We are simple, but no simple impact. Proudly Presents, PBI C 2012. Happy Reading!

Course: Writing and Composition 4

Instructor : Lala Bumela

This website created by : College student from The State Institute of Islamic Studies Syekh Nurjati Cirebon, The Dapartment of English Education 2012.


widgets

Senin, 24 Februari 2014

Critical Review



Dilihat Dari Kacamata Sosiologi
Pendidikan bagaikan sumber dan pengetahuan adalah sebuah apinya sementara kita yang membawa obornya. Pendidikan akan menerangi disekitarnya tergantung bagaimana kita menerimanya dan menjaganya. Atau bahkan dengan pendidikan kita tetap akan gelap gulita jika kita tak bisa menerimanya dengan baik. Pengetahuan akan terus berevolusi siring berkembangnya zaman. Pengetahuan akan terus menjadi pencerah bagi kehidupan manusia karena dengan pengetahuan kita bisa mengetahui sesuatu yang tadinya tidak kita tahu.
Namun benarkah dalam pendidikan kita hanya mendapakan pengetahuan semata? Jelas bukan hanya mendepatkan pengetahuan semata. Pendidikan juga seharusnya memfasilitasi seseorang di dalamnya untuk membentuk karakter dan pribadi yang berkualiatas. Bukan hanya pengetahuan yang didapatkan lewat dunia pendidikan. Namun melalui pendidikan seharusnya seseorang juga mendapatkan nilai dan norma sebagai pedoman bagaimana dia hidup dalam bermasyarakat berbangsa dan beragama.

Sebenarnya banyak orang pintar di negeri ini bertebaran dimana-mana. Baik yang terlihat potensinya atau bahkan yang potensinya masih terpendam. Namun orang yang mempunyai kecerdasan intelektual saja ternyata tidak cukup guna menerangi sekitarnya dengan pengetahuan. Orang yang pintar secara intelektual ternyata harus pintar secara emosional juga.
Kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional harus berjalan saling beriringan. Kecerdasan intelektual berguna memecahkan masalah-masalah yang dhadapi sementara kecerdasan emosional berkaitan dengan bagaimana dia berhubungan dengan lingkungan sekitarnya.
Dua kecerdasan diatas merupakan bekal untuk kita hidup saling berdampingan dengan orang lain. Terlebih lagi kecerdasan emosisonal. Kecerdasan ini sangat perlu diterapkan oleh kita sebagai bangsa Indonesia yang notabene ialah bangsa yang multicultural, multilingual, serta multireligious. Kedua kecerdasan ini dapat kita dapatkan melalui pendidikan.
Pendidikan sendiri adalah penggerak suatu bangsa dalam memajukan peradabannya. Maka pendidikan merupakan  hal utama yang menjadi pertimbangan untuk mengetahui kualitas suatu bangsa. Sistem pendidikan yang berkualitas akan melahirkan bangsa yang berkualitas pula. Hal ini dikarenkan pendidikan adalah proses pencetakan generasi berikutnya. Jadi baik buruknya suatu bangsa dapat dilihat dari sistem pendidikannya.
setelah Indonesia merdeka bangsa ini sadar akan pentingnya pendidikan. Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi pertama yang lahir menegaskan bahwa tiap-tiap warga Negara berhak mendapat pengajaran. Hal itu mencerminkan keseriusan Negara ini dalam bidang pendidikan sejak lahir. Namun apabila kita melihat pada masa sekarang, permasalahan pendidikan yang muncul semakin kompleks dan beragam.
permasalahan pendidikan bukan hanya mengenai sarana maupun pra sarana yang kurang memadai. Namun lebih dari itu, pendidikan juga menghadapi mengenai masalah moral dan karakter para terdidik. Pendidikan yang semestinya sebagai pembentukan karakter ternyata belum berfungsi secara maksimal atau bahkan belum berungsi secara sebenarnya. Mengingat banyaknya potret buram pendidikan yang dapat kita lihat lewat media massa.
“Jika anda bertanya apa manfaat pendidikan, maka jawabannya sederhana. Pendidikan membuat orang menjadi baik dan orang baik tentu berperilaku mulia.” – Plato
 Jika dilihat dari pernyataan Plato di atas dan melihat permasalahn-permasalahan yang muncul di Indonesia rasanya kurang pantas jika kita berpendapat bahwa pendidikan di Indonesia telah mencapai fungsi dan tujuannya seperti yang dituangkan dalam Undang-Undang No. 20, Tahun 2003. Pasal 3 menyebutkan, "Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab."
Fungsi tujuan pendidikan nasional diatas kurang selaras dengan fakta yang beredar dalam realitas. Masih banyak tindakan radikal yang dilakukan oleh pelajar. Seperti halnya tawuran, mencontek, dan kegiatan kerusakan lainnya yang membuat potret pendidikan semakin buram dan jauh dari tujuan dan fungsi yang semestinya. Belum lagi para birokrat atau pejabat tinggi yang memberikan contoh kurang baik bahkan tidak baik mengenai moral dan karakter. Misalnya saja skandal pejabat yang memukul pramugari salah satu maksapai penerbangan tahun lalu. Atau bahkan masalah KKN (korupsi, kolusi, dan nepotime) yang terus saja terjadi tiada henti.
Permasalahan-permasalahan diatas terjadi akibat sistem pendidikan atau bahkan pendidik yang gagal dalam mencetak manusia masa depan yang terdidik dan berbudaya. Selain itu, permasalahan diatas juga terjadi akibat kurangnya sikap tenggang rasa dan saling menghargai anatar sesama. Pendidikan bukan hanya memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme. Namun pendidikan juga diharapkan menjadi sebuah wadah yang berfungsi sebagai pembentukan karakter yang matang dengan berbekalkan pengetahuan dan moral guna menghadapi segala tantangan di masa yang akan datang.
Hal ini karena dari pembentukan karakterlah masalah-masalah sosial seperti perialaku menyimpang, korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta masalah-masalah lain bisa dicegah lewat pendidikan pembentukan karakter. Masalah-masalah yang terlanjur terjadi akan sangat sulit untuk di ‘pangkas’ habis sampai ke akarnya. Maka jalan keluar yang dapat mengurangi angka-angka permasalahan tersebut melalui pendidikan karakter.
Pendidikan sebagai pembentukkan karakter dilakukan sedini mungkin dalam upaya memaksimalkan generasi yang bermoral dan bertanggung jawab. Ada banyak usaha yang dapat dilakukan guna mengembangkan sikap tenggang rasa, bertanggung jawab, dan mengharagai sesama.
Contoh tindakan yang dapat dilakukan sejak dini guna mencetak generasi yang lebih menghargai sesama yaitu dengan mengajarkan bagaimana mengajarkan sikap-sikap demokratis baik di dalam lingkungan keluarga, masyarakat, ataupun sekolah. Misalnya dengan membisakan menyelesaikan persoalan dengan cara musyawarah. Menggunakan kebebasan dengan penuh tanggung jawa, serta berani memberikan kritik yang bersifat membangun.
 Sikap demokratis biasanya terjadi dalam peer group atau teman sebaya. Hal ini karena menurut Piaget (Giddens 1994:77), hubungan diantara teman sebaya lebih demokratis disbanding hubungan dengan anak dan orang tua. Hubungan teman sebaya lebih diwarnai oleh semangat kerja sama dan saling memberi dan menerima diantara anggota kelompok.
Hal ini memungkinkan para pendidik untuk mengoptimakan peran teman sebaya (peer group) dalam meningkatkan sikap tenggang rasa dan toleransi antar kelompok. Sikap-sikap tersebut sebenarnya telah direalisasikan dalam prakteknya di sekolah. Dimana suatu kelompok berargumen dan kelompok lain menanggapi dengan sikap dan tutur kata yang baik. Sehingga mereka dapat membangun hubungan yang harmonis antara satu dengan yang lainnya.
Peer group atau teman sebaya biasanya di dapat melalui lingkungan atau pendidikan, lebih sempit lagi ke dalam ruang lingkup kelas. Karena biasanya seseorang melawati kebanyakan harinya di dalam kelas. Berinteraksi dengan teman sebaya. Entah itu berdiskusi atau hanya mengobrol ringan. Lewat kegiatan-kegiatan tersebut maka seseorang dilatih untuk mendengarkan dengan baik, menyampaikan pendapat dengan baik, atau bahkan menerima kritikan dengan baik pula.

Namun jika ditinjau ulang kembali. Tindakan radikal yang dilakukan oleh pelajar seperti halnya tawuran, mencotek dan kerusakan lain tidak hanya tanggung jawab sistem pendidikan (pendidikan formal) saja. Justru pendidikan informallah yang lebih berperan penting terhadap penyimpangan sosial yang dilakukan oleh para pelajara ataupun para muda-mudi yang mengalami proses sosialisasi tidak sempurna.
Sosialisasi adalah proses yang memungkinkan seseorang belajar tentang sikap-sikap, nilai-nilai, dan tindakan-tindakan yang dianggap tepat oleh suatu masyarakat atau oleh satu kebudayaan tertentu. Proses sosialisasi yang kurang sempurna akan menimbulkan perilaku menyimpang. Perilaku menyimpang adalah suatu perilaku yang tidak menaati nilai dan norma yang berlaku di masyarakat.
Pendidikan informal yang turut andil dalam mempertanggung jawabkan tindakan radikal para pelajar ataupun para generasi penerus bangsa ialah keluarga. Hal ini karena keluarga adalah lembaga yang paling terkait erat dengan proses sosialisasi seseorang. Karena proses sosialisasi pertama dilakukan oleh keluarga mulai dari kita lahir sampai sepanjang hidup. Dimana keluarga adalah tempat awal persemaian nilai dan norma. Oleh karena itu, seharusnya keluarga juga memaksimalkan perannya sebagai tempat sosialisasi pertama sebagai upaya pencegahan perilaku-perilaku yang menyimpang.
Bangsa Indonesia yaitu  bangsa yang multikultural, multilingual, serta multireligious namun tetap satu seperti motto bangsa Indonesia “Bhineka Tunggal Ika”. Keragaman ini menjadi suatu kebanggan bangsa dimana keragaman ini tidak memecah belah kita sebagai bangsa Indonesia.
Namun pada empat tahun terakhir ternyata keserasian dalam berbagai keragaman ternyata memudar. Hal ini dibuktikan dengan munculnya tindakan-tindakan radikal yang dilakukan atas dasar konflik antar etnis, suku, budaya, serta agama. Banyak contoh tindakan radikal yang akhir-akhir ini terjadi sehingga memudarkan motto Bhineka Tunggal Ika.
Masyarakat mulai tidak percaya terhadap para birokrat ataupun pemerintah. Bahkan masyarakat mencurigai angkatan bersenjata. Masyarakat menilai bahwa para pejabatlah yang membuat mereka sengsara dengan mengumbar janji palsu dan melakukan korupsi. Mereka memangkas uang Negara yang seharusnya digunakan untuk kepentingan public dan kesejateraan masyarakat. Belum lagi masalah nepotisme yang dinilai masyarakat kian merajalela.
Kasus nepotisme kian merajalela bahkan sendang menjadi ‘trending topic’ atau topic terhangat pada media massa. Dimana para pejabat atau para birokrat menggandeng beberapa artis cantik untuk ikut serta dalam kegiatan partai yang digeluiti suatu badan. Masyarakat menilai adanya nepotisme dalam batang tubuh partai yang ada di Indonesia.
Belum lagi masalah ketidak percayaan masyarakat terhadap angkatan bersenjata. Ditambah lagi kasus-kasus yang melanda badan hukum dan angkatan bersenjata di Indonesia yang telah kita ketahui terjadi baku tembak antara angkatan bersenjata dengan angkatan bersenjata lain atau bhakna dengan warga padahal merupakan satu bangsa.
Masalah-masalah menambah potret buram tentang moto Indonesia dimana bhineka tunggal ika seharusnya menjadi moto kita sebagai landasan dalam berbangsa dan bernegara. Namun moto tersebut memudar seiring munculnya masalah-masalah yang timbul akibat multicultural, multi lingual serta multireligious.
Masalah-masalah yang dihadapi bangsa Indonesia terus-menuerus menambah perjalanan suram mulai dari bidang politik, pendidikan bahkan sampai bidang agama. yang kita tahu bahwa agama adalah bentuk multi religious yang bahkan di Indonesia terdapapat beberapa agama yang dianut oleh bangsa. Namun yang tejadi justru konflik antar umat beragama.
Padahal secara normative-doktriner, setiap agama selalu mengajarkan kebaikan, cinta kasih, dan kerukunan. Akan tetapi, dalam kenyataan sosiologis, agama justru sering memperlihatkan wajah konflik yang tak kunjung reda, ketegangan, dan kerusuhan. Contoh nyata yang terjadi di Indonesia misalnya konflik yang terjadi di Poso, Sulawesi tengah pada bulan April 2000 silam. Konflik antar etnis dan agama ini menunjukkan memudarnya keserasian di tengah keragaman yang ada berada di tengah bangsa Indonesia ini.
Konflik-konflik tersebut tidak akan terjadi apabila interaksi yang dibangun di dorong oleh beberapa faktor misalnya, faktor tradisi yang ada sejak dulu bersifat gotong royong, faktor kekerabatn suku bangsa yang digunakan untuk menyelesaikan sengketa, faktor misi dakwah yang menekankan aspek kemanusiaan dan pemberdayaan umat, faktor kerjasama antar tokoh beragama, pemipin adat dan aparat pemerintah. Ada presepsi antar umat agama bahwa perbedaan agama merupakan masalah yang lazim dan harus diterima, serta tidak adanya provokasi yang menimbulkan perpecahan, baik oleh masyarakat, tokoh, pemimpin, maupun pihak ketiga.
Faktor-faktor diatas ternyata ampuh memupuk sikap toleransi dan kerjasama antar umat beragama, antar suku, bahkan antar budaya. Contoh nyata terdapat pada interaksi sosial antar umat beragama di pulau Enggano. Di pulau Enggano terdapat lima kelompok bangsa asli . kehidupan keagamaan masyarakat enggano juga terdiri dari Agama Islam dan Kristen Protestan. Namun mereka tetap hidup rukun karena antar suku dan antar umat agama memiliki toleransi beragama yang sangat tinggi.
Dari uraian-uraian diatas dapat kita tahu bahwa terdapat benang merah antara sikap toleransi antar suku, etnis, dan agama dengan pendidikan. Melalui pendidikan sikap toleransi dapat dibentuk karena pendidikan seyogyanya ialah suatu wadah dimana didalamnya terdapat usaha-usaha pembentukan karakter selain sebagai sumber mendapatkan pengetahuan.
Tidak adanya sikap toleransi dalam sebuah bangsa yang multicultural, multi lngual, serta multireligious menimbulkan konflik-konflik sosial yang terjadi antar budaya etnis maupun agama. terjadinya konflik-konflik sosial sebenarnya bukan tantangan hanya untuk pendidikan secara sistematis. Namun juga pendidikan secara non sistematis seperti halnya pendidikan informal.
Pendidikan informal adalah pendidikan yang kita dapatkan melalui orang-orang terdekat dan terjadi sepanjang hayat. Contoh pendidikan informal yaitu keluarga. Keluarga juga ternyata mempunyai tanggung jawab atas terjadinya konflik-konflik sosial yang terjadi. Sebab keluarga adalah tempat pertama dimana anak mendapatkan pendidikan pertamanya.
Selain itu, pendidikan keluarga juga merupakan faktor keberhasilan pendidikan formal atau sekolah. Pendidikan keluarga mendukung keberhasilan pendidikan sekolah. Dimana nilai dan norma, sikap toleransi maupun sikap disiplin yang telah diajarkan di dunia sekolah harus di terapkan lagi di rumah guna mengoptimalkan disiplin ilmu yang telah ia dapat.
Seperti halnya pisau. Semakin ia diasah semakin ia tajam. Ilmu juga seperti itu. Semakin dipelajari dan dibagikan maka si empunya akan semakin pintar. Sama halnya yang terjadi pada karakter. Semakin karakternya di terapkan sejak dini dan diterapkan dalam dua aspek pendidikan (formal dan informal). Maka hidupnya akan lebih terarah.
Lalu sebenarnya pendidikan seperti apa yang dibutuhkan oleh bangsa kita yang multicultural ini? Suatu pendidikan yang sesuai dengan bangsa kita dengan segala jenis ragam budaya bahasa dan agamanya ialah pendidikan liberal. Dimana didalamnya terdapat system dan nilai-nilai yang diajarkan berdasarkan skap demokratis. Sesuai dengan Negara kita yaitu Negara demokrasi.
Pendidikan liberal juga merupakan pendidikan yang dimana siswanya diperbolehkan mengambil mata pelajaran atau mata kuliah sesuai dengan yang dikehendakinya atau sesuai kemampuannya. Pendidikan liberal juga telah diterapkan di amerika dan eropa. Dan hasinya ternyata pendidikan liberal mampu mencerdaskan setiap siswanya.
Dikemukakan Prof. Chaedar, yang membuat mereka (pengguna system pendidikan liberal) cerdas dan mampu menulis adalah dibebaskannya mereka untuk menentukan pilihannya sendiri. Untuk menjadi penulis yang baik diperlukan keberanian untuk tampil tidak sempurna.
Dimana pendidikan liberal ini dapat menampung berbagai aspirasi pelajar dari berbagai suku, budaya, dan agama. pendidikan liberal ini akan beralan dengan baik apabila didalamnya juga terdapat beberapa unsure keragaman budaya, bahasa serta agama. unsur-unsur tersebut bisa berupa para siswanya yang berasal dari berbagai suku atau agama serta para tenaga pengajar yang berasal dari berbagai suku dan agama pula. Dengan demikian maka keragaman sosial dapat tercipta dengan harmonis dengan syarat diterapkannya nilai-nilai dan sikap-sikap demokratis sebagai cermin moto bangsa kita yaitu Bhineka Tunggal Ika.
Pendidikan liberal seharusnya didalamnya menanamkan nilai-nilai dan sikap-sikap demokrasi hendaknya juga dalam pengajarannya diterapkan juga nilai-nilai yang menjunjung tiap budaya. Misalnya saja dengan membaca puisi dengan bahasa lain atau menyanyikan lagu-lagu daerah atau bahkan menggambar peta wilayah terpencil yang mungkin jarang terjamah atau jarang diperkenalkan di pada dunia pendidikan formal.
Selain menerapkan system pendidikan liberal, adapula cara lain yang dapat ditempuh guna mencintai budaya bangsa Indonesia yang beragam ini. Tentunya dengan mencintai seluruh budaya Indonesia bangsa Indonesia tidak akan mengalami berbagai masalah dan konflik sosial yang terjadi di seluruh lapisan masyarakat.
Cara lain sebagai bentuk kecintaan kita terhadap buday bangsa ialah dengan literasi. melalui literasi seseorang dapat memahami nilai dan norma yang berlaku di masyarakat sehingga seorang yan berliterasi mengetahui bagaimana bersikap atau bertingkah laku dengan masyarakat atau lingkungan sekitar sesuai dengan nilai dan norma yang berkembang di masyarakat tersebut.
Selain sebagai pemahaman atas nilai dan norma yang berlaku di seluruh lapisan masyarakat, literasi juga membantu kita dalam mengenal budaya kemudian mencintai keragaman budaya yang ada di Indonesia. Karena pepatah mengatakan ta kenal mak tak sayang. Maka untuk mencintai budaya kita harus mengenal terlebih dahulu budaya tersebut.
Kegiatan-kegiatan diatas dapat merefleksi keragaman budaya, bahasa dan agama yang ada di Indonesia. Refleksi-refleksi tersebut dapat meminimalisasi konflik-konflik sosial yang berlangsung selama ini. Bahkan bisa jadi konflik-konflik sosial terjadi akibat kecemburuan soosial kaum minoritas yang dirinya ‘kurang dianggap’ oleh kaum mayoritas.
Keragaman budaya yang dimiliki bangsa Indonesia seharusnya menjadi kekayaan yang tak ternilai harganya. Kebudayaan bangsa Indonesia tidak bisa dicuri dengan sayrat masyarakatnya mampu melestarikan budaya-budayanya terutama budaya lokal.
Apabila konflik-konflik sosial mulai reda, berkurang, atau bahkan hilang maka terjadilah keragaman budaya dalam tubuh bangsa Indonesia dengan kerukunan dan sikap toleransi sehingga menimbulkan kesejahteraan antar budaya dan agama.
Dari uraian-uraian diatas dapat kita ketahui bahwa terdapat kaitannya antara pendidikan, ragam budaya serta sikap toleransi ataupun tenggang rasa. Pendidikan sebagai wadah pembentukan karakter seseorang diharapkan dapat memahami dan mengerti sikap-sikap demokratis, toleransi dan tenggang rasa. Melalui sikap inilah maka akan terbentuk kerukunan bangsa yang multikultular, multilingual, serta multi religious.
Pembentukan karakter melalui pendidikan, lebih sempit lagi dilakukan di dalam kelas. Dimana di dalam kelas terdapat teman sebaya yang ikut serta dalam pembentukan karakter seseorang. Melalui teman sebaya pula sikap-sikap demokrasi mulai dibangun.
Untuk menghadapi keragaman budaya diantara kita sebagai bangsa Indonesia, perlu diterapkannya sistem pendidikan yang dapat menampung seluruh apresiasi keragaman budaya tersebut dan cara pengelolaannya. Hal tersebut berguna untuk tetap mewujudkan dan menjaga motto bangsa kita Bhineka Tunggal Ika.
Sistem pendidikan yang diterapkan yaitu system pendidikan liberal. Dimana system pendidikan liberal yaitu system pendidikan dimana para pelajara dapat memilih sendiri mata pelajaran ataupun mata kuliah sesuai dengan keinginannya dan sesuai dengan keahliannya.

Refference
Sapto & Bambang Sapto.2006.Sosiologi Untuk SMA Kelas X. Jakarta: Phibeta Aneka Gama
Alwashilah, Chaedar. 2003. Language, Culture, and Education: Potrait of Contemporary Indonesia. Bandung: ANDIRA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

a space for comment and critic