Dilihat Dari Kacamata Sosiologi
Pendidikan bagaikan sumber dan pengetahuan adalah sebuah apinya
sementara kita yang membawa obornya. Pendidikan akan menerangi disekitarnya
tergantung bagaimana kita menerimanya dan menjaganya. Atau bahkan dengan
pendidikan kita tetap akan gelap gulita jika kita tak bisa menerimanya dengan
baik. Pengetahuan akan terus berevolusi siring berkembangnya zaman. Pengetahuan
akan terus menjadi pencerah bagi kehidupan manusia karena dengan pengetahuan
kita bisa mengetahui sesuatu yang tadinya tidak kita tahu.
Namun benarkah dalam pendidikan kita hanya mendapakan pengetahuan
semata? Jelas bukan hanya mendepatkan pengetahuan semata. Pendidikan juga
seharusnya memfasilitasi seseorang di dalamnya untuk membentuk karakter dan
pribadi yang berkualiatas. Bukan hanya pengetahuan yang didapatkan lewat dunia
pendidikan. Namun melalui pendidikan seharusnya seseorang juga mendapatkan
nilai dan norma sebagai pedoman bagaimana dia hidup dalam bermasyarakat
berbangsa dan beragama.
Sebenarnya banyak orang pintar di negeri ini bertebaran dimana-mana.
Baik yang terlihat potensinya atau bahkan yang potensinya masih terpendam.
Namun orang yang mempunyai kecerdasan intelektual saja ternyata tidak cukup
guna menerangi sekitarnya dengan pengetahuan. Orang yang pintar secara
intelektual ternyata harus pintar secara emosional juga.
Kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional harus berjalan
saling beriringan. Kecerdasan intelektual berguna memecahkan masalah-masalah
yang dhadapi sementara kecerdasan emosional berkaitan dengan bagaimana dia
berhubungan dengan lingkungan sekitarnya.
Dua kecerdasan diatas merupakan bekal untuk kita hidup saling
berdampingan dengan orang lain. Terlebih lagi kecerdasan emosisonal. Kecerdasan
ini sangat perlu diterapkan oleh kita sebagai bangsa Indonesia yang notabene
ialah bangsa yang multicultural, multilingual, serta multireligious. Kedua
kecerdasan ini dapat kita dapatkan melalui pendidikan.
Pendidikan sendiri adalah penggerak suatu bangsa dalam memajukan
peradabannya. Maka pendidikan merupakan hal utama yang menjadi pertimbangan untuk
mengetahui kualitas suatu bangsa. Sistem pendidikan yang berkualitas akan
melahirkan bangsa yang berkualitas pula. Hal ini dikarenkan pendidikan adalah
proses pencetakan generasi berikutnya. Jadi baik buruknya suatu bangsa dapat
dilihat dari sistem pendidikannya.
setelah Indonesia merdeka bangsa ini sadar akan pentingnya
pendidikan. Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi pertama yang lahir
menegaskan bahwa tiap-tiap warga Negara berhak mendapat pengajaran. Hal itu
mencerminkan keseriusan Negara ini dalam bidang pendidikan sejak lahir. Namun
apabila kita melihat pada masa sekarang, permasalahan pendidikan yang muncul
semakin kompleks dan beragam.
permasalahan pendidikan bukan hanya mengenai sarana maupun pra
sarana yang kurang memadai. Namun lebih dari itu, pendidikan juga menghadapi
mengenai masalah moral dan karakter para terdidik. Pendidikan yang semestinya
sebagai pembentukan karakter ternyata belum berfungsi secara maksimal atau
bahkan belum berungsi secara sebenarnya. Mengingat banyaknya potret buram
pendidikan yang dapat kita lihat lewat media massa.
“Jika anda bertanya apa manfaat pendidikan, maka jawabannya
sederhana. Pendidikan membuat orang menjadi baik dan orang baik tentu
berperilaku mulia.” – Plato
Jika dilihat dari pernyataan
Plato di atas dan melihat permasalahn-permasalahan yang muncul di Indonesia
rasanya kurang pantas jika kita berpendapat bahwa pendidikan di Indonesia telah
mencapai fungsi dan tujuannya seperti yang dituangkan dalam Undang-Undang No.
20, Tahun 2003. Pasal 3 menyebutkan, "Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab."
Fungsi tujuan pendidikan nasional diatas kurang selaras dengan
fakta yang beredar dalam realitas. Masih banyak tindakan radikal yang dilakukan
oleh pelajar. Seperti halnya tawuran, mencontek, dan kegiatan kerusakan lainnya
yang membuat potret pendidikan semakin buram dan jauh dari tujuan dan fungsi
yang semestinya. Belum lagi para birokrat atau pejabat tinggi yang memberikan
contoh kurang baik bahkan tidak baik mengenai moral dan karakter. Misalnya saja
skandal pejabat yang memukul pramugari salah satu maksapai penerbangan tahun
lalu. Atau bahkan masalah KKN (korupsi, kolusi, dan nepotime) yang terus saja
terjadi tiada henti.
Permasalahan-permasalahan diatas terjadi akibat sistem pendidikan
atau bahkan pendidik yang gagal dalam mencetak manusia masa depan yang terdidik
dan berbudaya. Selain itu, permasalahan diatas juga terjadi akibat kurangnya
sikap tenggang rasa dan saling menghargai anatar sesama. Pendidikan bukan hanya
memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme. Namun pendidikan juga diharapkan
menjadi sebuah wadah yang berfungsi sebagai pembentukan karakter yang matang
dengan berbekalkan pengetahuan dan moral guna menghadapi segala tantangan di
masa yang akan datang.
Hal ini karena dari pembentukan karakterlah masalah-masalah sosial
seperti perialaku menyimpang, korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta
masalah-masalah lain bisa dicegah lewat pendidikan pembentukan karakter.
Masalah-masalah yang terlanjur terjadi akan sangat sulit untuk di ‘pangkas’
habis sampai ke akarnya. Maka jalan keluar yang dapat mengurangi angka-angka
permasalahan tersebut melalui pendidikan karakter.
Pendidikan sebagai pembentukkan karakter dilakukan sedini mungkin
dalam upaya memaksimalkan generasi yang bermoral dan bertanggung jawab. Ada banyak
usaha yang dapat dilakukan guna mengembangkan sikap tenggang rasa, bertanggung
jawab, dan mengharagai sesama.
Contoh tindakan yang dapat dilakukan sejak dini guna mencetak
generasi yang lebih menghargai sesama yaitu dengan mengajarkan bagaimana mengajarkan
sikap-sikap demokratis baik di dalam lingkungan keluarga, masyarakat, ataupun
sekolah. Misalnya dengan membisakan menyelesaikan persoalan dengan cara
musyawarah. Menggunakan kebebasan dengan penuh tanggung jawa, serta berani
memberikan kritik yang bersifat membangun.
Sikap demokratis biasanya
terjadi dalam peer group atau teman sebaya. Hal ini karena menurut Piaget
(Giddens 1994:77), hubungan diantara teman sebaya lebih demokratis disbanding
hubungan dengan anak dan orang tua. Hubungan teman sebaya lebih diwarnai oleh
semangat kerja sama dan saling memberi dan menerima diantara anggota kelompok.
Hal ini memungkinkan para pendidik untuk mengoptimakan peran teman
sebaya (peer group) dalam meningkatkan sikap tenggang rasa dan toleransi antar
kelompok. Sikap-sikap tersebut sebenarnya telah direalisasikan dalam prakteknya
di sekolah. Dimana suatu kelompok berargumen dan kelompok lain menanggapi
dengan sikap dan tutur kata yang baik. Sehingga mereka dapat membangun hubungan
yang harmonis antara satu dengan yang lainnya.
Peer group atau teman sebaya biasanya di dapat melalui lingkungan
atau pendidikan, lebih sempit lagi ke dalam ruang lingkup kelas. Karena
biasanya seseorang melawati kebanyakan harinya di dalam kelas. Berinteraksi
dengan teman sebaya. Entah itu berdiskusi atau hanya mengobrol ringan. Lewat
kegiatan-kegiatan tersebut maka seseorang dilatih untuk mendengarkan dengan
baik, menyampaikan pendapat dengan baik, atau bahkan menerima kritikan dengan
baik pula.
Namun jika ditinjau ulang kembali. Tindakan radikal yang dilakukan
oleh pelajar seperti halnya tawuran, mencotek dan kerusakan lain tidak hanya
tanggung jawab sistem pendidikan (pendidikan formal) saja. Justru pendidikan
informallah yang lebih berperan penting terhadap penyimpangan sosial yang dilakukan
oleh para pelajara ataupun para muda-mudi yang mengalami proses sosialisasi
tidak sempurna.
Sosialisasi adalah proses yang memungkinkan seseorang belajar
tentang sikap-sikap, nilai-nilai, dan tindakan-tindakan yang dianggap tepat
oleh suatu masyarakat atau oleh satu kebudayaan tertentu. Proses sosialisasi
yang kurang sempurna akan menimbulkan perilaku menyimpang. Perilaku menyimpang
adalah suatu perilaku yang tidak menaati nilai dan norma yang berlaku di
masyarakat.
Pendidikan informal yang turut andil dalam mempertanggung jawabkan
tindakan radikal para pelajar ataupun para generasi penerus bangsa ialah
keluarga. Hal ini karena keluarga adalah lembaga yang paling terkait erat
dengan proses sosialisasi seseorang. Karena proses sosialisasi pertama dilakukan
oleh keluarga mulai dari kita lahir sampai sepanjang hidup. Dimana keluarga
adalah tempat awal persemaian nilai dan norma. Oleh karena itu, seharusnya
keluarga juga memaksimalkan perannya sebagai tempat sosialisasi pertama sebagai
upaya pencegahan perilaku-perilaku yang menyimpang.
Bangsa Indonesia yaitu bangsa yang multikultural, multilingual, serta
multireligious namun tetap satu seperti motto bangsa Indonesia “Bhineka
Tunggal Ika”. Keragaman ini menjadi suatu kebanggan bangsa dimana keragaman
ini tidak memecah belah kita sebagai bangsa Indonesia.
Namun pada empat tahun terakhir ternyata keserasian dalam berbagai
keragaman ternyata memudar. Hal ini dibuktikan dengan munculnya
tindakan-tindakan radikal yang dilakukan atas dasar konflik antar etnis, suku,
budaya, serta agama. Banyak contoh tindakan radikal yang akhir-akhir ini
terjadi sehingga memudarkan motto Bhineka Tunggal Ika.
Masyarakat mulai tidak percaya terhadap para birokrat ataupun
pemerintah. Bahkan masyarakat mencurigai angkatan bersenjata. Masyarakat
menilai bahwa para pejabatlah yang membuat mereka sengsara dengan mengumbar
janji palsu dan melakukan korupsi. Mereka memangkas uang Negara yang seharusnya
digunakan untuk kepentingan public dan kesejateraan masyarakat. Belum lagi
masalah nepotisme yang dinilai masyarakat kian merajalela.
Kasus nepotisme kian merajalela bahkan sendang menjadi ‘trending
topic’ atau topic terhangat pada media massa. Dimana para pejabat atau para
birokrat menggandeng beberapa artis cantik untuk ikut serta dalam kegiatan
partai yang digeluiti suatu badan. Masyarakat menilai adanya nepotisme dalam
batang tubuh partai yang ada di Indonesia.
Belum lagi masalah ketidak percayaan masyarakat terhadap angkatan
bersenjata. Ditambah lagi kasus-kasus yang melanda badan hukum dan angkatan
bersenjata di Indonesia yang telah kita ketahui terjadi baku tembak antara
angkatan bersenjata dengan angkatan bersenjata lain atau bhakna dengan warga
padahal merupakan satu bangsa.
Masalah-masalah menambah potret buram tentang moto Indonesia dimana
bhineka tunggal ika seharusnya menjadi moto kita sebagai landasan dalam
berbangsa dan bernegara. Namun moto tersebut memudar seiring munculnya
masalah-masalah yang timbul akibat multicultural, multi lingual serta
multireligious.
Masalah-masalah yang dihadapi bangsa Indonesia terus-menuerus
menambah perjalanan suram mulai dari bidang politik, pendidikan bahkan sampai
bidang agama. yang kita tahu bahwa agama adalah bentuk multi religious yang
bahkan di Indonesia terdapapat beberapa agama yang dianut oleh bangsa. Namun
yang tejadi justru konflik antar umat beragama.
Padahal secara normative-doktriner, setiap agama selalu mengajarkan
kebaikan, cinta kasih, dan kerukunan. Akan tetapi, dalam kenyataan sosiologis,
agama justru sering memperlihatkan wajah konflik yang tak kunjung reda,
ketegangan, dan kerusuhan. Contoh nyata yang terjadi di Indonesia misalnya
konflik yang terjadi di Poso, Sulawesi tengah pada bulan April 2000 silam.
Konflik antar etnis dan agama ini menunjukkan memudarnya keserasian di tengah
keragaman yang ada berada di tengah bangsa Indonesia ini.
Konflik-konflik tersebut tidak akan terjadi apabila interaksi yang
dibangun di dorong oleh beberapa faktor misalnya, faktor tradisi yang ada sejak
dulu bersifat gotong royong, faktor kekerabatn suku bangsa yang digunakan untuk
menyelesaikan sengketa, faktor misi dakwah yang menekankan aspek kemanusiaan
dan pemberdayaan umat, faktor kerjasama antar tokoh beragama, pemipin adat dan
aparat pemerintah. Ada presepsi antar umat agama bahwa perbedaan agama
merupakan masalah yang lazim dan harus diterima, serta tidak adanya provokasi
yang menimbulkan perpecahan, baik oleh masyarakat, tokoh, pemimpin, maupun
pihak ketiga.
Faktor-faktor diatas ternyata ampuh memupuk sikap toleransi dan
kerjasama antar umat beragama, antar suku, bahkan antar budaya. Contoh nyata
terdapat pada interaksi sosial antar umat beragama di pulau Enggano. Di pulau
Enggano terdapat lima kelompok bangsa asli . kehidupan keagamaan masyarakat
enggano juga terdiri dari Agama Islam dan Kristen Protestan. Namun mereka tetap
hidup rukun karena antar suku dan antar umat agama memiliki toleransi beragama
yang sangat tinggi.
Dari uraian-uraian diatas dapat kita tahu bahwa terdapat benang
merah antara sikap toleransi antar suku, etnis, dan agama dengan pendidikan.
Melalui pendidikan sikap toleransi dapat dibentuk karena pendidikan seyogyanya
ialah suatu wadah dimana didalamnya terdapat usaha-usaha pembentukan karakter
selain sebagai sumber mendapatkan pengetahuan.
Tidak adanya sikap toleransi dalam sebuah bangsa yang
multicultural, multi lngual, serta multireligious menimbulkan konflik-konflik
sosial yang terjadi antar budaya etnis maupun agama. terjadinya konflik-konflik
sosial sebenarnya bukan tantangan hanya untuk pendidikan secara sistematis.
Namun juga pendidikan secara non sistematis seperti halnya pendidikan informal.
Pendidikan informal adalah pendidikan yang kita dapatkan melalui
orang-orang terdekat dan terjadi sepanjang hayat. Contoh pendidikan informal
yaitu keluarga. Keluarga juga ternyata mempunyai tanggung jawab atas terjadinya
konflik-konflik sosial yang terjadi. Sebab keluarga adalah tempat pertama
dimana anak mendapatkan pendidikan pertamanya.
Selain itu, pendidikan keluarga juga merupakan faktor keberhasilan
pendidikan formal atau sekolah. Pendidikan keluarga mendukung keberhasilan
pendidikan sekolah. Dimana nilai dan norma, sikap toleransi maupun sikap
disiplin yang telah diajarkan di dunia sekolah harus di terapkan lagi di rumah
guna mengoptimalkan disiplin ilmu yang telah ia dapat.
Seperti halnya pisau. Semakin ia diasah semakin ia tajam. Ilmu juga
seperti itu. Semakin dipelajari dan dibagikan maka si empunya akan semakin
pintar. Sama halnya yang terjadi pada karakter. Semakin karakternya di terapkan
sejak dini dan diterapkan dalam dua aspek pendidikan (formal dan informal).
Maka hidupnya akan lebih terarah.
Lalu sebenarnya pendidikan seperti apa yang dibutuhkan oleh bangsa
kita yang multicultural ini? Suatu pendidikan yang sesuai dengan bangsa kita
dengan segala jenis ragam budaya bahasa dan agamanya ialah pendidikan liberal.
Dimana didalamnya terdapat system dan nilai-nilai yang diajarkan berdasarkan
skap demokratis. Sesuai dengan Negara kita yaitu Negara demokrasi.
Pendidikan liberal juga merupakan pendidikan yang dimana siswanya
diperbolehkan mengambil mata pelajaran atau mata kuliah sesuai dengan yang
dikehendakinya atau sesuai kemampuannya. Pendidikan liberal juga telah
diterapkan di amerika dan eropa. Dan hasinya ternyata pendidikan liberal mampu
mencerdaskan setiap siswanya.
Dikemukakan Prof. Chaedar, yang membuat mereka (pengguna system
pendidikan liberal) cerdas dan mampu menulis adalah dibebaskannya mereka untuk
menentukan pilihannya sendiri. Untuk menjadi penulis yang baik diperlukan
keberanian untuk tampil tidak sempurna.
Dimana pendidikan liberal ini dapat menampung berbagai aspirasi
pelajar dari berbagai suku, budaya, dan agama. pendidikan liberal ini akan
beralan dengan baik apabila didalamnya juga terdapat beberapa unsure keragaman
budaya, bahasa serta agama. unsur-unsur tersebut bisa berupa para siswanya yang
berasal dari berbagai suku atau agama serta para tenaga pengajar yang berasal
dari berbagai suku dan agama pula. Dengan demikian maka keragaman sosial dapat
tercipta dengan harmonis dengan syarat diterapkannya nilai-nilai dan
sikap-sikap demokratis sebagai cermin moto bangsa kita yaitu Bhineka Tunggal
Ika.
Pendidikan liberal seharusnya didalamnya menanamkan nilai-nilai dan
sikap-sikap demokrasi hendaknya juga dalam pengajarannya diterapkan juga
nilai-nilai yang menjunjung tiap budaya. Misalnya saja dengan membaca puisi
dengan bahasa lain atau menyanyikan lagu-lagu daerah atau bahkan menggambar
peta wilayah terpencil yang mungkin jarang terjamah atau jarang diperkenalkan
di pada dunia pendidikan formal.
Selain menerapkan system pendidikan liberal, adapula cara lain yang
dapat ditempuh guna mencintai budaya bangsa Indonesia yang beragam ini.
Tentunya dengan mencintai seluruh budaya Indonesia bangsa Indonesia tidak akan
mengalami berbagai masalah dan konflik sosial yang terjadi di seluruh lapisan
masyarakat.
Cara lain sebagai bentuk kecintaan kita terhadap buday bangsa ialah
dengan literasi. melalui literasi seseorang dapat memahami nilai dan norma yang
berlaku di masyarakat sehingga seorang yan berliterasi mengetahui bagaimana
bersikap atau bertingkah laku dengan masyarakat atau lingkungan sekitar sesuai
dengan nilai dan norma yang berkembang di masyarakat tersebut.
Selain sebagai pemahaman atas nilai dan norma yang berlaku di
seluruh lapisan masyarakat, literasi juga membantu kita dalam mengenal budaya
kemudian mencintai keragaman budaya yang ada di Indonesia. Karena pepatah
mengatakan ta kenal mak tak sayang. Maka untuk mencintai budaya kita harus
mengenal terlebih dahulu budaya tersebut.
Kegiatan-kegiatan diatas dapat merefleksi keragaman budaya, bahasa
dan agama yang ada di Indonesia. Refleksi-refleksi tersebut dapat
meminimalisasi konflik-konflik sosial yang berlangsung selama ini. Bahkan bisa
jadi konflik-konflik sosial terjadi akibat kecemburuan soosial kaum minoritas
yang dirinya ‘kurang dianggap’ oleh kaum mayoritas.
Keragaman budaya yang dimiliki bangsa Indonesia seharusnya menjadi
kekayaan yang tak ternilai harganya. Kebudayaan bangsa Indonesia tidak bisa
dicuri dengan sayrat masyarakatnya mampu melestarikan budaya-budayanya terutama
budaya lokal.
Apabila konflik-konflik sosial mulai reda, berkurang, atau bahkan
hilang maka terjadilah keragaman budaya dalam tubuh bangsa Indonesia dengan
kerukunan dan sikap toleransi sehingga menimbulkan kesejahteraan antar budaya
dan agama.
Dari uraian-uraian diatas dapat kita ketahui bahwa terdapat
kaitannya antara pendidikan, ragam budaya serta sikap toleransi ataupun
tenggang rasa. Pendidikan sebagai wadah pembentukan karakter seseorang
diharapkan dapat memahami dan mengerti sikap-sikap demokratis, toleransi dan
tenggang rasa. Melalui sikap inilah maka akan terbentuk kerukunan bangsa yang
multikultular, multilingual, serta multi religious.
Pembentukan karakter melalui pendidikan, lebih sempit lagi
dilakukan di dalam kelas. Dimana di dalam kelas terdapat teman sebaya yang ikut
serta dalam pembentukan karakter seseorang. Melalui teman sebaya pula
sikap-sikap demokrasi mulai dibangun.
Untuk menghadapi keragaman budaya diantara kita sebagai bangsa
Indonesia, perlu diterapkannya sistem pendidikan yang dapat menampung seluruh
apresiasi keragaman budaya tersebut dan cara pengelolaannya. Hal tersebut
berguna untuk tetap mewujudkan dan menjaga motto bangsa kita Bhineka Tunggal
Ika.
Sistem pendidikan yang diterapkan yaitu system pendidikan liberal.
Dimana system pendidikan liberal yaitu system pendidikan dimana para pelajara
dapat memilih sendiri mata pelajaran ataupun mata kuliah sesuai dengan keinginannya
dan sesuai dengan keahliannya.
Refference
Sapto & Bambang Sapto.2006.Sosiologi Untuk SMA Kelas X.
Jakarta: Phibeta Aneka Gama
Alwashilah, Chaedar. 2003. Language, Culture, and Education:
Potrait of Contemporary Indonesia. Bandung: ANDIRA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic