Class review 3
Konferensi
kali ini yang diselenggarakan dengan Mr. Lala Bumela pada Rabu, 19 Februari
2014 rupanya meninggalkan banyak catatan-catatan penting yang perlu digaris
bawahi. Ini terkait dengan kelangsungan hidup laskar-laskar pejuang pena yang
sedang bertempur di arena berdarah. Kita semua adalah sekutu yang memiliki
ideologi sama, dengan memerangi musuh yang tak nyata, dan dengan membawa beban
mental yang nyata. Sudah tiga minggu kita bergelut dengan lembaran-lembaran
kertas yang tak tahu dimana ujungnya,dan tak tahu juga dimana akarnya. Tentunya
ini semua menguras tenaga kita, dengan bekerja sepanjang hari menganalisis
ribuan kalimat yang tergambar dalam kertas.
Kali
ini dalam konferensi yang dihadiri oleh 35 lebih para pejuang pena memfokuskan
pikirannya pada satu arah, yaitu tentang “highlight kepenulisan”. Berkali-kali
kita jatuh dalam lubang yang sama dalam masalah ini, karena kita dituntut fokus
dalam peguasaan penulisan dua bahasa (L1) dan (L2). Ini yang membuat kita harus
lebih berhati-hati lagi dalam menganalisisnya, dengan mengambil kesalahan yang
terjadi di minggu lalu. Masih segar dipikaran kita tentang pembahasan literasi
yang di ungkapkan oleh Dr. Chaedar
Alwasilah tentang “rekayasa literasi”, beliau merekayasa teknik
pengajarannya dengan mengolah-alihkan ketrampilan membaca dan menulis dan
dikaitkan dengan sosial budaya. Semua yang dituliskan beliau tertata rapi dalam
menyusunkan permasalahan dalam bentuk teks, dengan mengelompokkan kasus-kasus
yang akan dibahasnya. Dari mulai awal pengenalan kasus, sampai dengan sebab dan
solusi kasus yang dibahas semuanya dikemas secara apik oleh beliau.
Kita
bisa melihat contoh tersebut sebagai glosarium pengetahuan, bahwasanya penulis
mengukir naskah-naskahnya dengan format yang ditentukan. Kita bisa flashback
kembali di minggu lalu mengenai penulisan naskah akademik, bahwasanya sistem
penulisannya lebih rigid (kaku), formal, kritis, terstruktur, dan
tersistematis. Semuanya adalah sifat dari naskah akademik, tapi konteks ilmiah
lebih dominan di area ini. Level kepenulisannya pun tinggi, karena ini terkait
dengan analisis, pemberian pendapat dan mengkritisi naskah lain.
Dalam
pembahasan minggu ini, kita mengkaji tentang elemen-elemen dalam academic
writing untuk referensi penulis. Academic writing bisa dibangun dengan
menerapkan 9 elemen dasar dalam tulisan akademik, yaitu:
- Cohesion: the smooth movement or “flow” between sentences and paragraphs.
Tulisan
dikatakan kohesi bila setiap kalimat teratur atau berjalan lancar dengan
kalimat yang mengikutinya. Penulisan yang mampu membangun sebuah tulisan yang
baik dan teratur, maka akan dengan mudah dimengerti oleh pembaca. Pembahasan
ini pun sama halnya seperti dilansir dalam buku “Academic Writing” yang ditulis
oleh Stephen Bailey, “Cohesion
means linking phrases together so that the whole text is clear and readable. It
is achieved by several methods, such as the use of conjunctions. Another is the
linking of phrases and sentences with words like he, they and that which refer back to something mentioned before:
(Stephen Bailey(2006):73)
Dalam kohesi, connector atau
conjunctions sangat penting untuk digunakan, seperti however, neverthless,
furthemore dan sebagainya. Dalam kohesi juga dibutuhkan tanda-tanda transition
(tingkatan bahasan) seperti first, second, finally dan sebagainya. Semua
connector atau conjunction itu untuk memadukan antara kalimat satu dengan yang
lainnya, agar kalimat mudah dimengerti.
2. Clarity: the
meaning of what you are intending to communicate is perfectly clear;
Penulis
harus mempunyai kejelasan dalam tulisannya, karena tulisan yang informatif dan
objektif akan lebih mudah dibaca oleh pembaca atau sasarannya. Penulis dapat
menuangkan ide-ide atau gagasan secara jelas dengan kalimat yang lebih baik,
sehingga apa yang dibahas dalam topic pembaca tidak salah menginterpretasikan
tentang tulisan tersebut.
3.
Logical Order:
refers to a logical ordering of
information. In academic writing, writers tend to move from general to specific.
Dalam penciptaan sebuah
naskah akademik, penyusunan format menjadi salah satu syarat yang wajib
dipatuhi oleh penulis. Karena dibagian ini pembaca akan dengan mudah menyerap
informasi yang diberitakan oleh penulis, atau lebih dikenal dengan urutan
kronologis yang jelas. Dalam penulisan akademik, penulis cenderung
bergerak dari
penjelasan
umum ke khusus.
4.
Consistency:
Consistency refers to uniformity of
writing style.
Membaca sebuah naskah
akan terasa lebih jelas jika kasus pembahasannya disuguhkan dengan keseragaman
gaya penulisan yang berkesinambungan, karena ini akan terlihat lebih konsisten
dengan pembahasan satu dengan lainnya.
5.
Unity:
At its simplest, unity refers to the
exclusion of information that does not directly relate to the topic being
discussed in a given paragraph.
Dalam paragraph harus
mempunyai satu kesatuan. Jika paragraph tidak memiliki keterkaitan antara
paragraph satu dengan yang lain, maka paragraph tesebut dikatakan paragraph
“sumbang atau rancu”. Induk kalimat dan kalimat pendukung harus saling
berkaitan. Kalimat pendukung bisa menjelaskan kembali apa yang menjadi
pembahasan dalm induk kalimat dengan cara seperti memberikan penjelasan lebih lanjut.
6.
Conciseness:
Conciseness is economy in the use of words. Good writing quickly gets to the
point and eliminates unnecessary words and needless repetition (redundancy, or
“dead wood.”) The exclusion of unnecessary information promotes unity and cohesion.
Biasanya naskah
akademik menggunakan penjelasan yang ringkas, padat dan jelas. Sehingga
pengulangan kata tak banyak terbuang percuma, ini mengakibatkan pembaca
mengalami kebingungan dan kebosanan dengan penjelasan penulis.
7.
Completeness: While repetitive or unnecessary information
must be eliminated, the writer has a to provide essential information on a
given topic. For example, in a
definition of chicken pox, the reader would expect to learn that it is
primarily a children’s disease characterized by a rash.
Tulisan dengan label
akademik memiliki ruang khusus tersendiri dalam hal mengeksplorasi setiap
paragraph, semuanya terlihat lebih lengkap dengan bukti yang di ikut sertakan
dalam perilisan naskah, seperti data-data penting, fakta maupun opini, dan
grafik penting yang terjadi di sekitar.
8.
Variety: Variety helps the reader by adding some
“spice” to the text.
Penulisan akademik
memang terlihat lebih kaku dan membosankan, hal ini dibutuhkan sedikit bumbu
penyedap untuk menambah cita rasa kepenulisan.
9.
Formality: Academic writing is formal in tone. This
means that sophisticated vocabulary and grammatical structures are used. In
addition, the use of pronouns such as “I” and contractions is avoided.
Formal adalah salah
satu sifat turunan dari penulisan akademik, dengan gaya penulisan ilmiah dan
kosakata-kosakata canggih membuat tulisan akademik lebih berkelas. Ini yang
membedakan dengan tulisan lainnya, penggunaan kata “subyek” juga wajib
dihindari.
Semua elemen di atas adalah sebuah potret yang menjadi
tuntutan wajib dalam tulisan akademik. Ada beberapa rambu-rambu yang harus
dipatuhi dalam penulisan akademik itu sendiri, yaitu dengan (1) menyesuaikan target pembaca, (2) posisi penempatan pernyataan yang akan
dikuak kasusnya, (3) pemberian bukti
yang menyokong kasus yang dibahas, (4) harus
ada penyataan sebagai pembahasan, (5) penggunaan
emosional yang dituangkan dalam naskah penempatannya juga harus pas. Kelima
point ini adalah bagian dari ruh sebuah tulisan akademik yang menjadi daftar
pustaka penulis.
Tulisan
akademik inilah yang melatih kita ke arah perbaikan baca-tulis, baca-tulis
sendiri jika terjadi chemistry akan mengatarkan kita ke literasi dan menjadikan
kita sebagai bagian dari orang-orang literat. Ini sesuai dengan pengembangan zaman
yang terjadi pada masyarakat, yang bermukim di abad-21. Hal ini sama dengan apa
yang diutarakan Michael Barber “In the 21st century, world
class standards will demand that everyone is highly literate, highly numerate,
well informed, capable of learning constantly, and confident and able to play
their part as citizen of a democratic society.”
Ken Hyland
(2006) juga angkat bicara mengenai literasi, menurutnya literasi adalah
“something we do”. Penekanan kata
“do” menjadi sebuah penegasan bahwa kegiata litersi benar-benar harus
digalakan, karena literasi adalah salah satu bentuk mobilitas modern saat ini.
literasi dilakukan sebagai bekal untuk bersaing dengan dunia luar, dan juga
merupakan bekal pertahanan diri. Ini dilihat dari sudut pandang Hamilton (1998), “as cited in Hyland (2006: 21),
sees literacy as an activity located in the interactions between people”. Hyland
sendiri lebih
jauh berpendapat: "Literasi akademik menekankan bahwa cara kita menggunakan bahasa,
disebut sebagai praktik keaksaraan, berpola oleh
lembaga sosial dan hubungan kekuasaan”.
Keberhasilan
akademis berarti
mewakili diri kita dengan cara dihargai oleh disiplin
kita sendiri, mengadopsi nilai-nilai,
keyakinan, dan identitas yang mewujudkan “discourse
academic”.
Melihat
penjelasan literasi dari berbagai sudut
pandang para linguist, kita mengingat lagi point-point penting yang terdapat
dalam pembahasan Dr. Chaedar di “Rekayasa Literasi”, yaitu (1) Literasi adalah praktik
kultural yang berkaitan dengan persoalan sosial politik
(2) Definisi
baru literasi terus menjamur sesuai dengan tuntutan “zaman edan” sehingga
tuntutan mengenai perubahan pengajaran pun tidak bisa dihindari
(3) Model literasi ala Freebody and Luke (2003): breaking the
codes of texts; participating in the meanings of text; using texts
functionally; critically analysing and transforming texts.
Prof. Alwasilah meringkas lima ayat di atas menjadi: memahami,
melibati, menggunakan, menganalisis, mentransformasi.
(4) Rujukan literasi terus
berevolusi, sedangkan rujukan linguistik relatif konstan.
(5) Studi literasi tumpang
tindih (overlapping) dengan objek studi budaya (cultural studies) dengan
dimensinya yang luas.
(6)Pendidikan yang
berkualitas tinggi PASTI menghasilkan literasi berkualitas tinggi pula, dna
juga sebaliknya.
(7) Reading, writing, arithmetic, and reasoning =
modal hidup
(8) Orang multiliterat
mampu berinteraksi dalam berbagai situasi
(9) Masyrakat yang tidak
literat tidak mampu memahami bagaimana hegemoni itu diwacanakan lewat media
masa
(10) Pengajaran bahasa
harus mengajarkan ketrampilan berpikir kritis.
(11) Ujung tombak
pendidikan literasi adalah GURU dengan fitur: komitmen profesional, komitmen
etis, strategi analitis dan reflektif, efikasi diri, pengetahuan bidang studi,
dan keterampilan literasi dan numerasi (Cole dan Chan 1994 dikutip dari
Alwasilah 2012)
(12) Rekayasa literasi
adalah upaya yang disengaja dan sistematis untuk menjadikan manusia terdidik
dan berbudaya lewat penguasaan bahasa secara optimal. Penguasaan bahasa adalah pintu masuk menuju
ke pendidikan dan pembudayaan.
(13) Empat dimensi rekayasa
literasi: linguistik, kognitif, sosiokultural, dan perkembangan
(14) Rekayasa literasi =
merekayasa pengajaran membaca dan menulis dalam empat dimensi tersebut
(15) Kern (2003): literacy
refers to “general learnedness and familiarity with literature”.
(16) Orang literat tidak
sekedar berbaca-tulis tapi juga terdidik dan MENGENAL SASTRA
Jadi
pembahasan literasi ini terkait dengan claim awal yang dijelaskan, yaitu
highlight kepenulisan. Untuk memeperoleh tulisan yang maksimal, bisa dibangun
dengan merapkan 9 elemen dasar dalam tulisan akademik. 9 elemen tersebut
menjadi pemandu jalan untuk menuju penciptaan sebuah naskah yang sempurna
dengan diiringi 5 rambu yang wajib dipatuhi dalam penulisan akademik. Jika
semuanya sanggup dilaksanakan, maka kita adalah salah satu calon penulis
kritis, sikap ini yang akan mengantarkan kita ke area literasi yang
sesungguhnya. Efek literasi banyak di dirasakan di abad sekarang ini, salah
satunya adalah pengubahan kualitas anak bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic