Critical Review
Mengaktualisasikan
Peran Pendidikan dalam Kerukunan Umat Beragama
Pendidikan
merupakan suatu cara untuk menyalurkan potensi, bakat, pengetahuan dari
orang-orang. Bukan hanya untuk kalangan pelajar di tingkat dasar, menengah
pertama, menengah atas, perguruan tinggi, bahkan untuk masyarakat luas
sekalipun dapat merasakan pendidikan. Pendidikan bukan hanya ajang untuk
mengekplorasi dan mengembangkan pengetahuan saja, namun juga mendidik manusia
menjadi pribadi yang baik serta memiliki
moral, tingkah laku, dan tutur kata yang baik. Tujuan pendidikan adalah
memberikan keterampilan kepada peserta didik untuk dapat hidup secara individu,
masyarakat atau kelompok, dan warga Negara. Tetapi, yang terjadi dilapangan
tidak sesempurna yang kita fikirkan. Bahkan masalah sosial ikut terlibat di
dalam proses pendidikan. Masalah social yang terkait adalah kurangnya kepekaan
dan kepedulian terhadap antar umat beragama.
Manusia
sebagai makhluk social tidak bisa dilepaskan dari hubungan (interaksi social)
dengan sesamanya. Hubungan antara manusia dengan masyarakat ditata dalam suatu tatanan normatif yang disepakati yang
menjamin terwujudnya keharmonisan dan ketentraman dalam masyarakat. Dalam hidup
bermasyarakat harus saling rukun, supaya konfik social tidak bermunculan.
Warga
negara Indonesia memeluk agama yang berbeda-beda. 90% dari warga Negara
Indonesia memuluk agama Islam, dan selebihnya memeluk agama Kristen, Hindu, dan
Budha. Mengapa orang-orang Indonesia bisa memiliki dan menganut agama yang
berbeda-beda? Karena pada hakikatnya kita terlahir oleh latar belakang yang
berbeda-beda. Bila kita telaah secara cermat bahwa latar belakang sangat
berpengaruh terhadap bagaimana seseorang memeluk agamanya. Latar belakang dapat
meliputi lingkungan, karena seperti yang terdapat pada materi biologi bahwa
“Pembentukan karakter seseorang itu 75%
dari orang tua dan 25% dari lingkungan tempat tinggal kita”.
Berbicara
mengenai konflik social yang terjadi di dunia pendidikan, seharusnya para
pendidik mencegah supaya konflik itu tidak terjadi. Kita adalah makhluk yang
hakikatnya membutuhkan orang lain, oleh karena itu pendidik harus berperan yang
paling pertama dalam membentuk karakter peserta didik yang mempunyai jiwa
demokratis dan peduli kepada sesama. Kepedulian menjadi salah satu gerbang
untuk mendapatkan suatu keberhasilan kelak nanti. Orang tua yang baik adalah yang
mampu menanamkan sifat kepedulian terhadap sesama kepada anaknya, begitu pula
dengan tenaga pendidik. Dalam sekolah, pasti ada murid yang berbeda agama.
Tugas pendidik harus mampu mengajarkan, menerapkan dan mempraktikan sifat
kepedulain terhadap sesama, khususnya kepada antar umat beragama. Waktu yang
paling signifikan untuk mengajarkan, menerapkan, dan mempraktikan adalah pada
tingkat sekolah dasar. Sebab pada tingkat sekolah dasar, peserta didik sedang
aktif untuk megekplorasi dan mengembangkan apa yang ada dalam dirinya. Bukan hanya
itu saja, namun masih memiliki semangat yang luar biasa dan mampu menerima apa yang guru katakan.
Baiklah,
pada artikel Classroom Discourse to
Foster Religious Harmony” membahas tentang “Cara Tradisional pengajaran
agama telah dikritik karena menekankan aspek teologis dan ritual, sementara mengabaikan aspek-aspek social,
interaksi yaitu horizontal dan toleransi antar pengikut yang berbeda agama”
menurut A. Chaedar Alwasilah (2011:3).
Pada dasarnya kenyataanya tidak seperti itu, karena pengajaran agama
(Islam) di sekolah-sekolah juga mengajarkan adanya toleransi umat beragama,
meskipun memang banyak membahas ritual tau tradisi dalam Islam. Tetapi, Islam
pun mengajarkan untuk peduli terhadap sesama. Seperti materi BAB IX dalam buku Pengajaran Agama Islam Tingkat Sekolah
menengah Atas bahwa “Dalam
perkembanganya, agama Islam diterima oleh masyarakat yang berbeda suku, bangsa
dan budaya. Perberbedaan pengetahuan dan pemahaman masing-masing suku dan
bangsa, mendorong munculnya beberapa aliran dalam agama”. Kalaupun memang ada
sebuah sekolah yang memiliki peserta didik berbeda agama, para guru akan
menghargai akan perbedaan tersebut. Contohnya dalam dunia pendidikan tingkat
sekolah dasar, menengah pertama dan menengah atas masih mengenal mata pelajaran
Pendidikan Agama Islam.
Dalam proses belajar mengajar,
seorang guru agama memberikan pilihan kepada peserta didik yang berbeda agama
untuk tetap mengkuti proses pembelajaran ataukah menunggu di luar kelas selama
proses pelajaran Pendidikan Agama Islam.
Sikap toleransi dalam berbeda agama dapat ditunjukan melalui :
a. Saling menghargai dan menghormati
ajaran masing-masing agama
b. Menghormati atau tidak melecehkan simbol-simbol
maupun kitab suci masing-masing agama.
c. Tidak mengotori atau merusak tempat
ibadah agama oranga lain, serta ikut menjaga ketrtiban dan ketenangan kegiatan
keagamaan.
Begitu
pula dengan adanya UUD I945 ayat 2 tentang “Setiap warga Negara berhak memeluk
agama dan kepercayaan masing-masing”. Seorang guru bukan hanya mengajarkan ,
menerapkan, dan mempraktikan tentang dunia social (kerukunan umat beragama),
tapi juga perlu adanya dukungan wacana
sipil positif. Serti yang dikatakan oleh A. Chaedar Alwasilah dalam bukunya
Rekayasa Literasi bahwa “Membangun
literasi bangsa harus diawali dengan membangun guru yang professional, dan guru
yang professional hanya dihaslkan oleh lembaga guru yang professional juga”. Wacana
sipil positif merupakan bagian dari literasi.
Sekolah
yang baik adalah sekolah yang mampu memenuhi kebutuhan untuk bidang akademik
dan non-akademik bagi para peserta didiknya. Seperti yang ditercantum dalam
artikel Classroom Discourse to Foster
Religious Harmony bahwa “ program sekolah harus sengaja memfasilitasi
interaksi rekan untuk mengembangkan wacana sipil positif”. Kita sebagai pelajar
tidak sependapat dengan pernyataan di atas. Mengapa harus ada kata harus sengaja, padahal dalam suatu
lingkup pendidikan hal itu harus petatutnya ada? Pihak sekolah seharusnya bukan hanya
memfasilitasi saja,namun para tenaga pendidik (guru) juga harus ikut andil
dalam wacana sipil positif. Seorang guru adalah panutan bagi para peserta
didik. Jadi, karakter dan sifat seorang guru juga harus dibenahi sejak awal,
termasuk masalah kerukunan umat beragama. Sebab seorang peserta didik meniru
apa yang dilakukan oleh gurunya.
Indicator
wacana positif harus diterapkan di semua mata pelajaran, dan cirinya adalah mendengarkan penuh perhatian, menyumbangkan
ide-ide atau pendapat, mengajukan pertanyaan, menyatakan kesepakatan dan tidak
kesepakatan dan mencapai kompromi dengan cara yang hormat. Dengan
menyebutkan ciri-ciri di atas sama dengan apa yang terteca dalam A. Chaedar
Alwasilah tentang Rekayasa Literasi
bahwa “Literasi membekali manusia kemampuan menjadi warga negara yang efektif”.
Menurut pendapat saya ciri efektif seperti ciri indicator dalam wacana positif.
Contohnya dalam diskusi, apabila sedang diskusi kita dituntut menjadi pendengar
yang penuh perhatian. Perhatian kita hanya tertuju untuk yang sedang
menyampaikan materi. Setelah diskusi selesai, pasti ada waktu untuk tanya jawab.
Dalam sesi tanya jawab kita dipekenankan untuk mengajukan pertanyaan kepada
para pemateri, dan apabila pemateri kurang mendapatkan ide atau jawabannya
kurang sesuai, kiba boleh untuk menyumbangkan ide-ide atau pendapat. Tetapi,
cara menyalurkan pendapat atau menyanggah pendapat orang itu harus dengan sopan
dan tahu etika. Kita sebagai pelajar harus memiliki sikap dan tatakrama yang
baik saat berdiskusi.
Mempunyai
karakter yang efektif tidak hanya dalam proses diskusi saja, seorang siswa juga
harus memiliki sifat seperti itu saat proses belaja mengajar. Contohnya apabila
guru sedang menjelaskan materi pelajaran, seorang peserta didik harus
mempertihatikan secara seksama terhadap apa yang sedang dijelasakan oleh
gurunya. Seorang guru juga akan memberikan waktu kepada siswanya untuk
berbicara setelah materi tersebut disampaikan. Dengan seperti itu guru melatih
siswa untuk menjadi pendengar yang baik. Tetapi, pada kenyataannya tidak
seperti itu. Malah sebaliknya yang dilakukan oleh peserta didik. Bila guru
sedang menjelaskan materi, peserta didik sibuk sendiri, dan apabila diberikan
waktu untuk berbicara (bertanya yang belum dipahami auat mungkin ada pendapat)
cenderung diam. Apa yang salah dengan pendidikan di Indonesia?
Kembali
lagi megenai kerukunan umat beragama di kalangan pendidikan. Disebutkan dalam
artikel Classroom Discourse to Foster
Religious Harmony bahwa “kerukunan umat beragama harus dikembangkan
disekolah awal usia mungkin”. Kebanyakan dari masyarakat kita kurang sependapat dengan peryataan di atas, yang
paling awal mengajarkan adalah orang tua.
Memang benar sifat kerukunan umat beragama harus ditanamkan sejak dini
mungkin. Sekolah hanya ikut membantu
mengembangkan kemampuan dalam kepedulian terhadap sesama. Kebanyakan orang tua
mengabaikan atau tidak memperdulikan terhadap kasus social yang terjadi di masyarakat,
salah satunya kurangnya kepedulian antar
umat beragama. Seharusnya orang tua memberikan nasihat kepada anaknya
mengenai orang yang berbeda agama. Yang menjadi permasalah seorang anak lebih
memilih untuk berinteraksi dengan teman-teman sebayanya dibandingkan dengan
orang tuanya. Meskipun belum ada data yang menunjukan tingkat interaksi
seoarang anak dengan teman sebayanya lebih tinggi dibandingkan dengan orang
tuanya. Namun kita dapat melihat dalam kehidupan sehari-hari.
Pada
pembahasan ini saya mepunyai studi kasus tentang kerukunan antar umat beragama di
dunia pendidikan. Mengapa sekolah Kristen lebih maju daripada sekolah Islam?
Padahal pada hakikatnya kita sama-sama manusia yang diberikan akal untuk
mengembangkan dan mengekplorasi ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu, mengapa peranan
tenaga pendidik dan orang tua sangat berpengaruh terhadap pembentukan sifat
kepedulian terhadap sesama bagi seorang anak. Tetapi, malah yang terjadi saat
diskusi orang yang berbeda agama malah berdebat dan terjadi permusuhan.
Contohnya kasus terorisme, itu sudah menunjukan betapa mirisnya dan krisisnya
kepedulian kita terhadap antar umat beragama. Masalah tertoris sudah menjadi
masalah besar yang harus dicarikan solusi secara tepat. Agama tampaknya bukan
lagi alat kedamaian umat, tetapi sudah menjadi ancaman menakutkan. Hal ini
dapat dilihat dari hubungan positif antara praktik beragama dengan aksi
kekerasan yang sering terjadi. Sebab kekerasan adalah adanya factor pemahaman
agama, termasuk praktik dan pemahaman beragama yang mengarah sikap fanatisme
dan milintasi. Kalau sudah seperti ini siapa yang harus disalahkan? Kalau kita
memikirkan siapa yang salah maka pemikiran kita tidak akan maju. Yang harus
difikirkan adalah bagaimana caranya membangun kepedulian antar umat beragama yang
sekarang ini sudah sangat melemah.
Salah
satu penyebabnya adalah adanya bentuk-bentuk radikalisme yang telah mengganggu kohesi social dan dapat
menghasilkan saling tidak percaya di antara kelompok-kelompok social dalam
masyarakat. Sebuah lembaga pendidikan (sekolah) juga mengajarkan kepada peserta
didik untuk hidup berkelompok, bukan hanya sebagai individu saja. Contohnya
apabila kita sedang tertiba masalah atau bencana, pasti kita membutuhkan orang
lain untuk mengatasinya. Adanya konflik dan ketidakharmonisan antar umat
beagama akan merugikan bangsa dan negara termasuk pemeluk agama itu sendiri.
Ketidakharmonisan itu akan berdampak bagi semua aspek kehidupan, karena kita
hidup di tengah-tengah masyarakat (kelompok). Aspek kehidupan akan terganggu
contohnya, stabilitas ekonomi yang kurang labil, proses politik, dunia social
dan budaya.
Mengapa
dunia pendidikan tidak di sebutkan dalam aspek di atas? Karena dunia pendidikan
sudah mencakup budaya dan duna soial. Dalam artikel Classroom Discourse to Foster Religious Harmony menyebtukan bahwa
“guru SD harus memberikan kesempetan kepada siswa untuk memberkan kesempatan
kepada siswa untuk mendorong pengalaman bermakna, yaitu interaksi dengan siswa
lain dari agma yang berbeda, etnis dan dari kelompok-kelompok social yang
berbeda”. Begitu pula dengan dunia psikologi bahwasannya pengalaman(experience)
sangat erat kaitannya terhadap kehidupan manusia. Apabila seorang anak yang
masih dini di ajarkan untuk peduli maka ia akan menanamkan pengalaman baiknya
selam masa hidupnya. Hanya gdua pengalaman yang selalu di ingat oleh otak kita
yaitu pengalaman buruk dan pengalaman yang menyenangkan. Pengalaman terhadap
kepedulian sesama bukan hanya sekedar pengalaman yang baik saja, melainkan
pengalaman yang penuh dengan arti dan makna.
Seorang
anak harus mengerti bahwa kita hidup di dunia ini dengan berbeda-beda, berbeda
budaya, agama, etnis, keprcayaan, serta dunia social yang berbeda. Tidak salah
jika seorarng anak pada usia dini sering bertanya tentang perbedaan tersebut. Contohnya,
jikalau seorang anak bertanya kepada orang tua tentang suatu perbedaan agama,
dan orang tuanya menjelaskan yang tidak baik, atau menjelaskan bahwa agama yang
lain salah. Maka, yang akan tertanam dalam diri anak tersebut adalah semua
agama salah , kecuali agama yang ia anut. Secara tidak langsung, si anak akan
membenci dengan agama lain. Seharusnya orang tua menjelaskan meskipun kita
berbeda agama namun tujuan agama-agama yang lainnya juga sama yaitu berbadah
kepada Tuhan. Meskipun dengan konteks dan cara yang berbeda. Begitulah peranan
orang tua dalam menanaman sifat kepedulian anaknya.
Ada
salah satu orang tua yang mengajarkan sifat kepedulian antar umat beragama
kepada anaknya dengan cara memperlihatkan atau mengajak anaknya ke tempat beribadah
agama-agama yang lain. Orang tua tersebut memberikan pelajaran kepada anaknya
bahwa bagaimana orang yang berbeda agama melakukan ritual keagmaannya
masing-masing. Itu semata-mata bukan untuk melecehkan, tetapi supaya si anak
dapat menghargai dan menghormati agama-agama yang lain. Tetapi sebagai orang
tua harus dapat menasihati ketika seorang anak mengajak anaknya ketempat
beribadah agama yang berbeda. Seorang anak tidak oleh mengikuti apa yang
dilakukan terhadap apa yang dilihatnya.
Mempersiapkan
calon generasi yang baik adalah tugas orang tua yang paling pertama dan dibantu
oleh tenaga pendidik atau lembaga pendidikan (sekolah). Dengan menanamkan sifat
menghormati dan menghargai atar umat beragama, mungkin kemajuan bangsa ini akan
pesat. Salah satu mengapa Indonesia tertinggal oleh negara lain, yaitu dengan
adanya konflik yang terjadi antar keompok di Indonesia. Masyarakat di Indonesia
kurang peka terhadap sesamanya, yang mereka fikirkan adalah bagaimana melawan
agama yang lain. Maka timbulah banyak pemeberontakan, permusuhan, bahkan
kekerasan yang sering terjadi sekarang. Bukan hanya meruikan semuanya namun
yang paling penting adalah membunuh dan merusak moral calon generasi penerus
bangsa.
Calon
generasi penerus bangsa yang seharusnya diayomi dan diajarkan untuk berbuat
baik kepada sesama, dan yang terjadi malah sebaliknya. Sepert yang sudah saya katakan
di atas bahwa sikap seorang anak
tergantung bagaiamana sikap orang dewasa bertindak. Bila orang dewasanya
saja banyak berbuat kerusakkan terhadap bangsa ini, bagamiana dengan 20 tahun
ke depan yang akan dipimpin oleh generasi muda kita dan akan menjadi apa bangsa
ini? Apakah kekerasan akan terus merajalela dimana-mana? Ataukah bangsa ini
semakin erat dengan kedulian tehdapad sesama dan tidak ada kekerasan? Orang
tua, pendidik, lembaga pendidikan, dan lingkungan haus menata sikap dan moral
generas muda.
“Penalaran
ilmiah sangat diperluan dalam mengembangkan warga intektual, sedangkan
kompetensi wacana sipil sangat penting untuk menciptakan warga negara yang
beradab”, salah satu kalimat dalam artikel Classroom
Discourse to Foster Religious Harmony. Menutur saya bukan hanya penalaran
lmah saja yang harus dikembangkan. Tatpi penaralan untuk bermasyarakat yang
sangat penting. Dengan adanya penaralan untuk bermasyarakat akan mengarah
kepada kompetensi wacana sipil. Apakah Indonesia sudah mampu menanamkan
kompetensi wacana sipil terhadap peserta didik? Bahkan pada kenyataannya,
banyak sekolah di Indonesia yang belum memenuhi sarana dan fasilitas untuk
mengembangkan kompetensi wacana sipil peserta didiknya.
Sekarang
ini Indonesia menganut paham demokratis, seperti yang dikatakan A. Chaedar
Alwasilah bahwa “pendidikan seyoginya menghasilkan manusia literat, yaitu
manusia yang memilki literasi memadai sebagai warga negara yang demokratis”.
Apakah harus paham demokratis saja yang harus diterapkan dalam dunia
pendidikan? bagaimana jika Indonesia mengambil paham liberal untk bidang
pendidikan? seperti yang ditercantum dalam artikel Classroom Discourse to Foster Religious Harmony bahwa “Dalam
konteks Indonesia, pendidikan liberal harus mencakup pengetahuan etnis, agama
dan minoritas bahasa dan budaya”. Berarti hampir sama dengan paham demokrasi
yang mengajarkan untuk saling menghargai dan menghormati pendapat orang lain,
dan tujuan pendidikan liberal adalah
membebaskan siswa dari sikap rabun dan provinsi terhadap orang lain.
Penulis
dalam artikel Classroom Discourse to
Foster Religious Harmony sangat menggambarkan betapa bangasa ini kurang
dalam kepedulian terhadap sesama. Bukan hanya dilihat dari konflik social, namun
konflk politik, dan budaya juga. Terlihat sangat mengaitkan antara konflik satu
dangan konflk lainnya. Diantaranya yang termasuk konflik social yang disebutkan
adalam artikel adalah konflik etnis, tawuran antar pelajar dan lain-lain.
Membahas juga tentang pendidikan liberal di Indonesia, yang pada dasarnya
melatih dan memberikan pengetahuan kepada siswa untuk memadai atau peduli
kepada daerah-daerah dan membebaskan siswa dari sikap rabun dan provinsi
terhadap orang lain.
Jadi,
dapat disimpulkan bahwa tingkat kepedulian antar umat beragama di Indonesia
masih melemah, banyak terjadi kekerasaan yang terjadi, diantanya tawuran antar
pelajar, pemberontakan, perdebatan antar umat beragama, munculnya bentuk
radikalisme dan yang lebih merusak bangsa adalah terorisme. Saran untuk menanggulangi dan mengurangi tingkat
kelemahan terhadap kepedulian sesama adalah memberikan pengetahuan, lalu
mengarahkan untuk menanamkan sfat kepedulain terhadap sesama kepada anak-anak
sedini mungkin. Peranan orang tua dan tenaga pendidik sangat diperlukan dalam
hal ini, karena anak-anak usia sekolah lebih memilih untuk berinteraksi dengan
rekan-rekan mereka. Jadi, sebagai orang tua dan tenaga pendidik harus ikut
menata dan mengarahkan seorang anak agar mempunyai sifat kepedulian. Sekolah
juga harusnya memberikan fasilitas atau sarana untuk mengembangkan wacana sipil
positif, karena wacana sipil positif juga termasuk dalam pembentukan sifat
kepedulian terhadap antar umat beragama. Guru di tingkat sekolah dasar harus
memberikan kesempatan kepada siswa untuk memberkan kesempatan kepada siswa
untuk mendorong pengalaman bermakna, yaitu interaksi dengan siswa lain dari
agma yang berbeda, etnis dan dari kelompok-kelompok social yang berbeda, karena
pada hakikatnya kita terlahir dari latar belakang yang berbeda.
References
Hasani,
Ismail. 2009. Berpihak dan Bertindak
Intoleran. Katalog dalam terbitan: Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic