Tulisan
ini berbentuk critical review dari artikel yang berjudul Classroom Discourse to Foster Religious Harmony yang di tulis oleh
A. Chaedar Alwasilah yang di terbitkan oleh The Jakarta Post, 22 Oktober 2011.
Bagaikan
sebuah pasukan drum band negeri tercinta ini. Terdiri dari berbagai macam alat
musik yang berbeda, seperti snare, bass, terompet, bellyra, symbal, dan
sebagainya sehingga bisa menghasilkan instrumental yang enak di dengar. Selain
itu terdapat seorang pemimpin drum band yang disebut mayoret yang ahli di
bidangnya yaitu memainkan tongkat. Seperti itulah harapan seluruh warga negara
Indonesia. Merasa damai dan tentram di negerinya sendiri. Berbagai macam
budaya, suku, ras, bahasa, etnis, dan agama, seharusnya negeri ini bisa
layaknya perkusi drum band, meskipun berbeda alat musik tapi mereka mampu
menghasilkan instrumental yang enak di dengar. Tapi keberagaman itu justru tak
di jadikan sebagai kekuatan negeri ini melainkan justru menjadi sebuah masalah
yang bisa mendatangkan pertikaian. Misalnya pertikaian antar pelajar,
pertikaian antar kelompok dan sebagainya. Pertikaian tersebut dipicu karena adanya
perbedaan paham, anggapan ketidakadilan, bahkan yang paling sering di beritakan
adalah karena dipicu oleh soal agama. Persoalan tersebut harus benar-benar di
waspadai karena sewaktu-waktu bisa menyebabkan kerugian dan tidak sering
memakan korban jiwa. Untuk itu toleransi antar umat beda agama bukan hanya di
buat aturannya tapi harus 100 persen dijalankan.
Penelitian
lembaga studi Center of Strategic and International Studies menunjukkan
toleransi beragama orang Indonesia tergolong rendah. Kepala
Departemen Politik dan Hubungan Internasional CSIS, Philips Vermonte mengatakan bahwa masyarakat Indonesia menerima fakta
bahwa mereka hidup di tengah keberagaman, tapi mereka ragu-ragu dalam
mentoleransi keberagaman tersebut. Beliau mencontohkan,
masyarakat menerima kenyataan hidup bertetangga dengan orang yang berbeda
agama. Tapi, masyarakat relatif enggan memberikan kesempatan kepada tetangganya
untuk mendirikan rumah ibadah. Dalam
survei CSIS, sebanyak 59,5 persen responden tidak berkeberatan bertetangga
dengan orang beragama lain. Sekitar 33,7 persen lainnya menjawab sebaliknya.
Penelitian dilakukan pada Februari lalu di 23 provinsi dan melibatkan 2.213
responden. Saat
ditanya soal pembangunan rumah ibadah agama lain di lingkungannya, sebanyak
68,2 persen responden menyatakan lebih baik hal itu tidak dilakukan. Hanya 22,1
persen yang tidak berkeberatan. Beliau juga mengatakan
hasil survei itu bisa menggambarkan persoalan mengapa begitu banyak kasus
pelarangan pembangunan rumah ibadah seperti kasus GKI Yasmin dan Gereja
Filadelfia. Ini
menunjukkan bahwa tingkat toleransi beragama masyarakat ternyata masih rendah. Hasil survei juga
menunjukkan kecenderungan intoleransi ada pada kelompok masyarakat dalam semua
kategori pendidikan. Sekitar 20 persen masyarakat berpendidikan sekolah dasar,
sekolah menengah pertama, dan sekolah menengah atas, menyatakan tak keberatan
dengan pembangunan rumah ibadah agama lain di lingkungannya. Adapun pada masyarakat
dengan pendidikan di atas SMA, hanya sekitar 38,1 persen yang menyatakan
setuju. Banyak orang yang berpendapat bahwa semakin tinggi
tingkat pendidikan seseorang maka akan semakin tinggi rasa toleransinya. Tapi
pada kenyataannya tidak sama sekali. Banyak orang yang berpendidikan justru
tidak mau menunjukan sikap toleransinya.
Harapan
negeri ini seperti perkusi drum band akan terus ada sampai benar-benar
terwujud. Bila melihat perkusi drum band yang pandai memainkan alat musik dan
tahu kapan harus memainkan bagian alat musiknya, seharusnya negeri inipun bisa
lebih baik dari perkusi drum band. Di Indonesia ini memang bukan satu agama
yang di akui keberadaannya, melainkan ada lima negara yaitu islam, kristen
khatolik, kristen protestan, hindu dan budha. Masing-masing memiliki visi dan
misi yang harus kita hormati. Survei terbaru membuktikan jumlah
penduduk dunia (2013) adalah 7.021.836.029. Sebaran menurut agama adalah: Islam
22.43%, Kristen Katolik 16.83%, Kristen Protestan 6.08%, Orthodok 4.03%,
Anglikan 1.26%, Hindu 13.78%, Buddhist 7.13%, Sikh 0.36%, Jewish 0.21%, Baha’i
0.11%, Lainnya 11.17%, Non Agama 9.42%, dan Atheists 2.04%. Sementara hasil sensus tahun 2010 menyatakan 87,18%
dari 237.641.326 penduduk Indonesia adalah pemeluk islam, 6,96% Kristen Protestan, 2,9%
Kristen Protestan,
1,69% Hindu, 0,72% Budha, 0,05% Kong Hu Chu 0,13% agama lainnya,
dan 0,38% tidak terjawab atau tidak ditanyakan. Dengan keberagaman agama di negeri ini memang sangat memungkinkan bila
pertikaian antar agama terjadi. Padahal seharusnya pertikaian tersebut bisa di
hindari guna menjaga kerukunan dan keutuhan negeri tercinta ini.
Kualitas
suatu bangsa itu terletak pada kualitas dan praktek pendidikannya dan hampir
semua negara mengakuinya kemudian membentuk sistem pendidikan yang baik. Salah satu tujuan dari pendidikan dasar adalah untuk memberikan siswa
keterampilan dasar untuk mengembangkan kehidupan mereka sebagai individu ,
anggota masyarakat dan warga negara, begitulah kata A. Chaedar Alwasilah.
Adanya masalah sosial yang berulang-ulang, seperti tawuran antar pelajar,
pertikaian antar pemuda, dan bentuk lain dari radikalisme di seluruh Indonesia
adalah indikasi dari penyakit sosial. Ini di karenakan kurangnya rasa saling
menghormati dan menghargai terhadap kelompok yang berbeda. Konflik sosial dan
ketidakharmonisan agama khususnya merupakan tantangan bagi pendidik dalam
melakukan yang terbaik untuk mempersiapkan generasi berikutnya sebagai warga
negara yang demokratis dengan karakter yang baik sebagaimana diatur dalam UU
Sisdiknas. Untuk mewujudkan tujuan ini , kerukunan umat beragama harus
dikembangkan di sekolah pada awal usia mungkin.
Dalam pendidikan multikultural , siswa berasal dari latar
belakang etnis , agama dan sosial yang berbeda dan pola pikir mereka dominan
dibentuk oleh latar belakang mereka . Program sekolah harus sengaja
memfasilitasi interaksi rekan untuk mengembangkan wacana sipil positif.
Indikator wacana sipil termasuk mendengarkan penuh perhatian , menyumbangkan
ide-ide atau pendapat , mengajukan pertanyaan , menyatakan kesepakatan dan
ketidaksepakatan , dan mencapai kompromi dengan cara yang hormat .
Pada penyelesaikan
pendidikan formal mereka, siswa memasuki dunia di mana kemampuan untuk menjaga
hubungan baik sangat penting untuk keberhasilan individu . Sebaliknya ,
ketidakmampuan untuk menjaga hubungan baik dapat merugikan individu dan dapat
menyebabkan tingkat konflik sosial dalam
suatu masyarakat tertentu .
Bukti kejadian tersebut sangat banyak, seperti konflik antaretnis dan agama besar yang terjadi di daerah Sambas ( 2008 ) , Ambon ( 2009 ) , Papua ( 2010 ) dan Singkawang ( 2010 ) menyebutkan hanya beberapa . Tanpa langkah yang tepat yang diambil , konflik seperti itu akan terulang kembali.
Bukti kejadian tersebut sangat banyak, seperti konflik antaretnis dan agama besar yang terjadi di daerah Sambas ( 2008 ) , Ambon ( 2009 ) , Papua ( 2010 ) dan Singkawang ( 2010 ) menyebutkan hanya beberapa . Tanpa langkah yang tepat yang diambil , konflik seperti itu akan terulang kembali.
Bentuk-bentuk radikalisme
telah mengganggu kohesi sosial dan dapat menghasilkan saling tidak percaya di
antara kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat . Kasus bunuh diri - pemboman
gereja di Surakarta bulan lalu , misalnya , mungkin ( mudah-mudahan tidak )
menyebabkan dendam dan serangan serupa terhadap masjid . Dan ini bisa meningkat
menjadi ketidakharmonisan agama besar .
Studi Aprilliaswati
mengajarkan kepada kita bahwa pendidikan harus mengembangkan tidak hanya
penalaran ilmiah , tetapi juga wacana sipil positif . Penalaran ilmiah sangat
diperlukan dalam mengembangkan warga intelektual , sedangkan kompetensi wacana
sipil sangat penting untuk menciptakan warga negara yang beradab.
Pendidikan kita saat ini gagal untuk memberikan para siswa dengan
kompetensi wacana sipil . Sebagian besar politisi dan birokrat telah datang ke
kekuasaan karena pendidikan yang mereka telah diperoleh. Sayangnya , banyak
dari mereka tidak memiliki kompetensi tersebut . Masih segar dalam ingatan kita
adalah insiden memalukan pada tahun 2010 , ketika anggota parlemen saling
bertukar kata-kata kasar dengan cara tidak sopan dalam sidang yang disiarkan
langsung di seluruh negeri.
Pendidikan kita saat ini
gagal untuk memberikan para siswa kompetensi
wacana sipil. Sebagian besar politisi dan birokrat telah datang ke kekuasaan
karena pendidikan yang mereka telah diperoleh. Sayangnya , banyak dari mereka
tidak memiliki kompetensi tersebut . Tentu saja ini merupakan faktor yang bisa
menurunkan kualitas pendidikan bangsa ini. Pada era sekarang ini, banyak yang
bisa memalsukan pendidikan. Misalnya pembelian ijazah palsu dari Perguruan
Tinggi. Banyak Perguruan Tinggi yang menawarkan ijazah tanpa kita harus
mengikuti perkuliahan. Dengan catatan kita mampu untuk membayar nominal yang di
tawarkan Perguruan Tinggi tersebut. Jelas saja para anggota legislatif bersikap
sangat tidak bermoral ketika sidang berlangsung karena mungkin faktor
pendidikan mereka palsu. Bukan menjelek-jelekan, tapi itulah faktanya. Orang
yang berpendidikan tidak akan melakukan hal yang kurang terpuji seperti itu di
depan rakyatnya. Mereka justru akan memberikan contoh terpuji yang bisa
mengubah pandangan rakyat terhadapnya.
Dalam konteks Indonesia ,
pendidikan liberal harus mencakup pengetahuan etnis , agama dan minoritas
bahasa dan budaya . Terlepas dari
karir mereka - politisi , insinyur , petani , atau pengusaha - siswa harus
diberikan pengetahuan yang memadai di daerah-daerah.
Dengan demikian didefinisikan , pendidikan liberal bertujuan membebaskan siswa dari sikap rabun dan provinsi terhadap orang lain . Pada dasarnya , itu penempaan insan kamil , yaitu orang yang ideal yang memenuhi kriteria untuk mengasumsikan setiap pekerjaan atau penunjukan sebagai warga negara yang demokratis.
Dengan demikian didefinisikan , pendidikan liberal bertujuan membebaskan siswa dari sikap rabun dan provinsi terhadap orang lain . Pada dasarnya , itu penempaan insan kamil , yaitu orang yang ideal yang memenuhi kriteria untuk mengasumsikan setiap pekerjaan atau penunjukan sebagai warga negara yang demokratis.
Di dalam teks yang
berjudul Classroom Discourse to Foster
Religious Harmony, ada sedikit yang membuat pembaca merasa bingung yaitu
tentang sistem pendidikan yang pantas untuk di terapkan di negeri ini. Apakah
sistem umum ataukah liberal? Tapi bukan suatu masalah yang besar untuk itu. Sistem
pendidikan yang paling tepat untuk bangsa indonesia adalah yang mengutamakan
pembentukan karakter pantang menyerah pada peserta didik. Harus diakui saat ini
bangsa kita kehilangan keyakinan sebagai bangsa yang besar dan bermartabat. Kita lebih mengagumi dan bangga akan hal-hal yang berbau
luar negeri. Kita merasa pesimis dan
bahkan menjadi bangsa yang terbuang. Banyak kalangan yang memprediksi
bahwa pendidikan Indonesia akan masuk ke dalam kelompok negara dengan sistem
pendidikan terbaik di dunia. Meskipun kini pada kenyataannya dari tahun ke
tahun Indonesia selalu tergolong kategori dengan sistem pendidikan yang rendah,
tapi beberapa tahun ke depan akan ada perubahan besar yang akan membawa
Indonesia ke dalam masa kejayaan dengan sistem pendidikan yang hebat.
Melihat
negara Finlandia, yaitu negara di benua Eropa merupakan negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia dengan
jumlah penduduk yang hanya berkisar 5 juta jiwa, bandingkan dengan Indonesia
yang jumlah penduduknya lebih dari 220 juta jiwa. Negara industri yang hanya
memiliki 6 provinsi ini tiap tahunnya selalu menduduki peringkat atas dalam hal
sistem pendidikannya, setelah kupikir-pikir yah bagaimana tidak, jika kita
menilik lebih jauh lagi mengenai sistem dan kebijakan-kebijakan dalam
pendidikan di Finlandia itu, maka kita akan menemukan beberapa hal yang membuat
Finlandia layak untuk mendapatkan gelar sistem pendidikan terbaik di dunia. Gambaran tentang negara Finlandia menerapkan sistem pendidikannya: 1. Di Finlandia itu PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) sangat
ditekankan, bahkan budaya membaca sudah ditekankan sejak dini. Memang PAUD adalah kunci dasar untuk membangun karakter manusia yang
sesungguhnya. Dengan PAUD diharapkan nantinya akan menciptakan manusia yang
berkualitas, yaitu anak yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan tingkat
perkembangannya sehingga memiliki kesiapan yang optimal di dalam memasuki
pendidikan dasar serta mengarungi kehidupan pada masa dewasa. Apalagi 90%
pertumbuhan otak terjadi pada usia balita dan 85% brain paths berkembang
sebelum anak masuk SD. Berbeda dengan negara kita, di Indonesia satuan PAUD
belum diwajibkan. 2. Sistem kurikulum dalam hal pendidikan di Finlandia selalu
tetap/konsisten dan jarang sekali gonta-ganti, beda dengan Indonesia yang suka trial
and error. Lihat saja, mulai diberlakukannya sistem KBK tahun 2004 oleh
kemdikbud yang hanya bertahan 2 tahun tanpa memperlihatkan mutu pendidikan yang
cukup berarti kemudian uda langsung digantikan dengan sistem KTSP tahun 2006.
Dan tahun ini KTSP telah digantikan dengan kurikulum baru, yaitu kurikulum 2013
yang resmi diluncurkan 15 Juli yang lalu. Padahal kenyataannya KTSP sendiri
belum mampu secara maksimal diterapkan. 3. Guru-guru di Finlandia tidak
ada yang S1 apalagi D3, minimal bergelar S2 yang sangat diseleksi dengan ketat
ketika akan diterima menjadi tenaga pendidik. Guru-guru disana adalah guru-guru
dari lulusan universitas terbaik dan sangat terlatih, mereka bukan hanya mampu
menguasai bidang studi yang diajarkannya, namun juga sangat profesional dalam
memahami dan mendalami karakter masing-masing peserta didiknya. 4. Finlandia tidak menerapakn banyak test
pada ujian sekolah. Ini sangat kontras sekali dengan sistem ujian di Indonesia
yang menerapkan banyak sekali ujian, mulai dari UN, UAS, UTS, ulangan harian
dan sejenis ujian lainnya. 5. Semua biaya
pendidikan beserta sarana dan prasarana di Finlandia ditanggung dan disiapkan
oleh negara. Dari lima sistem yang di terapkan di Finlandia
sungguh sangat berbeda dengan sistem pendidikan di negara tercinta ini. Tong kosong nyaring bunyinya. Mungkin
itu peribahasa yang pantas untuk sistem pendidikan di negeri ini.
Sumber
lain mengatakan bahwa kunci suksesnya negara Finlandia meraih peringkat pertama
sistem pendidikan terbaik adalah terletak pada gurunya. Guru-guru Finlandia adalah guru-guru dengan kualitas terbaik
dengan pelatihan terbaik pula. Profesi guru sendiri adalah profesi yang sangat
dihargai, meski gaji mereka tidaklah terlalu besar. Di Finlandia guru tidak
mengajar dengan metode ceramah. Suasana sekolah sangat santai dan fleksibel.
Terlalu banyak komando hanya akan menghasilkan rasa tertekan dan belajar
menjadi tidak menyenangkan. Siswa yang lambat mendapat dukungan secara intensif
baik oleh guru maupun siswa lain. Hal ini juga yang membuat Finlandia sukses.
Berdasarkan penemuan PISA, sekolah-sekolah di Finlandia sangat kecil
perbedaannya antara siswa yang berprestasi baik dan yang buruk.
Remedial
tidaklah dianggap sebagai tanda kegagalan tapi sebagai kesempatan untuk
memperbaiki. Seorang guru yang bertugas menangani masalah belajar dan prilaku
siswa membuat program individual bagi setiap siswa dengan penekanan
tujuan-tujuan yang harus dicapai, umpamanya: Pertama, masuk kelas; kemudian
datang tepat waktu; berikutnya, bawa buku, dlsb. Kalau mendapat PR siswa bahkan
tidak perlu untuk menjawab dengan benar, yang penting mereka berusaha. Para
guru sangat menghindari kritik terhadap pekerjaan siswa mereka. Menurut mereka,
jika kita mengatakan "Kamu salah" pada siswa, maka hal tersebut
akan membuat siswa malu. Dan jika mereka malu maka ini akan menghambat
mereka dalam belajar. Setiap siswa diperbolehkan melakukan kesalahan. Mereka
hanya diminta membandingkan hasil mereka dengan nilai sebelumnya, dan tidak
dengan siswa lainnya. Jadi tidak ada sistem ranking-rankingan. Setiap siswa
diharapkan agar bangga terhadap dirinya masing-masing. Ranking-rankingan hanya
membuat guru memfokuskan diri pada segelintir siswa tertentu yang dianggap
terbaik di kelasnya.
Kehebatan
dan keberhasilan sistem pendidikan di Finlandia adalah gabungan antara
kompetensi guru yang tinggi, kesabaran, toleransi dan komitmen pada
keberhasilan melalui tanggung jawab pribadi. Begitulah kunci suksesnya
Finlandia. Seharusnya Indonesia bisa mengikuti cara yang di lakukan Finlandia.
Bunyi pancasila terutama sila pertama yang
berbunyi ketuhanan yang maha esa memang tidak salah. Hanya saja pada prakteknya
sungguh sangat mengkhawatirkan. Persaudaraan,
kekeluargaan, kerukunan, perdamaian dan ketenteraman serta kebersamaan,
persekutuan dan kerjasama akan terancam, terganggu dan merosot. Timbul
kecemasan akan konflik, kekerasan, perpecahan dan kehancuran yang sewaktu-waktu
bisa terjadi. Cukup banyak orang cemas akan ancaman terhadap kesatuan dan
persatuan bangsa, atau akan terjadinya disintegrasi bangsa, yang dipicu dengan
issu agama. Maka kita perlu memberi perhatian khusus pada permasalahan yang
ada, mendalami serta mengupayakan langkah-langkah penyelesaian maupun
antisipatif. Perlu diupayakan peningkatan akan pemahaman, penghayanan,
implementasi dan pelestarian akan : pertama, wawasan
kebangsaan kita seperti tersurat dan tersirat
dalam falsafah bangsa seperti : “Bhineka Tunggal Ika”, “Bersatu kita
teguh, bercerai kita runtuh”, maupun kearifan-kearifan lokal seperti
“pela” dan “gandong”, “ain ni ain” (Kei = satu punya
satu), dan sebagainya, kedua,
kekeluargaan dan persaudaraan sejati antar
suku, ras, golongan, daerah dan agama,
dan ketiga, kerukunan dan toleransi
antar umat beragama maupun suka, ras dan golongan.
Kerukunan
bisa di katakan sebagai kebutuhan bagi setiap manusia sekaligus yang sangat di
harapkan bagi setiap kalangan. Sebab tak ada persatuan
tanpa kerukunan, tak ada pembangunan tanpa kerukunan dan tak ada kedamaian
tanpa kerukunan. Begitu pentingnya sebuah
kerukunan terutama dalam soal agama. Terlepas dari
perbedaan agama, suku, etnis, budaya dan Negara juga status sosial. Dengan
sikap toleran inilah diharapkan terciptanya kerukunan antar warga yang
relasinya akan menciptakan dunia yang damai. Perdamaian
dengan tidak adanya kelompok yang merasa di marjinalkan. Untuk itu perlunya
memahami toleransi sebagai sebuah jalan menuju perdamaian yang diharapkan .
Meski perlu disadari benturan-benturan peradaban memang tak dapat disangkal
secara empiris. Namun kita tidak boleh menyerah pada realita empiris dan terus
memelihara harapan akan terwujudnya perdamaian yang penuh toleransi. Toleransi
dan Perdamaian adalah harapan yang harus diperjuangkan semua pihak. Di mana
tidak ada harapan, disitu tidak ada usaha keras. Di mana ada harapan, disitu
harus ada usaha keras. Sudah saatnya
kita melihat dan menilai negeri ini dari sisi lain yang lebih positif.
Menciptakan negeri yang kaya akan keindahan, kasih sayang, gotong royong dengan
segala keberagamannya.
Referensi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic