We are simple, but no simple impact. Proudly Presents, PBI C 2012. Happy Reading!

Course: Writing and Composition 4

Instructor : Lala Bumela

This website created by : College student from The State Institute of Islamic Studies Syekh Nurjati Cirebon, The Dapartment of English Education 2012.


widgets

Senin, 24 Februari 2014

MEMBUMIKAN TOLERANSI DAN PENDIDIKAN DIBUMI PERTIWI




           Tulisan ini berbentuk critical review dari artikel yang berjudul Classroom Discourse to Foster Religious Harmony yang di tulis oleh A. Chaedar Alwasilah yang di terbitkan oleh The Jakarta Post, 22 Oktober 2011.
            Bagaikan sebuah pasukan drum band negeri tercinta ini. Terdiri dari berbagai macam alat musik yang berbeda, seperti snare, bass, terompet, bellyra, symbal, dan sebagainya sehingga bisa menghasilkan instrumental yang enak di dengar. Selain itu terdapat seorang pemimpin drum band yang disebut mayoret yang ahli di bidangnya yaitu memainkan tongkat. Seperti itulah harapan seluruh warga negara Indonesia. Merasa damai dan tentram di negerinya sendiri. Berbagai macam budaya, suku, ras, bahasa, etnis, dan agama, seharusnya negeri ini bisa layaknya perkusi drum band, meskipun berbeda alat musik tapi mereka mampu menghasilkan instrumental yang enak di dengar. Tapi keberagaman itu justru tak di jadikan sebagai kekuatan negeri ini melainkan justru menjadi sebuah masalah yang bisa mendatangkan pertikaian. Misalnya pertikaian antar pelajar, pertikaian antar kelompok dan sebagainya. Pertikaian tersebut dipicu karena adanya perbedaan paham, anggapan ketidakadilan, bahkan yang paling sering di beritakan adalah karena dipicu oleh soal agama. Persoalan tersebut harus benar-benar di waspadai karena sewaktu-waktu bisa menyebabkan kerugian dan tidak sering memakan korban jiwa. Untuk itu toleransi antar umat beda agama bukan hanya di buat aturannya tapi harus 100 persen dijalankan.
            Penelitian lembaga studi Center of Strategic and International Studies menunjukkan toleransi beragama orang Indonesia tergolong rendah.  Kepala Departemen Politik dan Hubungan Internasional CSIS, Philips Vermonte mengatakan bahwa masyarakat Indonesia menerima fakta bahwa mereka hidup di tengah keberagaman, tapi mereka ragu-ragu dalam mentoleransi keberagaman tersebut. Beliau mencontohkan, masyarakat menerima kenyataan hidup bertetangga dengan orang yang berbeda agama. Tapi, masyarakat relatif enggan memberikan kesempatan kepada tetangganya untuk mendirikan rumah ibadah. Dalam survei CSIS, sebanyak 59,5 persen responden tidak berkeberatan bertetangga dengan orang beragama lain. Sekitar 33,7 persen lainnya menjawab sebaliknya. Penelitian dilakukan pada Februari lalu di 23 provinsi dan melibatkan 2.213 responden. Saat ditanya soal pembangunan rumah ibadah agama lain di lingkungannya, sebanyak 68,2 persen responden menyatakan lebih baik hal itu tidak dilakukan. Hanya 22,1 persen yang tidak berkeberatan. Beliau juga mengatakan hasil survei itu bisa menggambarkan persoalan mengapa begitu banyak kasus pelarangan pembangunan rumah ibadah seperti kasus GKI Yasmin dan Gereja Filadelfia. Ini menunjukkan bahwa tingkat toleransi beragama masyarakat ternyata masih rendah. Hasil survei juga menunjukkan kecenderungan intoleransi ada pada kelompok masyarakat dalam semua kategori pendidikan. Sekitar 20 persen masyarakat berpendidikan sekolah dasar, sekolah menengah pertama, dan sekolah menengah atas, menyatakan tak keberatan dengan pembangunan rumah ibadah agama lain di lingkungannya. Adapun pada masyarakat dengan pendidikan di atas SMA, hanya sekitar 38,1 persen yang menyatakan setuju. Banyak orang yang berpendapat bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka akan semakin tinggi rasa toleransinya. Tapi pada kenyataannya tidak sama sekali. Banyak orang yang berpendidikan justru tidak mau menunjukan sikap toleransinya.
            Harapan negeri ini seperti perkusi drum band akan terus ada sampai benar-benar terwujud. Bila melihat perkusi drum band yang pandai memainkan alat musik dan tahu kapan harus memainkan bagian alat musiknya, seharusnya negeri inipun bisa lebih baik dari perkusi drum band. Di Indonesia ini memang bukan satu agama yang di akui keberadaannya, melainkan ada lima negara yaitu islam, kristen khatolik, kristen protestan, hindu dan budha. Masing-masing memiliki visi dan misi yang harus kita hormati. Survei terbaru membuktikan jumlah penduduk dunia (2013) adalah 7.021.836.029. Sebaran menurut agama adalah: Islam 22.43%, Kristen Katolik 16.83%, Kristen Protestan 6.08%, Orthodok 4.03%, Anglikan 1.26%, Hindu 13.78%, Buddhist 7.13%, Sikh 0.36%, Jewish 0.21%, Baha’i 0.11%, Lainnya 11.17%, Non Agama 9.42%, dan Atheists 2.04%. Sementara hasil sensus tahun 2010 menyatakan 87,18% dari 237.641.326 penduduk Indonesia adalah pemeluk islam, 6,96% Kristen Protestan, 2,9%  Kristen Protestan, 1,69% Hindu, 0,72% Budha, 0,05% Kong Hu Chu 0,13% agama lainnya, dan 0,38% tidak terjawab atau tidak ditanyakan. Dengan keberagaman agama di negeri ini memang sangat memungkinkan bila pertikaian antar agama terjadi. Padahal seharusnya pertikaian tersebut bisa di hindari guna menjaga kerukunan dan keutuhan negeri tercinta ini.
            Kualitas suatu bangsa itu terletak pada kualitas dan praktek pendidikannya dan hampir semua negara mengakuinya kemudian membentuk sistem pendidikan yang baik. Salah satu tujuan dari pendidikan dasar adalah untuk memberikan siswa keterampilan dasar untuk mengembangkan kehidupan mereka sebagai individu , anggota masyarakat dan warga negara, begitulah kata A. Chaedar Alwasilah. Adanya masalah sosial yang berulang-ulang, seperti tawuran antar pelajar, pertikaian antar pemuda, dan bentuk lain dari radikalisme di seluruh Indonesia adalah indikasi dari penyakit sosial. Ini di karenakan kurangnya rasa saling menghormati dan menghargai terhadap kelompok yang berbeda. Konflik sosial dan ketidakharmonisan agama khususnya merupakan tantangan bagi pendidik dalam melakukan yang terbaik untuk mempersiapkan generasi berikutnya sebagai warga negara yang demokratis dengan karakter yang baik sebagaimana diatur dalam UU Sisdiknas. Untuk mewujudkan tujuan ini , kerukunan umat beragama harus dikembangkan di sekolah pada awal usia mungkin.
            Dalam pendidikan  multikultural , siswa berasal dari latar belakang etnis , agama dan sosial yang berbeda dan pola pikir mereka dominan dibentuk oleh latar belakang mereka . Program sekolah harus sengaja memfasilitasi interaksi rekan untuk mengembangkan wacana sipil positif. Indikator wacana sipil termasuk mendengarkan penuh perhatian , menyumbangkan ide-ide atau pendapat , mengajukan pertanyaan , menyatakan kesepakatan dan ketidaksepakatan , dan mencapai kompromi dengan cara yang hormat .
            Pada penyelesaikan pendidikan formal mereka, siswa memasuki dunia di mana kemampuan untuk menjaga hubungan baik sangat penting untuk keberhasilan individu . Sebaliknya , ketidakmampuan untuk menjaga hubungan baik dapat merugikan individu dan dapat menyebabkan tingkat  konflik sosial dalam suatu masyarakat tertentu .
Bukti kejadian tersebut sangat banyak, seperti konflik antaretnis dan agama besar yang terjadi di daerah Sambas ( 2008 ) , Ambon ( 2009 ) , Papua ( 2010 ) dan Singkawang ( 2010 ) menyebutkan hanya beberapa . Tanpa langkah yang tepat yang diambil , konflik seperti itu akan terulang kembali.
            Bentuk-bentuk radikalisme telah mengganggu kohesi sosial dan dapat menghasilkan saling tidak percaya di antara kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat . Kasus bunuh diri - pemboman gereja di Surakarta bulan lalu , misalnya , mungkin ( mudah-mudahan tidak ) menyebabkan dendam dan serangan serupa terhadap masjid . Dan ini bisa meningkat menjadi ketidakharmonisan agama besar .
            Studi Aprilliaswati mengajarkan kepada kita bahwa pendidikan harus mengembangkan tidak hanya penalaran ilmiah , tetapi juga wacana sipil positif . Penalaran ilmiah sangat diperlukan dalam mengembangkan warga intelektual , sedangkan kompetensi wacana sipil sangat penting untuk menciptakan warga negara yang beradab.
            Pendidikan kita saat ini gagal untuk memberikan para siswa dengan kompetensi wacana sipil . Sebagian besar politisi dan birokrat telah datang ke kekuasaan karena pendidikan yang mereka telah diperoleh. Sayangnya , banyak dari mereka tidak memiliki kompetensi tersebut . Masih segar dalam ingatan kita adalah insiden memalukan pada tahun 2010 , ketika anggota parlemen saling bertukar kata-kata kasar dengan cara tidak sopan dalam sidang yang disiarkan langsung di seluruh negeri.
            Pendidikan kita saat ini gagal untuk memberikan para siswa kompetensi wacana sipil. Sebagian besar politisi dan birokrat telah datang ke kekuasaan karena pendidikan yang mereka telah diperoleh. Sayangnya , banyak dari mereka tidak memiliki kompetensi tersebut . Tentu saja ini merupakan faktor yang bisa menurunkan kualitas pendidikan bangsa ini. Pada era sekarang ini, banyak yang bisa memalsukan pendidikan. Misalnya pembelian ijazah palsu dari Perguruan Tinggi. Banyak Perguruan Tinggi yang menawarkan ijazah tanpa kita harus mengikuti perkuliahan. Dengan catatan kita mampu untuk membayar nominal yang di tawarkan Perguruan Tinggi tersebut. Jelas saja para anggota legislatif bersikap sangat tidak bermoral ketika sidang berlangsung karena mungkin faktor pendidikan mereka palsu. Bukan menjelek-jelekan, tapi itulah faktanya. Orang yang berpendidikan tidak akan melakukan hal yang kurang terpuji seperti itu di depan rakyatnya. Mereka justru akan memberikan contoh terpuji yang bisa mengubah pandangan rakyat terhadapnya.
            Dalam konteks Indonesia , pendidikan liberal harus mencakup pengetahuan etnis , agama dan minoritas bahasa dan budaya . Terlepas dari karir mereka - politisi , insinyur , petani , atau pengusaha - siswa harus diberikan pengetahuan yang memadai di daerah-daerah.
Dengan demikian didefinisikan , pendidikan liberal bertujuan membebaskan siswa dari sikap rabun dan provinsi terhadap orang lain . Pada dasarnya , itu penempaan insan kamil , yaitu orang yang ideal yang memenuhi kriteria untuk mengasumsikan setiap pekerjaan atau penunjukan sebagai warga negara yang demokratis.
            Di dalam teks yang berjudul Classroom Discourse to Foster Religious Harmony, ada sedikit yang membuat pembaca merasa bingung yaitu tentang sistem pendidikan yang pantas untuk di terapkan di negeri ini. Apakah sistem umum ataukah liberal? Tapi bukan suatu masalah yang besar untuk itu. Sistem pendidikan yang paling tepat untuk bangsa indonesia adalah yang mengutamakan pembentukan karakter pantang menyerah pada peserta didik. Harus diakui saat ini bangsa kita kehilangan keyakinan sebagai bangsa yang besar dan bermartabat. Kita lebih mengagumi dan bangga akan hal-hal yang berbau luar negeri. Kita merasa pesimis dan  bahkan menjadi bangsa yang terbuang. Banyak kalangan yang memprediksi bahwa pendidikan Indonesia akan masuk ke dalam kelompok negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia. Meskipun kini pada kenyataannya dari tahun ke tahun Indonesia selalu tergolong kategori dengan sistem pendidikan yang rendah, tapi beberapa tahun ke depan akan ada perubahan besar yang akan membawa Indonesia ke dalam masa kejayaan dengan sistem pendidikan yang hebat.
            Melihat negara Finlandia, yaitu negara di benua Eropa merupakan negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia dengan jumlah penduduk yang hanya berkisar 5 juta jiwa, bandingkan dengan Indonesia yang jumlah penduduknya lebih dari 220 juta jiwa. Negara industri yang hanya memiliki 6 provinsi ini tiap tahunnya selalu menduduki peringkat atas dalam hal sistem pendidikannya, setelah kupikir-pikir yah bagaimana tidak, jika kita menilik lebih jauh lagi mengenai sistem dan kebijakan-kebijakan dalam pendidikan di Finlandia itu, maka kita akan menemukan beberapa hal yang membuat Finlandia layak untuk mendapatkan gelar sistem pendidikan terbaik di dunia. Gambaran tentang negara Finlandia menerapkan sistem pendidikannya: 1. Di Finlandia itu PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) sangat ditekankan, bahkan budaya membaca sudah ditekankan sejak dini. Memang PAUD adalah kunci dasar untuk membangun karakter manusia yang sesungguhnya. Dengan PAUD diharapkan nantinya akan menciptakan manusia yang berkualitas, yaitu anak yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan tingkat perkembangannya sehingga memiliki kesiapan yang optimal di dalam memasuki pendidikan dasar serta mengarungi kehidupan pada masa dewasa. Apalagi 90% pertumbuhan otak terjadi pada usia balita dan 85% brain paths berkembang sebelum anak masuk SD. Berbeda dengan negara kita, di Indonesia satuan PAUD belum diwajibkan. 2. Sistem kurikulum dalam hal pendidikan di Finlandia selalu tetap/konsisten dan jarang sekali gonta-ganti, beda dengan Indonesia yang suka trial and error. Lihat saja, mulai diberlakukannya sistem KBK tahun 2004 oleh kemdikbud yang hanya bertahan 2 tahun tanpa memperlihatkan mutu pendidikan yang cukup berarti kemudian uda langsung digantikan dengan sistem KTSP tahun 2006. Dan tahun ini KTSP telah digantikan dengan kurikulum baru, yaitu kurikulum 2013 yang resmi diluncurkan 15 Juli yang lalu. Padahal kenyataannya KTSP sendiri belum mampu secara maksimal diterapkan. 3. Guru-guru di Finlandia tidak ada yang S1 apalagi D3, minimal bergelar S2 yang sangat diseleksi dengan ketat ketika akan diterima menjadi tenaga pendidik. Guru-guru disana adalah guru-guru dari lulusan universitas terbaik dan sangat terlatih, mereka bukan hanya mampu menguasai bidang studi yang diajarkannya, namun juga sangat profesional dalam memahami dan mendalami karakter masing-masing peserta didiknya. 4. Finlandia tidak menerapakn banyak test pada ujian sekolah. Ini sangat kontras sekali dengan sistem ujian di Indonesia yang menerapkan banyak sekali ujian, mulai dari UN, UAS, UTS, ulangan harian dan sejenis ujian lainnya. 5. Semua biaya pendidikan beserta sarana dan prasarana di Finlandia ditanggung dan disiapkan oleh negara. Dari lima sistem yang di terapkan di Finlandia sungguh sangat berbeda dengan sistem pendidikan di negara tercinta ini. Tong kosong nyaring bunyinya. Mungkin itu peribahasa yang pantas untuk sistem pendidikan di negeri ini.
            Sumber lain mengatakan bahwa kunci suksesnya negara Finlandia meraih peringkat pertama sistem pendidikan terbaik adalah terletak pada gurunya. Guru-guru Finlandia  adalah guru-guru dengan kualitas terbaik dengan pelatihan terbaik pula. Profesi guru sendiri adalah profesi yang sangat dihargai, meski gaji mereka tidaklah terlalu besar. Di Finlandia guru tidak mengajar dengan metode ceramah. Suasana sekolah sangat santai dan fleksibel. Terlalu banyak komando hanya akan menghasilkan rasa tertekan dan belajar menjadi tidak menyenangkan. Siswa yang lambat mendapat dukungan secara intensif baik oleh guru maupun siswa lain. Hal ini juga yang membuat Finlandia sukses. Berdasarkan penemuan PISA, sekolah-sekolah di Finlandia sangat kecil perbedaannya antara siswa yang berprestasi baik dan yang buruk.
            Remedial tidaklah dianggap sebagai tanda kegagalan tapi sebagai kesempatan untuk memperbaiki. Seorang guru yang bertugas menangani masalah belajar dan prilaku siswa membuat program individual bagi setiap siswa dengan penekanan tujuan-tujuan yang harus dicapai, umpamanya: Pertama, masuk kelas; kemudian datang tepat waktu; berikutnya, bawa buku, dlsb. Kalau mendapat PR siswa bahkan tidak perlu untuk menjawab dengan benar, yang penting mereka berusaha. Para guru sangat menghindari kritik terhadap pekerjaan siswa mereka. Menurut mereka, jika kita mengatakan "Kamu salah" pada siswa, maka hal tersebut akan  membuat siswa malu. Dan jika mereka malu maka ini akan menghambat mereka dalam belajar. Setiap siswa diperbolehkan melakukan kesalahan. Mereka hanya diminta membandingkan hasil mereka dengan nilai sebelumnya, dan tidak dengan siswa lainnya. Jadi tidak ada sistem ranking-rankingan. Setiap siswa diharapkan agar bangga terhadap dirinya masing-masing. Ranking-rankingan hanya membuat guru memfokuskan diri pada segelintir siswa tertentu yang dianggap terbaik di kelasnya.
            Kehebatan dan keberhasilan sistem pendidikan di Finlandia adalah gabungan antara kompetensi guru yang tinggi, kesabaran, toleransi dan komitmen pada keberhasilan melalui tanggung jawab pribadi. Begitulah kunci suksesnya Finlandia. Seharusnya Indonesia bisa mengikuti cara yang di lakukan Finlandia.
             Bunyi pancasila terutama sila pertama yang berbunyi ketuhanan yang maha esa memang tidak salah. Hanya saja pada prakteknya sungguh sangat mengkhawatirkan. Persaudaraan, kekeluargaan, kerukunan, perdamaian dan ketenteraman serta kebersamaan, persekutuan dan kerjasama akan terancam, terganggu dan merosot. Timbul kecemasan akan konflik, kekerasan, perpecahan dan kehancuran yang sewaktu-waktu bisa terjadi. Cukup banyak orang cemas akan ancaman terhadap kesatuan dan persatuan bangsa, atau akan terjadinya disintegrasi bangsa, yang dipicu dengan issu agama. Maka kita perlu memberi perhatian khusus pada permasalahan yang ada, mendalami serta mengupayakan langkah-langkah penyelesaian maupun antisipatif. Perlu diupayakan peningkatan akan pemahaman, penghayanan, implementasi dan pelestarian akan : pertama, wawasan kebangsaan kita seperti tersurat dan tersirat dalam  falsafah bangsa seperti : “Bhineka Tunggal Ika”, “Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh”,  maupun kearifan-kearifan lokal seperti “pela”  dan “gandong”, “ain ni ain” (Kei = satu punya satu), dan sebagainya, kedua, kekeluargaan dan persaudaraan sejati antar suku, ras, golongan, daerah dan agama, dan ketiga, kerukunan dan toleransi antar umat beragama maupun suka, ras dan golongan.
            Kerukunan bisa di katakan sebagai kebutuhan bagi setiap manusia sekaligus yang sangat di harapkan bagi setiap kalangan. Sebab tak ada persatuan tanpa kerukunan, tak ada pembangunan tanpa kerukunan dan tak ada kedamaian tanpa kerukunan. Begitu pentingnya sebuah kerukunan terutama dalam soal agama. Terlepas dari perbedaan agama, suku, etnis, budaya dan Negara juga status sosial. Dengan sikap toleran inilah diharapkan terciptanya kerukunan antar warga yang relasinya akan menciptakan dunia yang damai. Perdamaian dengan tidak adanya kelompok yang merasa di marjinalkan. Untuk itu perlunya memahami toleransi sebagai sebuah jalan menuju perdamaian yang diharapkan . Meski perlu disadari benturan-benturan peradaban memang tak dapat disangkal secara empiris. Namun kita tidak boleh menyerah pada realita empiris dan terus memelihara harapan akan terwujudnya perdamaian yang penuh toleransi. Toleransi dan Perdamaian adalah harapan yang harus diperjuangkan semua pihak. Di mana tidak ada harapan, disitu tidak ada usaha keras. Di mana ada harapan, disitu harus ada usaha keras.  Sudah saatnya kita melihat dan menilai negeri ini dari sisi lain yang lebih positif. Menciptakan negeri yang kaya akan keindahan, kasih sayang, gotong royong dengan segala keberagamannya.
 
Referensi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

a space for comment and critic