3rd
Class Review
Saatnya aku berlari sekencang mungkin
Untuk membebaskan diri ini dari
kemalasan
Yang selalu membelenggu semua anggota
badan
Sekarang adalah saatnya untuk
mengembangkan sayap
Aku harus melakukan sesuatu untuk
merubah dunia
Tubuh ini memang memiliki batasan
Namun aku mempunyai fikiran
Fikiran yang didukung anggota gerak
Ku akan merubah dunia
Walau hanya sedikit
Yakinlah, aku bisa !
Itulah
untaian kata pertama yang ku persembahkan untuk mengawali tulisan ini agar diri
ini sadar akan suatu perubahan. Makna dari untaian kata yang ku buat bahwa
sudah tidak ada waktu lagi untuk bermalas-malasan, jangan terus menerus
tertidur kita harus berlari sekencang mungkin. Keadaan negara kita ini masih
tertinggal jauh di saat negara lain sudah berlari di depan kita hanya tertidur
dan tertinggal di belakang. Sudah seharusnya kita mengejar semua ketertinggalan
bangsa ini.
Bukan
hanya aku tapi kalian semua, perubahan dimulai dari kita pribadi sampai
mengakar kemudian menuju kearah yang lebih luas. Manusia memiliki fikiran yang
membuat berbeda dengan makhluk lainnya. Beruntunglah kita ini dapat merasakan
pendidikan sehingga fikiran ini terus menerus dibuka, diisi, dan dikembangkan.
Berhubungan
dengan fikiran maka ada istilah berfikir
kritis. Menurut Paul (1993) Berpikir kritis adalah mode berfikir mengenai hal, substansi, atau masalah apa saja –
dimana si pemikir meningkatkan kualitas pemikirannya dengan menangani secara
terampil struktur-struktur yang melekat dalam pemikiran dan menerapkan
standar-standar intelektual padanya.
Untuk
mengejar semua ketertinggalan bangsa kita dibutuhkan adanya Rekayasa Literasi, yakni sesuai dengan
pengertiannya bahwa Rekayasa Literasi adalah
upaya yang disengaja dan sistematis untuk menjadi manusia terdidik dan
berbudaya lewat penguasaan bahasa secara optimal. (Prof. Chaedar
Alwasilah)
Maju
mundurnya suatu bangs dapat diukur dari tingkat literasi bangsa tersebut.
Kemudian, yang menjadi pertanyaan yaitu “Apa
yang seharusnya direkayasa?”.
Jawaban
dari pertanyaan tesebut, yakni “Pengajaran
membaca dan menulis”.
Dalam
disiplin ilmu pendidikan, pengajaran membaca dan menulis berkaitan erat dengan
literasi, maka perlu adanya rekayasa dalam pengajaran membaca dan menulis dalam
hal ini. Peserta didik dengan daya
literasi tinggi akan mampu mengolah informasi dari teks yang dibacanya,
kemudian menyimpulkan dan mengambil keputusan dari infomasi tersebut.
Literasi
menjadi sumber kualitas hidup manusia. Oleh karenanya,
literasi merupakan sumbu pusaran pendidikan untuk itu upaya strategis
(rekayasa) untuk menumbuhkan daya literasi Indonesia secara menyeluruh dan
berkesinambungan adalah dengan memulainya dari pendidikan (pengajaran
baca-tulis) di sekolah.
Negara
dengan tingkat literasi tinggi seperti Jepang, Finlandia, dan Amerika secara
sistematis menempatkan manfaat buku sebagai pokok utama untuk menunjang
kegiatan belajar. Keterbiasaan dengan buku akan menumbuhkan kesadaran akan
cinta terhadap membaca. Peningkatan literasi terkait erat dengan peran buku
sehingga hal ini dapat membuat proses pembelajaran menjadi aktif dan kritis
karena adanya buku yang memfasilitasi guru dan peserta didik.
Peningkatan
literasi juga memerlukan adanya guru yang dipersiapkan untuk menanamkan
pemahaman literasi dan mengajarkannya di kelas. Hubungan antara literasi
dan peran guru inilah yang menjadi ujung tombak pendidikan literasi.
Setelah mempelajari literasi (baca-tulis) maka akan memunculkan penulis-penulis
dalam generasi baru.
Menjadi
penulis multilingual merupakan kedambaan setiap orang. Saat ini ada seorang
generasi muda Indonesia juga memiliki kemampuan multilingual dalam usianya yang
masih 16 tahun, Gayatri Wailissa
menguasai 9 bahasa di luar bahasa ambon dan bahasa Indonesia sebagai bahasa
ibunya. Bahasa yang dikuasainya, yakni bahasa Inggris, Belanda, Jerman,
Perancis, Mandarin, Jepang, Italia, Spanyol, dan Arab. Gayatri menguasai bahasa
verbal dan bahasa tulis. Bahkan ia mampu menghasilkan karya tulis sendiri
seperti karya sastra sebagai penulis multilingual.
Untuk
belajar multilingual bahasa menurut Gayatri: “bahasa itu media untuk berkomunikasi, karena kita menggunakan bahasa
untuk alat komunikasi”
Gayatri
belajar multilingual bahasa melalui tiga metode, yaitu:
·
Melalui buku (menghafal kata, tata
bahasa);
·
Mengulang percakapan di depan kaca
sendiri;
·
Lewat lagu, dengan menonton film,
melalui pronunciation yang mereka ucapkan.
Tidaklah
penting siapa kita, yang terpenting apa yang bisa kita lakukan untuk menunjang
apa yang mampu kita perbuat.
Yang
dibutuhkan untuk menulis, yaitu:
-
Mengetahui caranya menulis;
-
Mempresentasikan kepada khalayak;
-
dan memproduksi tulisan;
Agar
lebih maju untuk menghasilkan karya tulis juga dibutuhkan:
-
Banyak membaca (Read);
-
Meresponse
-
Dan menulis (write – re write ) secara
terus menerus.
Di
dalam tulisan mengandung adanya text. Setiap text harus didekati dengan cara
yang berbeda-beda.
Menurut
Lehtonen, pengajaran writing itu berawal
dari text. Sifat dari text tersebut yaitu verbal, written, dan visual.
Menurut
Ken Hyland pada bukunya yang berjudul
“English for Academic Purposes (EAP)”
menerangkan jelas bahwa literasi adalah
segala sesuatu yang kita lakuan, berliterasi bisa melalui apa saja. Hal itu
merupakan ujung dari literasi “Something
we do”.
Perlu
diingat kembali adanya 4 dimensi dalam
literasi (Prof. Chaedar Alwasilah), diantaranya:
-
Linguistik (focus text);
-
Kognitif (mind);
-
Perkembangan (growth) – (Kucer
2003:293);
-
dan Sosiokultual (group).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic