Critical Review
(Classroom Discourse to
Foster Religious Harmony)
“Ketika pendidikan
liberal menjajal dunia pendidikan agama”
Terdapat banyak masalah sosial
dalam masyarakat. Segala sesuatu yang disebut sebagai masalah adalah jika sesuatu, sebagai gejala, berjalan/bergerak di luar koridor yang
semestinya. Maka, masalah sosial, bisa kita sebut sebagai gejala atau fenomena
yang tidak semestinya pada masyarakat dan ia memiliki potensi penderitaan pada
masyarakat.
Setiap masalah yang dialami adalah akibat dari SDM-nya itu sendiri.
Kesadaran masyarakat yang peduli akan pendidikan masih terhitung minim.
Permasalahan-permasalahan yang ada di Indonesia adalah bentuk dari keragaman
lintas budaya yang sama-sama dipegang kuat oleh masing-masing individu atau
berbagai kalangan kelompok. Contoh perbedaan yang masih sering kita temukan
dalam segi pendidikan, agama, etnis, bahasa bahkan kasta, hal itu tidak bisa
dipungkiri lagi dan masih akan terus berlanjut jika tidak ada kesadaran dari
semua pihak untuk meningkatkan kualitas hidupnya.
Indonesia merupakan
negara kepulauan. Masyarakat yang
mendiami setiap pulau memiliki ciri khas yang berbeda-beda. Banyaknya
etnis suku bangsa di Indonesia karena itu merupakan hal wajar. Menerima kenyataan
perbedaan inilah yang perlu dipahami bersama. Karena itu, usaha memerlakukan
dan membentuk keseragaman bukanlah hal yang dapat dibenarkan.
Meski demikian,
semua perbedaan haruslah diikat oleh kesatuan sebagai bangsa
yang satu bangsa Indonesia. Semangat Bhineka Tungal Ika yang sering dimaknai sebagai ‘berbeda-beda
tetapai tetap satu juga’ sesungguhnya memberi ruang semua perbedaan itu.
Kesadaran untuk satu sebagai bangsa Indonesia tetap menjadi muara segala
perbedaan tersebut.
Konsep ini haruslah menjadi
dasar pijak pendidikan nasional. Pendidikan nasional dikembangkan dengan
prinsip menghargai dan memberi ruang perbedaan-perbedaan di masing-masing
daerah dan lembaga pendidikan. Meski demikian, segala perbedaan budaya dan
agama lembaga pendidikan haruslah diikat oleh pembentukan pola pikir, tindakan,
dan karakter yang mencerminkan manusia Indonesia.
Konsep ini haruslah menjadi
dasar pijak pendidikan nasional. Pendidikan nasional dikembangkan dengan
prinsip menghargai dan memberi ruang perbedaan-perbedaan di masing-masing
daerah dan lembaga pendidikan. Meski demikian, segala perbedaan budaya lembaga
pendidikan haruslah diikat oleh pembentukan pola pikir, tindakan, dan karakter
yang mencerminkan manusia Indonesia.
Latar belakang di
atas menunjukkan bahwa terdapat hubungan timbal balik antara variabel
pendidikan multikultural dan karakter keindonesiaan. Input pendidikan yang
beragam harus diterima sebagai kewajaran. Output pendidikan yang secara ideal
membentuk karakter keindonesiaan haruslah menjadi
tujuan bersama. Hal ini tampaknya merupakan kemutlakan karena setelah munculnya
regulasi otonomi daerah pada tahun dua ribuan, semangat kedaerahan menjadi
primordial yang berdampak lunturnya jiwa nasionalisme.
Beberapa analis
dalam konggres kebudayaan di Jawa Timur akhir 2010 lalu bahkan sempat
merisaukan apakah Indonesia masih ada setelah 2028 nanti. Rasionalisasi mereka
dilatarbelakangi oleh realitas bahwa solidaritas warga bangsa sebagai kesatuan
bangsa kian lama luntur oleh semangat desentralisasi yang sesungguhnya tujuan
utamanya mensejahterakan rakyat daerah dengan tetap menjunjung tinggi berbangsa
satu bangsa Indonesia, (kutip).
Bangsa Indonesia dalam konteks fitrah keragamannnya diikat oleh
perbedaan-perbedaan. Perbedaan itu meliputi agama atau kepercayaannya terhadap
Tuhan Yang Maha Esa; warna kulit atau ras; etnis atau kesukuan, dan kebudayaan
atau adat kebiasaan. Menempatkan dan menyadari perbedaan empat pilar tersebut
dalam praktik pendidikan haruslah dilakukan. Kesadaran tersebut terbangun
manakala seluruh aktivitas pendidikan di Indonesia dimuarakan pada menjunjung
tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Penggalian ajaran agama, ras, suku, dan
kebudayaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan haruslah ditanamkan
pada peserta didik. Memanusiakan manusia sebagai kedudukan yang mulia merupakan
ajaran semua agama. Semua agama sebagai keyakinan warga bangsa Indonesia mengakui
bahwa menghargai orang lain
merupakan kewajiban; memudahkan sesama umat manusia merupakan perintah Tuhan;
menolong adalah perbuatan terpuji; umat yang taat adalah umat yang menjaga
perdamaian hidup; dan mencintai sesama adalah ajaran semua agama.
Jika Anda ingin mengetahui kualitas suatu bangsa , hanya melihat kualitas
dan praktek sistem pendidikan . Hampir semua negara maju menyadari link ini dan
dengan demikian membentuk sistem pendidikan yang baik. Begitulah kira-kira yang
diungkapkan oleh Prof. Dr. A.Chaedar Alwasilah, selain itu salah satu tujuan dari pendidikan dasar
adalah untuk memberikan siswa keterampilan dasar untuk mengembangkan kehidupan
mereka sebagai individu, anggota masyarakat dan warga negara.
Bentuk dari radikalisme di seluruh Indonesia adalah indikasi dari penyakit
sosial, yaitu kurangnya semata-mata kepekaan dan rasa hormat terhadap orang
lain dari kelompok yang berbeda. Konflik
sosial dan ketidakharmonisan agama khususnya merupakan tantangan bagi pendidik
dalam melakukan yang terbaik untuk mempersiapkan generasi berikutnya sebagai
warga negara yang demokratis dengan karakter yang baik sebagaimana diatur dalam
UU Sisidiknas. Untuk mewujudkan tujuan ini, kerukunan umat beragama
harus dikembangkan di sekolah pada awal usia mungkin.
Dalam pengaturan multikultural, siswa berasal dari latar belakang etnis,
agama dan sosial yang berbeda dan pola pikir mereka dominan dibentuk oleh latar
belakang mereka. Program sekolah harus sengaja memfasilitasi interaksi rekan
untuk mengembangkan wacana sipil positif. Indikator wacana sipil termasuk mendengarkan penuh perhatian,
menyumbangkan ide-ide atau pendapat, mengajukan pertanyaan, menyatakan kesepakatan
dan ketidaksepakatan, dan mencapai kompromi dengan cara yang hormat.
Pada menyelesaikan pendidikan formal mereka, siswa memasuki dunia di mana
kemampuan untuk menjaga hubungan baik sangat penting untuk keberhasilan
individu. Sebaliknya, ketidakmampuan untuk menjaga hubungan baik dapat
merugikan individu dan dapat menyebabkan tingkat tertentu konflik sosial dalam
suatu masyarakat tertentu, dan itu tidak dapat dihindari.
Bukti kejadian tersebut sangat banyak, seperti konflik antaretnis dan agama besar yang terjadi di daerah Sambas ( 2008 ), Ambon ( 2009 ), Papua ( 2010 ) dan Singkawang ( 2010 ) menyebutkan hanya beberapa.
Bukti kejadian tersebut sangat banyak, seperti konflik antaretnis dan agama besar yang terjadi di daerah Sambas ( 2008 ), Ambon ( 2009 ), Papua ( 2010 ) dan Singkawang ( 2010 ) menyebutkan hanya beberapa.
Bentuk-bentuk radikalisme telah mengganggu kohesi sosial dan dapat
menghasilkan saling tidak percaya di antara kelompok-kelompok sosial dalam
masyarakat . Kasus bunuh diri - pemboman gereja di Surakarta bulan lalu,
misalnya, mungkin ( mudah-mudahan tidak ) menyebabkan dendam dan serangan
serupa terhadap masjid.
Dalam konteks Indonesia, pendidikan liberal harus
mencakup pengetahuan etnis , agama dan minoritas bahasa dan budaya. Dengan
demikian didefinisikan , pendidikan liberal bertujuan membebaskan siswa dari
sikap rabun dan provinsi terhadap orang lain. Pada dasarnya , itu penempatan
insan kamil, yaitu orang yang ideal yang memenuhi kriteria untuk mengasumsikan
setiap pekerjaan atau penunjukan sebagai warga negara yang demokratis.
Begitulah summary yang disampaikan oleh Prof. Dr. A.Chaedar Alwasilah mengenai
persepsinya dengan keadaan yang ada di Indonesia dalam teksnya yang berjudul “Classroom
Discourse to Foster Religious Harmony”.
Berbicara mengenai wacana yang dikemukakan oleh Prof.
Dr. A.Chaedar Alwasilah dalam teksnya yang berjudul “Classroom Discourse to
Foster Religious Harmony”, banyak hal yang bisa dijadikan sebagai acuan
kita agar menjadi manusia yang mampu berliterat, yaitu manusia yang mampu mengerti hukum, dan dapat membawa nama baik
Negara Indonesia ini ke kancah dunia, baik itu dari segi budaya, sosial bahkan
yang terpenting adalah dari segi pendidikan.
Dari teks “Classroom Discourse to Foster
Religious Harmony” ada beberapa hal yang cukup membuat si pembaca agak
kebingungan, salah satunya adalah bagaimana kita bisa memperbaiki dan mengatasi
kasus perbedaan agama dalam pendidikan sekolah. Prof. Dr. A.Chaedar Alwasilah
mengungkapkan bahwa Dalam konteks Indonesia, pendidikan liberal harus mencakup
pengetahuan etnis , agama dan minoritas bahasa dan budaya. Beliau seperti sedang
mengungkapkan bahwa akan lebih baik jika menerapkan pendidikan liberal untuk
mengatasi hal ini, padahal pengertian pendidikan liberal itu sendiri adalah membebaskan
mahasiswa dari kungkungan atau perbudakan yang timbul karena pembodohan, syak
wasangka, dan kepicikan.
Pendidikan liberal berniat menjadikan mahasiswa
memiliki kemampuan dan kecenderungan untuk menghadapi fakta, teori, dan
tindakan melalui perbincangan rasional. Pendidikan liberal juga akan memayungi
pendidikan kognitif, moral, dan emosi. Walaupun pendidikan liberal sering
dikaitkan dengan cukup mencakup pendidikan literasi, yaitu kemampuan membaca
dan menulis, bahkan mengapresiasikan sastra. Dan pendidikan liberal mengajari
mahasiswa untuk menjadi pendengar yang baik bagi dialog antara pemikir ulung
yang memiliki pikiran hebat dalam sejarah peradaban manusia. Tapi tetap saja,
pendidikan umum lebih dapat di prioritaskan untuk menjadi bahan acuan
memperbaiki permasalahan perbedaan sosial ini.
Pendidikan liberal memang mempunyai kesamaan
dengan pendidikan umum yaitu menyiapkan individu sebagai pribadi yang utuh,
bukannya menyiapkan tenaga vokasional. Perbedaannya, pendidikan liberal
terfokus pada mata pelajaran sebagai warisan tradisi (klasik) dan lebih
mengembangkan aspek intelektual, maka pendidikan umum lebih terfokus pada
pengembangan pribadi dalam skala yang luas tidak sekedar aspek intelektual,
tetapi semua aspek, yaitu intelektual, emosi, sosial, dan moral peserta didik.
Pendidikan nilai lebih terwadahi oleh pendidikan umum daripada oleh pendidikan
liberal.
Beberapa orang melihat sejumlah kelemahan dalam
pendidikan liberal, yaitu sebagai berikut: Orientasi yang berlebihan terhadap
teks klasik menutup pintu bagi pengetahuan terkini yang merupakan buah kemajuan
ilmu dan teknologi yang sulit dihindari. Orientasi pada pengembangan
intelektual bisa mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan seutuhnya, seiring dengan
perkembangan masyarakat yang semakin kompleks. Spesialisasi yang berlebihan,
seperti yang tampak pada mata pelajaran, bisa berarti reduksi terhadap
kemanusiaan. Spesialisasi mengglobal, kompleks, dan lintas disiplin.
Di sini akan menjelaskan sifat-sifat hasil dari
pendidikan umum, yaitu: Mahasiswa mengenal potensi diri sekaligus haus ilmu
sehingga mau mempelajari pengetahuan baru. Belajar sepanjang hayat membutuhkan
dua modal, yakni keingainan untuk belajar dan kemampuan untuk belajar.
Keterampilan mendewasakan diri melaui penanaman potensi diri, mengatasi stres,
tahu prioritas, merencanakan banyak hal dan menyelsaikannya sesingkat mungkin. Menanamkan
motivasi untuk itu, antara lain dengan keberanian mengambil inisiatif,
menanamkan pengetahanan, kegigihan dan kekuatan. Mampu berkomunikasi secara
formal dan informal dengan berbagai lapisan sosial. Mampu untuk betah tinggal
dalam kelompoknya dan mampu berkomunikasi dengan kelompok lain, dan
mempertahankan hubungan sosial itu dalam perubahan sosial apa pun.
Dalam pendidikan umum seyogyanya membekali
manusia pengetahuan sehingga ia mampu
mengendalikan emosi-emosi, dan mencakup dimensi moral dan spiritual. Jadi untuk
mengatasi dan memperbaiki masalah perbedaan agama dalam pendidikan disini
sebaiknya kita menggunakan pendekatan pendidikan umum dibandingkan pendekatan
melalui pendidikan liberal. Sebenarnya untuk mengatasi permasalahan tersebut
harus lebih banyak lagi bagaimana caranya menanamkan sikap toleransi kepada
setiap individu.
Pengembangan budaya toleransi beragama
di sekolah tidak terjadi begitu saja. Ia harus direncanakan dan menjadi bagian
penting dari kebijakan institusi, untuk itu perlu didekati secara sistematis
dengan menggunakan strategi yang tepat. Dalam hal ini Pendidikan Agama berbasis
multikultural sangat tepat digunakan untuk mengembangkan budaya toleransi
beragama. Pengembangan budaya toleransi Beragama adalah serangkaian kegiatan
yang dilakukan dalam rangka membangun keyakinan dan sikap bersedia menerima keanekaragaman
ajaran agama yang dianutnya. Hal ini dapat terjadi karena keberadaan suatu
agama diakui dan dihormati oleh pihak lain. Siswa diharapkan mampu
menginternalisasi nilai-nilai yang dibangun seperti pluralisme, inklusifisme
dan dialog antaragama. Untuk membangun budaya inilah maka dilakukan
pembelajaran PAI berbasis multikultural dengan cara menyisipkan nilai-nilai
multikultural ke dalam indikator pada silabus. Selanjutnya dikembangkan secara
lebih operasional ke dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Kegiatan
internalisasi nilai multikultural dalam RPP dicantumkan dalam kegiatan inti.
Refleksi tentang lemahnya kepekaan masyarakat untuk membangun
toleransi, kebersamaan, khususnya dengan menyadari keberadaan masyarakat yang
majemuk, menurut GBHN 1999, diantaranya disebabkan pelajaran yang berorientasi
akhlak/moralitas serta pendidikan agama kurang diberikan dalam bentuk
latihan-latihan pengamalan untuk menjadi corak kehidupan sehari-hari.
Pernyataan di atas disepakati sebelumnya oleh Bachtiar Effendy (2001:276) yang
menyatakan bahwa tak jarang dunia pendidikan justru mengembangkan
persoalan-persoalan yang dapat memperuncing kerukunan kehidupan antar umat
beragama. Senada dengan dua pernyataan di atas, Presiden Megawati (Solo Pos, 18
Mei 2004) menyatakan bahwa pendidikan agama justru mengembangkan sikap
fanatisme yang berlebihan sehingga toleransi sangat rendah. Kritik ini memang
tidak dapat dipungkiri, karena dalam pendidikan agama selama ini lebih
mementingkan ranah kognitif yang dangkal, yaitu sebatas hafalan-hafalan teks
tanpa ada pemaknaan realitas. Teks kering inilah yang menggiring para siswa
hanya sekedar menjadi robot yang tidak bisa memaknai kehidupan riil di
masyarakatnya. Mereka memberlakukan masyarakat seperti yang dibaca dalam teks,
yang dilepaskan dari asbab al nuzul (sebab-sebab turun) maupun asbab al
wurudl-nya (sebab-sebab diucapkan).
Sesungguhnya pendidikan multikultural memang sangat penting
diterapkan di sekolah-sekolah ataupun di lembaga-lembaga pendidikan formal
maupun informal. Untuk memperbaiki semua itu, hal utama yang harus dibenahi
adalah sistem pendidikan yang ada. Tidak perlu menganut pendidikan yang ada di
luar negeri dahulu, karena sebenarnya apa yang dihadapi oleh dunia pendidikan
di Indonesia itu tidaklah sama dengan dunia pendidikan di AS yang masih
menganut sistem pendidikan liberal. Walaupun sekarang pendidikan umum dan
pendidikan agama sudah dianggap sebagai cara tradisional pengajaran
agama yang telah dikritik karena menekankan aspek teologis dan ritual ,
sementara mengabaikan aspek-aspek sosial , interaksi yaitu horizontal dan
toleransi antar pengikut agama yang berbeda tapi setidaknya kita masih bisa
menerapkan sistem pendekatan pendidikan umum yang lebih berfokus pada
pengembangan potensi diri dalam skala luas tidak sekedar aspek intelektual,
tetapi semua aspek, yaitu intelektual, emosi sosial, dan moral &
norma peserta didik .
Pendidikan norma lebih sering mementingkan bagaimana membuat
jawaban-jawaban legitimasi dari pertanyaan yang sering muncul dalam sebuah
kegiatan keagamaan, termasuk dalam pengajaran yang kental bermuatan etik.
Jawaban semacam ini menjadikan sekolah keagamaan, menurut Stanton (1994:233)
gagal dalam mengembangkan ilmu pengetahuan pada semua bidang studi dan keilmuan
serta kreativitas keilmuan. Sedikit-sedikit dinyatakan haram dan tidak boleh.
Akibatnya banyak terjadi kebekuan dalam beragama dan pemeluk agama kurang
toleran terhadap pemeluk agama lain maupun berbeda mazhab/aliran yang dianut.
Begitu pula budaya dialog antar wacana, buku di lawan dengan buku (contoh kasus
wacana yang dibangun Ibnu Rusyd dengan Al Ghazali, antar Imam Mazhab, atau Imam
Syafi'i dengan Qaul al-Qadim dan Qaul al-Jadiid) tidak berkembang dalam
masyarakat kekinian dan kedisinian dari pemeluk agama. Umat bereaksi sangat
keras dengan cara meminta pada penguasa untuk melarang peredaran buku atau
membakar buku yang tidak disepakatinya. Perilaku kontraproduktif inilah yang
justru bisa menghancurkan peradaban manusia.
Guru atau tokoh agama akan mengalami pergeseran seiring
perkembangan masyarakatnya. Peserta didik tidak semata-mata belajar dari satu
sumber dan media tetapi beragam. Bahkan merekapun bisa belajar sendiri dan
tidak harus bergantung pada satu guru. Peserta didik bisa belajar dari compact
disk, internet dan software lainnya. Kenyataan ini membatasi peran guru/tokoh
agama hanya terbatas pada peran intelektual, yang berarti bisa
dibanding-bandingkan pendapatnya bahkan bisa terbantahkan apa yang disampaikan.
Guru/tokoh agama bisa memiliki peserta didik yang beragam dan berganti-ganti.
Konsekuensinya satu peserta didik bisa memiliki lebih dari satu guru, baik
manusia maupun non manusia. Bisa juga sebaliknya, satu guru memiliki peserta
didik yang selalu berganti dari waktu ke waktu. Akibatnya memunculkan fenomena
baru yaitu peserta didik bebas dan guru bebas. Kondisi ini lebih diperparah
bahwa guru pendidikan agama di sekolah belum mengikuti perkembangan semacam
itu, terutama tuntutan sosiologis yaitu toleransi antar agama / aliran / mazhab.
Alih-alih banyak hal yang belum bisa kita benahi dari persoalan
ini, mengingat betapa pentingnya bertoleransi dalam agama di dunia pendidikan,
maka sumber hukum harus ditegakkan lagi, menumbuh kembangkan kembali rasa
Bhineka Tunggal Ika pada setiap diri individu. Belakangan ini isu kekerasan keagamaan memang masih saja
menghantui kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama melalui aksi pemaksaan
kehendak untuk diikuti kelompok lain di luarnya. Kenyataan tersebut jelas
terlihat dalam aksi anarkis beberapa Ormas keagamaan semacam Front Pembela
Islam (FPI) di berbagai daerah dalam memaksakan kebenarannya. Tindakan
kekerasan dengan dalih penertiban merupakan kausalitas dari posisi negara yang
tidak mampu memerankan posisi strategis. Hubungan tersebut adalah ketidakmampuan
dalam menjamin kesejahteraan ekonomi masyarakat, tidak profesionalnya aparat
penegak hukum dengan sikap yang lembek, dan pemahaman doktrin keagamaan yang
mendasarkan pada teks tanpa semangat mengintegrasikan dengan dunia realitas
yang plural sekaligus berintegrasi dengan globalisasi.
Jadi kesimpulannya adalah bahwa
mengembangkan paradigma multikulturalisme melalui dunia pendidikan di era
sekarang ini, adalah mutlak segera “dilakukan” terutama atas pendidikan agama
di Indonesia demi kedamaian sejati. Pendidikan agama perlu segera menampilkan
ajaran agama yang toleran melalui kurikulum pendidikan dengan tujuan
menitikberatkan pada pemahaman dan upaya untuk bisa hidup dalam konteks
perbedaan agama dan budaya, baik secara individual maupun secara kolompok dan
tidak terjebak pada primordialisme dan eklusifisme kelompok agama dan budaya
yang sempit. Dalam mengatasi permasalahan perbedaan agama dalam dunia
pendidikan, sepertinya akan lebih cocok di kaji melalui pendekatan pendidikan
umum yang nantinya akan dikombinasikan dengan pendidikan agama. Dibandingkan
dengan pendekatan pendidikan liberal, pendidikan umum lebih cocok untuk
mengatasi permasalahan perbedaan agama dalam dunia pendidikan.
Dalam
upaya memahami realitas perbedaan dalam beragama, lembaga-lembaga pendidikan
Islam bisa juga menanamkan kepedulian komunitas agama lain dengan saling
bekerjasama membersihkan tempat keagamaan, wihara ataupun tempat suci lainnya.
Kesadaran multikulturalisme bukan sekadar memahami keberbedaan, namun juga
harus ditunjukkan dengan sikap konkrit bahwa sekalipun berbeda keyakinan, namun
sama-sama sebagai manusia yang mesti diperlakukan secara manusiawi. Hal itulah
yang mungkin bisa melatih peserta didik untuk dapat saling berbagi satu sama
lainnya.
References
Alwasilah A.Chaedar, Pokoknya Rekayasa Literasi, PT Kiblat
Buku Utama, Bandung, 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic