classroom Discourse to Foster Religious Harmony menyebtukan bahwa “guru SD harus memberikan kesempetan kepada siswa untuk memberkan kesempatan kepada siswa untuk mendorong pengalaman bermakna, yaitu interaksi dengan siswa lain dari agma yang berbeda, etnis dan dari kelompok-kelompok social yang berbeda”. Begitu pula dengan dunia psikologi bahwasannya pengalaman(experience) sangat erat kaitannya terhadap kehidupan manusia. Apabila seorang anak yang masih dini di ajarkan untuk peduli maka ia akan menanamkan pengalaman baiknya selam masa hidupnya. Hanya gdua pengalaman yang selalu di ingat oleh otak kita yaitu pengalaman buruk dan pengalaman yang menyenangkan. Pengalaman terhadap kepedulian sesama bukan hanya sekedar pengalaman yang baik saja, melainkan pengalaman yang penuh dengan arti dan makna.
Seorang anak harus mengerti bahwa kita hidup di dunia ini dengan berbeda-beda, berbeda budaya, agama, etnis, keprcayaan, serta dunia social yang berbeda. Tidak salah jika seorarng anak pada usia dini sering bertanya  tentang perbedaan tersebut. Contohnya, jikalau seorang anak bertanya kepada orang tua tentang suatu perbedaan agama, dan orang tuanya menjelaskan yang tidak baik, atau menjelaskan bahwa agama yang lain salah. Maka, yang akan tertanam dalam diri anak tersebut adalah semua agama salah , kecuali agama yang ia anut. Secara tidak langsung, si anak akan membenci dengan agama lain. Seharusnya orang tua menjelaskan meskipun kita berbeda agama namun tujuan agama-agama yang lainnya juga sama yaitu berbadah kepada Tuhan. Meskipun dengan konteks dan cara yang berbeda. Begitulah peranan orang tua dalam menanaman sifat kepedulian anaknya.
Ada salah satu orang tua yang mengajarkan sifat kepedulian antar umat beragama kepada anaknya dengan cara memperlihatkan atau mengajak anaknya ke tempat beribadah agama-agama yang lain. Orang tua tersebut memberikan pelajaran kepada anaknya bahwa bagaimana orang yang berbeda agama melakukan ritual keagmaannya masing-masing. Itu semata-mata bukan untuk melecehkan, tetapi supaya si anak dapat menghargai dan menghormati  agama-agama yang lain. Tetapi sebagai orang tua harus dapat menasihati ketika seorang anak mengajak anaknya ketempat beribadah agama yang berbeda. Seorang anak tidak oleh mengikuti apa yang dilakukan terhadap apa yang dilihatnya.
Mempersiapkan calon generasi yang baik adalah tugas orang tua yang paling pertama dan dibantu oleh tenaga pendidik atau lembaga pendidikan (sekolah). Dengan menanamkan sifat menghormati dan menghargai atar umat beragama, mungkin kemajuan bangsa ini akan pesat. Salah satu mengapa Indonesia tertinggal oleh negara lain, yaitu dengan adanya konflik yang terjadi antar keompok di Indonesia. Masyarakat di Indonesia kurang peka terhadap sesamanya, yang mereka fikirkan adalah bagaimana melawan agama yang lain. Maka timbulah banyak pemeberontakan, permusuhan, bahkan kekerasan yang sering terjadi sekarang. Bukan hanya meruikan semuanya namun yang paling penting adalah membunuh dan merusak moral calon generasi penerus bangsa.
Calon generasi penerus bangsa yang seharusnya diayomi dan diajarkan untuk berbuat baik kepada sesama, dan yang terjadi malah sebaliknya. Sepert yang sudah saya katakan di atas bahwa sikap seorang anak tergantung bagaiamana sikap orang dewasa bertindak. Bila orang dewasanya saja banyak berbuat kerusakkan terhadap bangsa ini, bagamiana dengan 20 tahun ke depan yang akan dipimpin oleh generasi muda kita dan akan menjadi apa bangsa ini? Apakah kekerasan akan terus merajalela dimana-mana? Ataukah bangsa ini semakin erat dengan kedulian tehdapad sesama dan tidak ada kekerasan? Orang tua, pendidik, lembaga pendidikan, dan lingkungan haus menata sikap dan moral generas muda.
“Penalaran ilmiah sangat diperluan dalam mengembangkan warga intektual, sedangkan kompetensi wacana sipil sangat penting untuk menciptakan warga negara yang beradab”, salah satu kalimat dalam artikel Classroom Discourse to Foster Religious Harmony. Menutur saya bukan hanya penalaran lmah saja yang harus dikembangkan. Tatpi penaralan untuk bermasyarakat yang sangat penting. Dengan adanya penaralan untuk bermasyarakat akan mengarah kepada kompetensi wacana sipil. Apakah Indonesia sudah mampu menanamkan kompetensi wacana sipil terhadap peserta didik? Bahkan pada kenyataannya, banyak sekolah di Indonesia yang belum memenuhi sarana dan fasilitas untuk mengembangkan kompetensi wacana sipil peserta didiknya.
Sekarang ini Indonesia menganut paham demokratis, seperti yang dikatakan A. Chaedar Alwasilah bahwa “pendidikan seyoginya menghasilkan manusia literat, yaitu manusia yang memilki literasi memadai sebagai warga negara yang demokratis”. Apakah harus paham demokratis saja yang harus diterapkan dalam dunia pendidikan? bagaimana jika Indonesia mengambil paham liberal untk bidang pendidikan? seperti yang ditercantum dalam artikel Classroom Discourse to Foster Religious Harmony bahwa “Dalam konteks Indonesia, pendidikan liberal harus mencakup pengetahuan etnis, agama dan minoritas bahasa dan budaya”. Berarti hampir sama dengan paham demokrasi yang mengajarkan untuk saling menghargai dan menghormati pendapat orang lain, dan tujuan pendidikan  liberal adalah membebaskan siswa dari sikap rabun dan provinsi terhadap orang lain.
Penulis dalam artikel Classroom Discourse to Foster Religious Harmony sangat menggambarkan betapa bangasa ini kurang dalam kepedulian terhadap sesama. Bukan hanya dilihat dari konflik social, namun konflk politik, dan budaya juga. Terlihat sangat mengaitkan antara konflik satu dangan konflk lainnya. Diantaranya yang termasuk konflik social yang disebutkan adalam artikel adalah konflik etnis, tawuran antar pelajar dan lain-lain. Membahas juga tentang pendidikan liberal di Indonesia, yang pada dasarnya melatih dan memberikan pengetahuan kepada siswa untuk memadai atau peduli kepada daerah-daerah dan membebaskan siswa dari sikap rabun dan provinsi terhadap orang lain.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa tingkat kepedulian antar umat beragama di Indonesia masih melemah, banyak terjadi kekerasaan yang terjadi, diantanya tawuran antar pelajar, pemberontakan, perdebatan antar umat beragama, munculnya bentuk radikalisme dan yang lebih merusak bangsa adalah terorisme. Saran untuk menanggulangi dan mengurangi tingkat kelemahan terhadap kepedulian sesama adalah memberikan pengetahuan, lalu mengarahkan untuk menanamkan sfat kepedulain terhadap sesama kepada anak-anak sedini mungkin. Peranan orang tua dan tenaga pendidik sangat diperlukan dalam hal ini, karena anak-anak usia sekolah lebih memilih untuk berinteraksi dengan rekan-rekan mereka. Jadi, sebagai orang tua dan tenaga pendidik harus ikut menata dan mengarahkan seorang anak agar mempunyai sifat kepedulian. Sekolah juga harusnya memberikan fasilitas atau sarana untuk mengembangkan wacana sipil positif, karena wacana sipil positif juga termasuk dalam pembentukan sifat kepedulian terhadap antar umat beragama. Guru di tingkat sekolah dasar harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk memberkan kesempatan kepada siswa untuk mendorong pengalaman bermakna, yaitu interaksi dengan siswa lain dari agma yang berbeda, etnis dan dari kelompok-kelompok social yang berbeda, karena pada hakikatnya kita terlahir dari latar belakang yang berbeda.













 References
Hasani, Ismail. 2009. Berpihak dan Bertindak Intoleran. Katalog dalam terbitan: Bandung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

a space for comment and critic