Literasi Sebagai
Apresiasi Sastra
Dalam mendaki gunung sangatlah
susah. Banyak rintangan yang menghalang
kita untuk sampai ke puncak. Sebelum
mendaki gunung, kita harus persiapkan terlebih dahulu fisik dan mental
kita. Setelah itu, baru kita persiapkan
peralatan yang harus dibawa. Seperti,
tas rangsel, senter, jaket, manakan, dan minuman. Semua itu harus kita persiapkan
matang-matang. Proses mendaki gunung
begitu sulit, namun tujuan kita untuk mencapai ke puncak harus tercapai. Karena di puncak gunung terdapat dunia yang
berbeda, kita berdiri diatas awan putih dan terasa dunia telah tergapai. Begitu pula dengan proses kita dalam
menghadapi “academic writing”. Kita
harus mempersiapkan daya tahan tubuh kita, pikiran kita, tangan kita untuk
banyak menulis dan mata kita yang sekuat-kuatnya melihat layar monitor untuk
mencari data-data sebagai bahan tulisan kita.
Semua itu harus kita persiapkan semaksimal mungkin, agar kita berhasil
mencapai tujuan kita yaitu menjadi penulis yang handal dan pembaca yang kritis.
Suasana yang begitu sepi, mulailah
saya terbangu dikala semua orang tidur nyenyak dan mimpi indah. Suara kipas yang selalu menemaniku. Pada saat itulah saya mulai mengerjakan class
review yang ketiga. Mulailah saya
berpikir sedalam-dalamnya, tinta hitam berjalan diatas kertas putih tanpa
kusadari. Yang berisi ide-ide yang
berharap ide tersebut bisa membuat seorang pembaca tertarik. Detik demi detik ku lewati, menit demi menit
kulalui dan jam demi jam kujalani hanya bersama tinta dan kertas putih.
Dalam pembahasan ini akan lebih
mendalami tentang literasi sebagai apresiasi sastra. Orang literat adalah orang yang memiliki
sebuah erget yang hendak dicapai dan berusaha untuk mencapai target tersebut. Begitu pula dengan Mr Lala yang ingin
mahasiswa atau nama IAIN bisa terkenal.
Maka dengan cara member tugas menulis dan membaca
sebanyak-banyaknya. Mr Lala menginginkan
suatu saat kita akan menjadi pusat
keunggulan (centre of excellence). di
Iain terdapat penulis yang handal dan pembaca yang kritis, dimana disitulah
terdapat pisat keunggulang dan yang pasti semua orang akan mengunjungi
IAIN. Dosen dari universitas lain banyak
yang mencari buku di Iain. Dengan
bet=gitu, nama Iain akan terkenal dan maju.
Itulah sebuah target yang hendak dicapai.
Kemabali lagi kepembahasan, posisi
kita disini adalah multingual writer.
Multingual Writer = L1
+ L2
Jika
dalam menuliskita menggunakan 4 bahasa, itu sangatlah luar biasa. Kita harus bisa memproduksi sesuatu yang baru
yang orang lain tidak bisa melakukannya.
Contohnya bambu itu dimana-mana juga ada dan banyak disekeliling kita,
tapi kita harus bisa menciptakan sesuatu yang baru dari bamboo tersebut. Seperti membuat dram, bass, gitar dan
lain-lain. Itulah contohnya multingual
writer.
Text menurut Mikko
Lehtonen
Teks dibagi menjadi 2
yaitu physical dan semiotic.
Teks bisa menjadi semiotic ketika mempunyai beberapa bentuk
fisik. Terhadap fisik, kita bisa membawa
teks itu sebagai artifact komunikasi, agar manusia dapat memproduksi instrument
dari komunikasi. Sebagai artifact, teks
telah dihasilkan melalui bantuan berbagai teknologi. Bentuk material dari teks mencerminkan
keadaan alami saat ini. Teknologi awal
yang bertujuan untuk menghasilak teks tertulis yang terhubung ke kapak atau
pisau, dnegantanda-tanda yang terukir dikayu atau bata.
Teks dibuat oleh teknologi juga
mempunyai tanda disebelah kiri yang pada konsep ‘teks’ bahwa menang
dikebudayaan kita. Saling berhubungan
abtara bentuk fisik dari teks dan teknologi diproduksi mereka. Semua teks mempunyai sejarah produksi
sendiri.
Teks sebagai makhluk
semiotic
Teks bisa menjadi bentuk menulis,
pidato, gambar, music atau symbol yang lain.
Didalam bentuk lain, teks mempunyai karekter 3 fitur:
1. Materiality
(materialitas)
2. Formal
relations (hubungan resmi)
3. Meaningfulness
(kebermaknaan)
Penjelasan:
1. Tanda
dari teks adalah fisik dan material: keberadaan fisik mereka dan pengartian
sensual selalu memiliki basis material, baik itu granit yang digunakan dalam
patung atau gelombang udara yang dipancarkan selama tindakan berbicara.
2. Resmi
tertentu berhubungan antara tanda-tanda yang terkandung dalam teks: posisi
tanda-tanda berada diposisi sementara dan hubungan yang local dengan
tanda-tanda yang lain, seperti surat, kata, kalimat, atau seluruh teks.
3. Tanda-tanda
mempunyai sebuah arti semantic: mereka mengacu pada sesuatu diluar dirinya,
apakah itu adalah fenomena non-tekstual atau tekstual. Sebuah bagiandari music pop, misalnya semua
bekerja dalam 3 level: melalui energy suara yang dikandungnya melalui bentuk
musical itu duwujudkan dan melali makna itu menyiratkan. Semua itu berhubungan, tetapi dari tujuan
analitikal, mereka juga bisa menjadi sementara dipisah secara terpisah.
Saussure
kepentingan
Saussure terletak pada system bahasa.
Kemudian berhubungan bahasa dengan dunia atau berbeda makna untuk
berbagai pengguna. Jadi unuk meringkas,
kami bisa berkata bahwa Saussure menaruh perhatian pada makna kamus langsung
dari kata. Menurut Saussure, tanda
linguistic dapat analitik dibagai menjadi 2 tak terpisahkan: the
signifier dan the signified. Referensi dari tanda, nama, tanda apa
yang mengacu, tetap berada diluar dari 2: Signifier
dan Signified.
Saussure
hanya objek nyata dari linguistic adalah normal, kehidupan yang teratur, dan
idiom yang ada.
Setelah Saussure, Roland Barthes
(1915-1980) mengangkat pertanyaan khusus dari informasi makna didalam interaksi
tanda-tanda dan pembaca (saya menggunakan kata “reader” sebagai makna yang luas
sebagai kata “teks”: ‘reader’ semua pemakai bentuk makna dari teks diberbagai
bentuk. Padahal Barthes menggambarkan
interaksi adalah dibuat ketika sebuah tanda sumber pengalaman dan budaya dari
oemakai istilah konotasi.
Istilah denotasi dan konotasi
mempunyai sejarah yang panjang melalui berbagai makna. Biasanya, makna primer dari sebuah kata yang
berarti oleh denotasi, padahal konotasi adalah dipahami sebagai nomor kualitas
terkait dengan rujukan sebuah kata referent, seperti konteks dan reaksi emosi.
Barthes mengatakan tentang tanda
praktis sebagai aktivitas tidak terjadi pada level bahasa abstrak, tetapi dalam
encounter of text (dalam pertemuan teks), context and reader. Menurut Barthes, teks linguistic adalah
produktivitas, produksi dari tahap dimana produsen dari teks dan pembaca
bertemu satu sama lain.
Sebagai catatan
Barthes:
Perlu
untuk membuang monologis, status hokum signifisi dan pluralise. Itu untuk pembahasan ini bahwa konsep
konotasi sigunakan: volume, indra terkait sekunder diturunkan semantic
‘gerakan’ dicangkokkan ke pijat dilambangkan.
Menurut
pandangan Barthes, denotasi adalah makna literer menyampaikan oleh sebuah
tanda, padahal Barthes menggunakan istilah ‘konotasi’ untuk menggambarkan makna
cultural bahwa mereka terkait dengan tanda-tanda bentuk sebagai makna unit lebih
seperti sebagai metaphor atau seluruh teks.
Jadi, perbedaan istimewa dikonsep Saussure dan Barthes, dari bahasa dan makna. Dimana bahasa menurut Saussure adalah suatu system yang didefinisikan maknanya sendiri, Barthes melihat peran dari orang yang
sipraktekkan aktivitas linguistic juga sebagai pusat makhluk didalam makna
informasi.
Kita tahu sekarang
bahwa teks tidak terdiri dari garis kata-kata saja, merilis sebuah ‘teologis’
single berate (pesan dari penulis), tetapi dari ruang multidimensional yang
sudah menikah dan diperebutkan seserapa tulisan, tidak ada yang original: teks
adalah kain kutipan, yang dihasilkan dair seribu sumber budaya.
Sebagai penulis beroperasi dalam
bahasa, ‘The Death of the Author’, Barthes memang menyatakan kematian penulis,
sekaligus menandakan kelahiran pembaca: pembaca naik ke inti dari pembentukkan
makna, dan membaca menjadi tempat dimana milik makna.
Barthes melihat konotasi untuk
produktivitas: dari penanda bahasa.
Didalam tradisional melihat tentang makna, yang man pembaca telah mengeti
untuk menetapkan diri agak tidak berhubungan rumit untuk tanda.
Menurut gagasan ini, teks sebagai semiotic makhluk yang tidak mempunyai
makna alami: mereka juga mendapatkan maknanya tergantung pada konteks mereka.
Text and context
menurut Mikko Lehtonen
Context
bisa diartikan: tergantung pada konteks-seperti sebuah variasi dari sesuatu
bahwa samar-hati mungkin merasa ngeri memikirkan. Context mencakup semua factor tersebut bahwa
penulis dan pembaca membawa ke dalam proses informasi dari makna. Khususnya kompetensi diskursif dan kerangka
pertimbangan nilai.
Konteks mencakup semua ini:
1. Substansi:
materi fisik yang membawa atau relays teks.
2. Music
dan gambar
3. Paralanguage:
perilaku bermakna yang menyertai bahasa, seperti: kualitas suara, gesture,
ekspresi muka dan sentuhan (kecepatan), dan memilih jenis huruf dan ukuran
huruf (didalam menulis).
4. Situasi:
property dan hubungan dari objek dan sekitar teks, sebagai dirasakan oleh
peserta.
5. Co-text:
teks mendahului atau mengikuti bahwa dibawah analisis, dan juri peserta
termasuk wacana yang sama.
6. Inter
text: teks dirasakan peserta sebagai didalam wacana lain, tetapi mereka
asosiasi dengan teks dibawah pertimbangan dan mempengaruhi interpretasi.
7. Participants:
nilai dan interpretasi, pengetahuan dan keyakina, sikap interpersonal. Afiliasi
dan rasa.
8. Function:
teks dimaksudkan untuk apa, oleh pengirim dan alamat, atau dirasakan untuk oeh
penerima dan alamat.
Gagasan memasak dari konteks adalah
praktis cepat. Factor eksternal untuk
situasi teks, pembaca dan fungsi dimaksudkan untuk teks. Jika kata dan kalimat memperoleh makna
pikiran yang berbeda.
Makna
dari sebuah kata, ekspresi, preposisi, dan lain-lain tidak ada dalam dirinya
sendiri. Hubungan jelas dengan karakter
literal dari penanda, tetapi ditentukan oleh posisi ideological membawa
permainan kedalam proses sociohistorikal kata, ekspresi, dan preposisi adalah diproduksi. Tesis ini dapat disimpulkan dari pernyataan
kata, ekspresi, preposisi dan lain-lain mengubah makna untuk diadakan posisi
oleh mereka yang menggunakannya, yang man mereka menemukan makna oleh referensi
untuk posisi.
Reader
Terry Eagleton menggambarkan aktivitas
pembaca mengikuti jalan yaitu:
Meskipun kita jarang menyadari, kita
adalah waktu yang terlibat dalam membangun hipotesis tentang arti teks, pembaca
membuat koneksi implicit, mengisi kesenjangan, menarik kesimpulan, dan menguji
firasat kami, dan untuk melakukan hal ini berate menggambarkan pada pengetahuan
tacit dari dunia pada umumnya dan konvensi sastra pada khususnya. Teks itu sendiri benar-benar tidak lebih dari
serangkaian ‘isyarat’ kepada pembaca, undangan untuk membangun sepotong bahasa
ke makna.
Sebagai istilah “poetics” mempunyai banyak makna, jati yaitu istilah ‘hermeneutics’. Biasanya teori mengenai interpretasi yang
sibuk dengan hal-hal yang universal tentang pemahaman teks disebut hermeneutis. Teks adalah situs diman petjuangan untuk memproduksi
makna berlangsung. Teks dan pembaca
tidak ada terlepas satu sama lain, tetapi menghasilkan satu sama lain sebagai
teks pembaca masing-masing, dan sebagai pembaca teks masing-masing.
Hence
Hubungan antara text, context, and reader menjadi
titik keberangkatan dalam pencarian untuk pembentukkan makna. Teks ditentukan oleh sejumlah besar factor
yang berhubungan dengan produksi dan membaca.
Demikianlah pembahasan tentang text, context, and
reader yang sudah sangat jelas. Marilah
kita mulai membahas tentang literasi.
Pada abad ke-21, standar kelas dunia akan menuntut bahwa setiap orang
sangat melek huruf, sangat berhitung, baik informasi, mampu belajar
terus-menerus dan percaya diri dan mampu memainkan peran mereka sebagai warga
masyarakat yang demokratis.
Karakteristik bagi warga Negara yang demokrat:
·
Rasa hormat dan
tanggung jawab
·
Bersikap kritis
·
Membuka diskusi dan
dialog
·
Bersikap terbuka
·
Rasional
·
Adil
·
Jujur
Rekayasa Literasi
Rekayasa literasi = reading + writing
Rekayasa adalah upaya
yang disengaja dilakukan seseorang, agar memperoleh sesuatu yang baru. Literasi adalah kemampuan menggunakan
symbol-simbol tulis sebagai keterampilan hidup agar semua warga Negara
demokratis dapat berperan maksimal dalam masyarakat madani. Masyarakat madani adalah masyarakat yang
berbudaya namun mampu berinteraksi dengan dunia luar yang modern sehingga dapat
terus berkembang dan maju. Dalam masyarakat
madani, setiap warganya menyadari dan mengerti akan hak-hak serta kewajibannya
terhadap Negara, bangsa, dan agama (Agungborngl.wordpress.com)
Literasi selama bertahun-tahun
dianggap sekedar persoalan psikologis yang berkaitan dengan kemampuan mental dan
keterampilan baca-tulis, padahal literasi adalah praktik cultural yang
berkaitan dengan persoalan social dan politik. Free dan Luke menawarkan
model literasi sebagai berikut:
1. Memahami
kode dalam teks
2. Terlibat
dalam memaknai teks
3. Menggunakan
teks secara fungsional
4. Melakukan
analisis dan mentransformasikan teks secara kritis.
Sulzby
(1986) mengartikan literasi sebagai kemampuan membaca dan menulis. Dalam pengertian luas, literasi meliputi
kemampuan berbahasa (menyimak, berbicara, membaca, dan menulis) dan berpikir
yang menjadi elemen didalamnya. Menurut
Unesco, seseorang disebut literat apabila ia memiliki pengetahuan yang hakiki
untuk digunakan dalam setiap aktivitas yang menuntut fungsi literasi secara
efektif dalam masyarakat, dan pengetahuan yang dicapainya dengan membaca,
menulis, dan arithmetic menungkinkan untuk dimanfaatkan bagi dirinya sendiri
dan perkembangan masyarakat.
Terdapat
3 jenis literasi:
1. Literasi
visual merupakan kemampuan dimana individu memiliki kemampuan mengenali
penggunaan garis, bentuk, dan warna sehingga dapat menginterpretasikan tindakan
mengenali objek, dan memahami pesan lambing (Read dan Smith, 1982).
2. Literasi
lisan (verbal): seseorang yang menganut perspektif orasi menganggap bahwa
kebutuhan yang paling utama dalam berkomunikasi adalah berbicara dan
mendengarkan. Verbal yaitu berbicara dan menulis, mendengarkan dan membaca.
3. Literasi
terhadap teks tertulis (cetakan): Digambarkan sebagai aktivitas dan
keterampilan yang berhubungan secara langsung dengan teks yang tercetak, baik
melalui bentuk pembacaan maupun penulisan.
Sebuah Appetizer dalam
menulis Akademik Elemen
v Cohesion
(kohesi): Gerakan halus atau “aliran” antara kalimat dan paragraph.
v Clarity
(kejelasan): Makna dari apa yang anda niatkan untuk berkomunikasi secara jelas.
v Logical
order (urutan logis): Mengacu pada urutan logis dari informasi. Dalam penulisan akademik, penulis cenderung
bergerak dari umum ke khusus.
v Consistency
(konsisten): Konsisten mengacu pada keseragaman gaya penulisan.
v Unity:
pada sederhana, kesatuan mengacu pada pengecualian informasi yang tidak secara
langsung berhubungan dengan topic yang dibahas dalam paragraph tertentu.
v Conciseness
(keringkasan) adalah ekonomi dalam penggunaan kata-kata. Tulisan yang bagus dengan cepat sampai ke
titik dan menghilangkan kata yang tidak perlu dan tidak perlu pengulangan
(redundancy or dead wood). Pengecualian
dari informasi yang tidak perlu mempromosikan persatuan dan kesatuan.
v Completeness
(kelengkapan): sementara informasi berulang-ulang atau tidak perlu harus dihilangkan,
penulis memiliki untuk memberikan informasi penting mengenai suatu topic
tertentu. Misalnya, dalam definisi cacar
air (chicken pox), pembaca akan mengharapkan untuk mengetahui bahwa itu adalah penyakit
terutama anak-anak yang ditandai dengan ruam.
v Variety
( ragam): membantu pembaca dengan menambahkan beberapa “bumbu” untuk teks.
v Formality
(formalitas): Akademik menulis adalah formal dalam nada. Itu berarti bahwa kosakata canggih dan
struktur tata bahasa yang digunakan.
Selain itu, penggunaan kata ganti ‘I’ dan kontraksi dihindari.
Key Hyland (2006) pada
Literasi
§ Literasi
adalah sesuatu yang kita lakukan.
§ Hamilton
(1998), seperti dikutip dalam Hyland (2006:21), melihat keaksaraan sebagai
kegiatan yang terletak diinteraksi antara manusia.
§ Hyland
Furhter berpendapat: “melek akademik menekankan bahwa cara kita menggunakan
bahasa, disebut sebagai praktik keaksaraan, berpola oleh lembaga social dan
hubungan kekuasaan”.
§ Keberhasilan
akademik berate representing diri anda dengan cara dihargai oleh disiplin anda,
mengadopsi nilai-nilai, keyakina, dan identitas yang mewujudkan wacana akademik.
§ Rujukan
literasi terus berevolusi, sedangkan rujukan linguistic relative konstan.
§ Studi
literasi tumpang tindih (overlapping) dengan objek studi budaya (culture studies)
dengan dimensinya yang luas.
§ Pendidikan
yang berkualitas tinggi PASTI menghasilakn literasi berkualitas tinggi, dan
juga sebaliknya.
§ Reading,
writing, arithmetic, and reasoning = modal hidup
§ Orang
multiliterat mampu berinteraksi dalam berbagai situasi.
§ Masyarakat
yang tidak literat tidak mampu memahami bagaiman hegomoni itu diwacanakan lewat
media masa.
§ Pengajaran
bahasa harus mengajarkan keterampilan berpikir.
Poin penting dalam
“Rekayasa Literasi”
Ø Literasi
adalah praktik cultural yang berkaitan dengan persoalan social politik yang
berkaitan dengan persoalan sosila politik.
Ø Definisi
baru literasi terus menjamur sesuai dengan tuntutan “zaman edan” sehingga
tuntutan mengenai perubahan mengajaran pun bisa dihindari.
Ø Model
literasi ala Freebody dan Lukas (2003): memecahkan kode teks, berpartisipasi
dalam makna teks, menggunakan teks fungsional, kritis menganalisis dan mengubah
teks.
Ø Prof.
Alwasilah meringkas lima ayat diatas menjadi: memahami, melibati, menggunakan,
manganalis, menstransformasi.
Ø Ujung
tombak pendidikan literasi adalah GURU Artikel Baru Fitur: komitmen
professional, sawit terhadap komitmen ETIS, pengembangan strategi analitis dan
reflektif, efikasi diri, pengetahuan kepemilikan modal studi menjabarkan, dan
keterampilan literasi dan numerasi (Cole dan Chan: 1994 dikutip bahasa dari
Alwasilah 2012).
Ø Rekayasa
literasi adalah upaya yang disengaja dan sistematis untuk menjadikan manusia
terdidik dan berbudaya lewat penguasaan bahasa secara optimal.
Ø Penguasaan
bahasa adalah pintu masuk menuju ke pendidikan dan pembudayaan. 4 pada dimensi rekayasa literasi: linguistic,
kognitif, sosiokultural, dan perkembangan.
Ø Rekayasa
literasi= merekayasa pengajaran membaca dan menulis dalam empat dimensi
tersebut.
Ø Kern
(2003): melek mengacu pada “learnedness umum dan keakraban dengan sastra”.
Ø Orang
literat tidak sekedar berbaca tulis tetapi terdidik dan mengenal sasta.
Lemahnya apresiasi sastra dikalangan siswa
disebabkan oleh pendekatan yang memisahkan bahasa dan sastra, alih-alih
pendekatan language arts. Pengajaran
apresiasi sastra, bukannya tata bahasa, berkontribusi dalam pemupukan kemampuan
menulis siswa. Secara nasional, kurang
dari 40% guru bahasa Inggris yang memiliki kompetensi memadai untuk mengajar. Mengajarkan literasi berarti mengajarkan
kepekaan seksual dan cultural lintas kelompok dan lembaga social. Mengajarkan literasi pada intinya menjadikan
manusia yang secara fungsional mampu membaca dan menuis,terdidik, cerdas, dan
menunjukkan apresiasi tinggi terhadap sastra.
Apresiasi siswa terhadap sastra masih lemah karena pengajaran mereka yang
didapat lebih menekankan aspek afektif dan pengalaman. Menusia literat adalah individu yang mendapatkan
akses kepada ilmu pengetahuan melalui buku dan meteri tulis lainnya.
Jadi, pengajaran bahasa harus lebih ditingkatkan lagi,
agar siswa mengetahui apa arti literasi yang sebenarnya. Orang literat adalah orang yang bukan sekedar bisa
berbaca-tulis saja, melainkan juga harus terdidik dan mengenal sastra. Teks, konteks, dan pembaca adalah titik keberangkatan
dalam pencarian untuk pembentukkan makna. Orang literat harus mengetahui hubungan teks, konteks,
dan pembaca, karena itu andalah cara mengenal sastra.
Class Review 3
Literasi Sebagai
Apresiasi Sastra
Dalam mendaki gunung sangatlah
susah. Banyak rintangan yang menghalang
kita untuk sampai ke puncak. Sebelum
mendaki gunung, kita harus persiapkan terlebih dahulu fisik dan mental
kita. Setelah itu, baru kita persiapkan
peralatan yang harus dibawa. Seperti,
tas rangsel, senter, jaket, manakan, dan minuman. Semua itu harus kita persiapkan
matang-matang. Proses mendaki gunung
begitu sulit, namun tujuan kita untuk mencapai ke puncak harus tercapai. Karena di puncak gunung terdapat dunia yang
berbeda, kita berdiri diatas awan putih dan terasa dunia telah tergapai. Begitu pula dengan proses kita dalam
menghadapi “academic writing”. Kita
harus mempersiapkan daya tahan tubuh kita, pikiran kita, tangan kita untuk
banyak menulis dan mata kita yang sekuat-kuatnya melihat layar monitor untuk
mencari data-data sebagai bahan tulisan kita.
Semua itu harus kita persiapkan semaksimal mungkin, agar kita berhasil
mencapai tujuan kita yaitu menjadi penulis yang handal dan pembaca yang kritis.
Suasana yang begitu sepi, mulailah
saya terbangu dikala semua orang tidur nyenyak dan mimpi indah. Suara kipas yang selalu menemaniku. Pada saat itulah saya mulai mengerjakan class
review yang ketiga. Mulailah saya
berpikir sedalam-dalamnya, tinta hitam berjalan diatas kertas putih tanpa
kusadari. Yang berisi ide-ide yang
berharap ide tersebut bisa membuat seorang pembaca tertarik. Detik demi detik ku lewati, menit demi menit
kulalui dan jam demi jam kujalani hanya bersama tinta dan kertas putih.
Dalam pembahasan ini akan lebih
mendalami tentang literasi sebagai apresiasi sastra. Orang literat adalah orang yang memiliki
sebuah erget yang hendak dicapai dan berusaha untuk mencapai target tersebut. Begitu pula dengan Mr Lala yang ingin
mahasiswa atau nama IAIN bisa terkenal.
Maka dengan cara member tugas menulis dan membaca
sebanyak-banyaknya. Mr Lala menginginkan
suatu saat kita akan menjadi pusat
keunggulan (centre of excellence). di
Iain terdapat penulis yang handal dan pembaca yang kritis, dimana disitulah
terdapat pisat keunggulang dan yang pasti semua orang akan mengunjungi
IAIN. Dosen dari universitas lain banyak
yang mencari buku di Iain. Dengan
bet=gitu, nama Iain akan terkenal dan maju.
Itulah sebuah target yang hendak dicapai.
Kemabali lagi kepembahasan, posisi
kita disini adalah multingual writer.
Multingual Writer = L1
+ L2
Jika
dalam menuliskita menggunakan 4 bahasa, itu sangatlah luar biasa. Kita harus bisa memproduksi sesuatu yang baru
yang orang lain tidak bisa melakukannya.
Contohnya bambu itu dimana-mana juga ada dan banyak disekeliling kita,
tapi kita harus bisa menciptakan sesuatu yang baru dari bamboo tersebut. Seperti membuat dram, bass, gitar dan
lain-lain. Itulah contohnya multingual
writer.
Text menurut Mikko
Lehtonen
Teks dibagi menjadi 2
yaitu physical dan semiotic.
Teks bisa menjadi semiotic ketika mempunyai beberapa bentuk
fisik. Terhadap fisik, kita bisa membawa
teks itu sebagai artifact komunikasi, agar manusia dapat memproduksi instrument
dari komunikasi. Sebagai artifact, teks
telah dihasilkan melalui bantuan berbagai teknologi. Bentuk material dari teks mencerminkan
keadaan alami saat ini. Teknologi awal
yang bertujuan untuk menghasilak teks tertulis yang terhubung ke kapak atau
pisau, dnegantanda-tanda yang terukir dikayu atau bata.
Teks dibuat oleh teknologi juga
mempunyai tanda disebelah kiri yang pada konsep ‘teks’ bahwa menang
dikebudayaan kita. Saling berhubungan
abtara bentuk fisik dari teks dan teknologi diproduksi mereka. Semua teks mempunyai sejarah produksi
sendiri.
Teks sebagai makhluk
semiotic
Teks bisa menjadi bentuk menulis,
pidato, gambar, music atau symbol yang lain.
Didalam bentuk lain, teks mempunyai karekter 3 fitur:
1. Materiality
(materialitas)
2. Formal
relations (hubungan resmi)
3. Meaningfulness
(kebermaknaan)
Penjelasan:
1. Tanda
dari teks adalah fisik dan material: keberadaan fisik mereka dan pengartian
sensual selalu memiliki basis material, baik itu granit yang digunakan dalam
patung atau gelombang udara yang dipancarkan selama tindakan berbicara.
2. Resmi
tertentu berhubungan antara tanda-tanda yang terkandung dalam teks: posisi
tanda-tanda berada diposisi sementara dan hubungan yang local dengan
tanda-tanda yang lain, seperti surat, kata, kalimat, atau seluruh teks.
3. Tanda-tanda
mempunyai sebuah arti semantic: mereka mengacu pada sesuatu diluar dirinya,
apakah itu adalah fenomena non-tekstual atau tekstual. Sebuah bagiandari music pop, misalnya semua
bekerja dalam 3 level: melalui energy suara yang dikandungnya melalui bentuk
musical itu duwujudkan dan melali makna itu menyiratkan. Semua itu berhubungan, tetapi dari tujuan
analitikal, mereka juga bisa menjadi sementara dipisah secara terpisah.
Saussure
kepentingan
Saussure terletak pada system bahasa.
Kemudian berhubungan bahasa dengan dunia atau berbeda makna untuk
berbagai pengguna. Jadi unuk meringkas,
kami bisa berkata bahwa Saussure menaruh perhatian pada makna kamus langsung
dari kata. Menurut Saussure, tanda
linguistic dapat analitik dibagai menjadi 2 tak terpisahkan: the
signifier dan the signified. Referensi dari tanda, nama, tanda apa
yang mengacu, tetap berada diluar dari 2: Signifier
dan Signified.
Saussure
hanya objek nyata dari linguistic adalah normal, kehidupan yang teratur, dan
idiom yang ada.
Setelah Saussure, Roland Barthes
(1915-1980) mengangkat pertanyaan khusus dari informasi makna didalam interaksi
tanda-tanda dan pembaca (saya menggunakan kata “reader” sebagai makna yang luas
sebagai kata “teks”: ‘reader’ semua pemakai bentuk makna dari teks diberbagai
bentuk. Padahal Barthes menggambarkan
interaksi adalah dibuat ketika sebuah tanda sumber pengalaman dan budaya dari
oemakai istilah konotasi.
Istilah denotasi dan konotasi
mempunyai sejarah yang panjang melalui berbagai makna. Biasanya, makna primer dari sebuah kata yang
berarti oleh denotasi, padahal konotasi adalah dipahami sebagai nomor kualitas
terkait dengan rujukan sebuah kata referent, seperti konteks dan reaksi emosi.
Barthes mengatakan tentang tanda
praktis sebagai aktivitas tidak terjadi pada level bahasa abstrak, tetapi dalam
encounter of text (dalam pertemuan teks), context and reader. Menurut Barthes, teks linguistic adalah
produktivitas, produksi dari tahap dimana produsen dari teks dan pembaca
bertemu satu sama lain.
Sebagai catatan
Barthes:
Perlu
untuk membuang monologis, status hokum signifisi dan pluralise. Itu untuk pembahasan ini bahwa konsep
konotasi sigunakan: volume, indra terkait sekunder diturunkan semantic
‘gerakan’ dicangkokkan ke pijat dilambangkan.
Menurut
pandangan Barthes, denotasi adalah makna literer menyampaikan oleh sebuah
tanda, padahal Barthes menggunakan istilah ‘konotasi’ untuk menggambarkan makna
cultural bahwa mereka terkait dengan tanda-tanda bentuk sebagai makna unit lebih
seperti sebagai metaphor atau seluruh teks.
Jadi, perbedaan istimewa dikonsep Saussure dan Barthes, dari bahasa dan makna. Dimana bahasa menurut Saussure adalah suatu system yang didefinisikan maknanya sendiri, Barthes melihat peran dari orang yang
sipraktekkan aktivitas linguistic juga sebagai pusat makhluk didalam makna
informasi.
Kita tahu sekarang
bahwa teks tidak terdiri dari garis kata-kata saja, merilis sebuah ‘teologis’
single berate (pesan dari penulis), tetapi dari ruang multidimensional yang
sudah menikah dan diperebutkan seserapa tulisan, tidak ada yang original: teks
adalah kain kutipan, yang dihasilkan dair seribu sumber budaya.
Sebagai penulis beroperasi dalam
bahasa, ‘The Death of the Author’, Barthes memang menyatakan kematian penulis,
sekaligus menandakan kelahiran pembaca: pembaca naik ke inti dari pembentukkan
makna, dan membaca menjadi tempat dimana milik makna.
Barthes melihat konotasi untuk
produktivitas: dari penanda bahasa.
Didalam tradisional melihat tentang makna, yang man pembaca telah mengeti
untuk menetapkan diri agak tidak berhubungan rumit untuk tanda.
Menurut gagasan ini, teks sebagai semiotic makhluk yang tidak mempunyai
makna alami: mereka juga mendapatkan maknanya tergantung pada konteks mereka.
Text and context
menurut Mikko Lehtonen
Context
bisa diartikan: tergantung pada konteks-seperti sebuah variasi dari sesuatu
bahwa samar-hati mungkin merasa ngeri memikirkan. Context mencakup semua factor tersebut bahwa
penulis dan pembaca membawa ke dalam proses informasi dari makna. Khususnya kompetensi diskursif dan kerangka
pertimbangan nilai.
Konteks mencakup semua ini:
1. Substansi:
materi fisik yang membawa atau relays teks.
2. Music
dan gambar
3. Paralanguage:
perilaku bermakna yang menyertai bahasa, seperti: kualitas suara, gesture,
ekspresi muka dan sentuhan (kecepatan), dan memilih jenis huruf dan ukuran
huruf (didalam menulis).
4. Situasi:
property dan hubungan dari objek dan sekitar teks, sebagai dirasakan oleh
peserta.
5. Co-text:
teks mendahului atau mengikuti bahwa dibawah analisis, dan juri peserta
termasuk wacana yang sama.
6. Inter
text: teks dirasakan peserta sebagai didalam wacana lain, tetapi mereka
asosiasi dengan teks dibawah pertimbangan dan mempengaruhi interpretasi.
7. Participants:
nilai dan interpretasi, pengetahuan dan keyakina, sikap interpersonal. Afiliasi
dan rasa.
8. Function:
teks dimaksudkan untuk apa, oleh pengirim dan alamat, atau dirasakan untuk oeh
penerima dan alamat.
Gagasan memasak dari konteks adalah
praktis cepat. Factor eksternal untuk
situasi teks, pembaca dan fungsi dimaksudkan untuk teks. Jika kata dan kalimat memperoleh makna
pikiran yang berbeda.
Makna
dari sebuah kata, ekspresi, preposisi, dan lain-lain tidak ada dalam dirinya
sendiri. Hubungan jelas dengan karakter
literal dari penanda, tetapi ditentukan oleh posisi ideological membawa
permainan kedalam proses sociohistorikal kata, ekspresi, dan preposisi adalah diproduksi. Tesis ini dapat disimpulkan dari pernyataan
kata, ekspresi, preposisi dan lain-lain mengubah makna untuk diadakan posisi
oleh mereka yang menggunakannya, yang man mereka menemukan makna oleh referensi
untuk posisi.
Reader
Terry Eagleton menggambarkan aktivitas
pembaca mengikuti jalan yaitu:
Meskipun kita jarang menyadari, kita
adalah waktu yang terlibat dalam membangun hipotesis tentang arti teks, pembaca
membuat koneksi implicit, mengisi kesenjangan, menarik kesimpulan, dan menguji
firasat kami, dan untuk melakukan hal ini berate menggambarkan pada pengetahuan
tacit dari dunia pada umumnya dan konvensi sastra pada khususnya. Teks itu sendiri benar-benar tidak lebih dari
serangkaian ‘isyarat’ kepada pembaca, undangan untuk membangun sepotong bahasa
ke makna.
Sebagai istilah “poetics” mempunyai banyak makna, jati yaitu istilah ‘hermeneutics’. Biasanya teori mengenai interpretasi yang
sibuk dengan hal-hal yang universal tentang pemahaman teks disebut hermeneutis. Teks adalah situs diman petjuangan untuk memproduksi
makna berlangsung. Teks dan pembaca
tidak ada terlepas satu sama lain, tetapi menghasilkan satu sama lain sebagai
teks pembaca masing-masing, dan sebagai pembaca teks masing-masing.
Hence
Hubungan antara text, context, and reader menjadi
titik keberangkatan dalam pencarian untuk pembentukkan makna. Teks ditentukan oleh sejumlah besar factor
yang berhubungan dengan produksi dan membaca.
Demikianlah pembahasan tentang text, context, and
reader yang sudah sangat jelas. Marilah
kita mulai membahas tentang literasi.
Pada abad ke-21, standar kelas dunia akan menuntut bahwa setiap orang
sangat melek huruf, sangat berhitung, baik informasi, mampu belajar
terus-menerus dan percaya diri dan mampu memainkan peran mereka sebagai warga
masyarakat yang demokratis.
Karakteristik bagi warga Negara yang demokrat:
·
Rasa hormat dan
tanggung jawab
·
Bersikap kritis
·
Membuka diskusi dan
dialog
·
Bersikap terbuka
·
Rasional
·
Adil
·
Jujur
Rekayasa Literasi
Rekayasa literasi = reading + writing
Rekayasa adalah upaya
yang disengaja dilakukan seseorang, agar memperoleh sesuatu yang baru. Literasi adalah kemampuan menggunakan
symbol-simbol tulis sebagai keterampilan hidup agar semua warga Negara
demokratis dapat berperan maksimal dalam masyarakat madani. Masyarakat madani adalah masyarakat yang
berbudaya namun mampu berinteraksi dengan dunia luar yang modern sehingga dapat
terus berkembang dan maju. Dalam masyarakat
madani, setiap warganya menyadari dan mengerti akan hak-hak serta kewajibannya
terhadap Negara, bangsa, dan agama (Agungborngl.wordpress.com)
Literasi selama bertahun-tahun
dianggap sekedar persoalan psikologis yang berkaitan dengan kemampuan mental dan
keterampilan baca-tulis, padahal literasi adalah praktik cultural yang
berkaitan dengan persoalan social dan politik. Free dan Luke menawarkan
model literasi sebagai berikut:
1. Memahami
kode dalam teks
2. Terlibat
dalam memaknai teks
3. Menggunakan
teks secara fungsional
4. Melakukan
analisis dan mentransformasikan teks secara kritis.
Sulzby
(1986) mengartikan literasi sebagai kemampuan membaca dan menulis. Dalam pengertian luas, literasi meliputi
kemampuan berbahasa (menyimak, berbicara, membaca, dan menulis) dan berpikir
yang menjadi elemen didalamnya. Menurut
Unesco, seseorang disebut literat apabila ia memiliki pengetahuan yang hakiki
untuk digunakan dalam setiap aktivitas yang menuntut fungsi literasi secara
efektif dalam masyarakat, dan pengetahuan yang dicapainya dengan membaca,
menulis, dan arithmetic menungkinkan untuk dimanfaatkan bagi dirinya sendiri
dan perkembangan masyarakat.
Terdapat
3 jenis literasi:
1. Literasi
visual merupakan kemampuan dimana individu memiliki kemampuan mengenali
penggunaan garis, bentuk, dan warna sehingga dapat menginterpretasikan tindakan
mengenali objek, dan memahami pesan lambing (Read dan Smith, 1982).
2. Literasi
lisan (verbal): seseorang yang menganut perspektif orasi menganggap bahwa
kebutuhan yang paling utama dalam berkomunikasi adalah berbicara dan
mendengarkan. Verbal yaitu berbicara dan menulis, mendengarkan dan membaca.
3. Literasi
terhadap teks tertulis (cetakan): Digambarkan sebagai aktivitas dan
keterampilan yang berhubungan secara langsung dengan teks yang tercetak, baik
melalui bentuk pembacaan maupun penulisan.
Sebuah Appetizer dalam
menulis Akademik Elemen
v Cohesion
(kohesi): Gerakan halus atau “aliran” antara kalimat dan paragraph.
v Clarity
(kejelasan): Makna dari apa yang anda niatkan untuk berkomunikasi secara jelas.
v Logical
order (urutan logis): Mengacu pada urutan logis dari informasi. Dalam penulisan akademik, penulis cenderung
bergerak dari umum ke khusus.
v Consistency
(konsisten): Konsisten mengacu pada keseragaman gaya penulisan.
v Unity:
pada sederhana, kesatuan mengacu pada pengecualian informasi yang tidak secara
langsung berhubungan dengan topic yang dibahas dalam paragraph tertentu.
v Conciseness
(keringkasan) adalah ekonomi dalam penggunaan kata-kata. Tulisan yang bagus dengan cepat sampai ke
titik dan menghilangkan kata yang tidak perlu dan tidak perlu pengulangan
(redundancy or dead wood). Pengecualian
dari informasi yang tidak perlu mempromosikan persatuan dan kesatuan.
v Completeness
(kelengkapan): sementara informasi berulang-ulang atau tidak perlu harus dihilangkan,
penulis memiliki untuk memberikan informasi penting mengenai suatu topic
tertentu. Misalnya, dalam definisi cacar
air (chicken pox), pembaca akan mengharapkan untuk mengetahui bahwa itu adalah penyakit
terutama anak-anak yang ditandai dengan ruam.
v Variety
( ragam): membantu pembaca dengan menambahkan beberapa “bumbu” untuk teks.
v Formality
(formalitas): Akademik menulis adalah formal dalam nada. Itu berarti bahwa kosakata canggih dan
struktur tata bahasa yang digunakan.
Selain itu, penggunaan kata ganti ‘I’ dan kontraksi dihindari.
Key Hyland (2006) pada
Literasi
§ Literasi
adalah sesuatu yang kita lakukan.
§ Hamilton
(1998), seperti dikutip dalam Hyland (2006:21), melihat keaksaraan sebagai
kegiatan yang terletak diinteraksi antara manusia.
§ Hyland
Furhter berpendapat: “melek akademik menekankan bahwa cara kita menggunakan
bahasa, disebut sebagai praktik keaksaraan, berpola oleh lembaga social dan
hubungan kekuasaan”.
§ Keberhasilan
akademik berate representing diri anda dengan cara dihargai oleh disiplin anda,
mengadopsi nilai-nilai, keyakina, dan identitas yang mewujudkan wacana akademik.
§ Rujukan
literasi terus berevolusi, sedangkan rujukan linguistic relative konstan.
§ Studi
literasi tumpang tindih (overlapping) dengan objek studi budaya (culture studies)
dengan dimensinya yang luas.
§ Pendidikan
yang berkualitas tinggi PASTI menghasilakn literasi berkualitas tinggi, dan
juga sebaliknya.
§ Reading,
writing, arithmetic, and reasoning = modal hidup
§ Orang
multiliterat mampu berinteraksi dalam berbagai situasi.
§ Masyarakat
yang tidak literat tidak mampu memahami bagaiman hegomoni itu diwacanakan lewat
media masa.
§ Pengajaran
bahasa harus mengajarkan keterampilan berpikir.
Poin penting dalam
“Rekayasa Literasi”
Ø Literasi
adalah praktik cultural yang berkaitan dengan persoalan social politik yang
berkaitan dengan persoalan sosila politik.
Ø Definisi
baru literasi terus menjamur sesuai dengan tuntutan “zaman edan” sehingga
tuntutan mengenai perubahan mengajaran pun bisa dihindari.
Ø Model
literasi ala Freebody dan Lukas (2003): memecahkan kode teks, berpartisipasi
dalam makna teks, menggunakan teks fungsional, kritis menganalisis dan mengubah
teks.
Ø Prof.
Alwasilah meringkas lima ayat diatas menjadi: memahami, melibati, menggunakan,
manganalis, menstransformasi.
Ø Ujung
tombak pendidikan literasi adalah GURU Artikel Baru Fitur: komitmen
professional, sawit terhadap komitmen ETIS, pengembangan strategi analitis dan
reflektif, efikasi diri, pengetahuan kepemilikan modal studi menjabarkan, dan
keterampilan literasi dan numerasi (Cole dan Chan: 1994 dikutip bahasa dari
Alwasilah 2012).
Ø Rekayasa
literasi adalah upaya yang disengaja dan sistematis untuk menjadikan manusia
terdidik dan berbudaya lewat penguasaan bahasa secara optimal.
Ø Penguasaan
bahasa adalah pintu masuk menuju ke pendidikan dan pembudayaan. 4 pada dimensi rekayasa literasi: linguistic,
kognitif, sosiokultural, dan perkembangan.
Ø Rekayasa
literasi= merekayasa pengajaran membaca dan menulis dalam empat dimensi
tersebut.
Ø Kern
(2003): melek mengacu pada “learnedness umum dan keakraban dengan sastra”.
Ø Orang
literat tidak sekedar berbaca tulis tetapi terdidik dan mengenal sasta.
Lemahnya apresiasi sastra dikalangan siswa
disebabkan oleh pendekatan yang memisahkan bahasa dan sastra, alih-alih
pendekatan language arts. Pengajaran
apresiasi sastra, bukannya tata bahasa, berkontribusi dalam pemupukan kemampuan
menulis siswa. Secara nasional, kurang
dari 40% guru bahasa Inggris yang memiliki kompetensi memadai untuk mengajar. Mengajarkan literasi berarti mengajarkan
kepekaan seksual dan cultural lintas kelompok dan lembaga social. Mengajarkan literasi pada intinya menjadikan
manusia yang secara fungsional mampu membaca dan menuis,terdidik, cerdas, dan
menunjukkan apresiasi tinggi terhadap sastra.
Apresiasi siswa terhadap sastra masih lemah karena pengajaran mereka yang
didapat lebih menekankan aspek afektif dan pengalaman. Menusia literat adalah individu yang mendapatkan
akses kepada ilmu pengetahuan melalui buku dan meteri tulis lainnya.
Jadi, pengajaran bahasa harus lebih ditingkatkan lagi,
agar siswa mengetahui apa arti literasi yang sebenarnya. Orang literat adalah orang yang bukan sekedar bisa
berbaca-tulis saja, melainkan juga harus terdidik dan mengenal sastra. Teks, konteks, dan pembaca adalah titik keberangkatan
dalam pencarian untuk pembentukkan makna. Orang literat harus mengetahui hubungan teks, konteks,
dan pembaca, karena itu andalah cara mengenal sastra.
Class Review 3
Literasi Sebagai
Apresiasi Sastra
Dalam mendaki gunung sangatlah
susah. Banyak rintangan yang menghalang
kita untuk sampai ke puncak. Sebelum
mendaki gunung, kita harus persiapkan terlebih dahulu fisik dan mental
kita. Setelah itu, baru kita persiapkan
peralatan yang harus dibawa. Seperti,
tas rangsel, senter, jaket, manakan, dan minuman. Semua itu harus kita persiapkan
matang-matang. Proses mendaki gunung
begitu sulit, namun tujuan kita untuk mencapai ke puncak harus tercapai. Karena di puncak gunung terdapat dunia yang
berbeda, kita berdiri diatas awan putih dan terasa dunia telah tergapai. Begitu pula dengan proses kita dalam
menghadapi “academic writing”. Kita
harus mempersiapkan daya tahan tubuh kita, pikiran kita, tangan kita untuk
banyak menulis dan mata kita yang sekuat-kuatnya melihat layar monitor untuk
mencari data-data sebagai bahan tulisan kita.
Semua itu harus kita persiapkan semaksimal mungkin, agar kita berhasil
mencapai tujuan kita yaitu menjadi penulis yang handal dan pembaca yang kritis.
Suasana yang begitu sepi, mulailah
saya terbangu dikala semua orang tidur nyenyak dan mimpi indah. Suara kipas yang selalu menemaniku. Pada saat itulah saya mulai mengerjakan class
review yang ketiga. Mulailah saya
berpikir sedalam-dalamnya, tinta hitam berjalan diatas kertas putih tanpa
kusadari. Yang berisi ide-ide yang
berharap ide tersebut bisa membuat seorang pembaca tertarik. Detik demi detik ku lewati, menit demi menit
kulalui dan jam demi jam kujalani hanya bersama tinta dan kertas putih.
Dalam pembahasan ini akan lebih
mendalami tentang literasi sebagai apresiasi sastra. Orang literat adalah orang yang memiliki
sebuah erget yang hendak dicapai dan berusaha untuk mencapai target tersebut. Begitu pula dengan Mr Lala yang ingin
mahasiswa atau nama IAIN bisa terkenal.
Maka dengan cara member tugas menulis dan membaca
sebanyak-banyaknya. Mr Lala menginginkan
suatu saat kita akan menjadi pusat
keunggulan (centre of excellence). di
Iain terdapat penulis yang handal dan pembaca yang kritis, dimana disitulah
terdapat pisat keunggulang dan yang pasti semua orang akan mengunjungi
IAIN. Dosen dari universitas lain banyak
yang mencari buku di Iain. Dengan
bet=gitu, nama Iain akan terkenal dan maju.
Itulah sebuah target yang hendak dicapai.
Kemabali lagi kepembahasan, posisi
kita disini adalah multingual writer.
Multingual Writer = L1
+ L2
Jika
dalam menuliskita menggunakan 4 bahasa, itu sangatlah luar biasa. Kita harus bisa memproduksi sesuatu yang baru
yang orang lain tidak bisa melakukannya.
Contohnya bambu itu dimana-mana juga ada dan banyak disekeliling kita,
tapi kita harus bisa menciptakan sesuatu yang baru dari bamboo tersebut. Seperti membuat dram, bass, gitar dan
lain-lain. Itulah contohnya multingual
writer.
Text menurut Mikko
Lehtonen
Teks dibagi menjadi 2
yaitu physical dan semiotic.
Teks bisa menjadi semiotic ketika mempunyai beberapa bentuk
fisik. Terhadap fisik, kita bisa membawa
teks itu sebagai artifact komunikasi, agar manusia dapat memproduksi instrument
dari komunikasi. Sebagai artifact, teks
telah dihasilkan melalui bantuan berbagai teknologi. Bentuk material dari teks mencerminkan
keadaan alami saat ini. Teknologi awal
yang bertujuan untuk menghasilak teks tertulis yang terhubung ke kapak atau
pisau, dnegantanda-tanda yang terukir dikayu atau bata.
Teks dibuat oleh teknologi juga
mempunyai tanda disebelah kiri yang pada konsep ‘teks’ bahwa menang
dikebudayaan kita. Saling berhubungan
abtara bentuk fisik dari teks dan teknologi diproduksi mereka. Semua teks mempunyai sejarah produksi
sendiri.
Teks sebagai makhluk
semiotic
Teks bisa menjadi bentuk menulis,
pidato, gambar, music atau symbol yang lain.
Didalam bentuk lain, teks mempunyai karekter 3 fitur:
1. Materiality
(materialitas)
2. Formal
relations (hubungan resmi)
3. Meaningfulness
(kebermaknaan)
Penjelasan:
1. Tanda
dari teks adalah fisik dan material: keberadaan fisik mereka dan pengartian
sensual selalu memiliki basis material, baik itu granit yang digunakan dalam
patung atau gelombang udara yang dipancarkan selama tindakan berbicara.
2. Resmi
tertentu berhubungan antara tanda-tanda yang terkandung dalam teks: posisi
tanda-tanda berada diposisi sementara dan hubungan yang local dengan
tanda-tanda yang lain, seperti surat, kata, kalimat, atau seluruh teks.
3. Tanda-tanda
mempunyai sebuah arti semantic: mereka mengacu pada sesuatu diluar dirinya,
apakah itu adalah fenomena non-tekstual atau tekstual. Sebuah bagiandari music pop, misalnya semua
bekerja dalam 3 level: melalui energy suara yang dikandungnya melalui bentuk
musical itu duwujudkan dan melali makna itu menyiratkan. Semua itu berhubungan, tetapi dari tujuan
analitikal, mereka juga bisa menjadi sementara dipisah secara terpisah.
Saussure
kepentingan
Saussure terletak pada system bahasa.
Kemudian berhubungan bahasa dengan dunia atau berbeda makna untuk
berbagai pengguna. Jadi unuk meringkas,
kami bisa berkata bahwa Saussure menaruh perhatian pada makna kamus langsung
dari kata. Menurut Saussure, tanda
linguistic dapat analitik dibagai menjadi 2 tak terpisahkan: the
signifier dan the signified. Referensi dari tanda, nama, tanda apa
yang mengacu, tetap berada diluar dari 2: Signifier
dan Signified.
Saussure
hanya objek nyata dari linguistic adalah normal, kehidupan yang teratur, dan
idiom yang ada.
Setelah Saussure, Roland Barthes
(1915-1980) mengangkat pertanyaan khusus dari informasi makna didalam interaksi
tanda-tanda dan pembaca (saya menggunakan kata “reader” sebagai makna yang luas
sebagai kata “teks”: ‘reader’ semua pemakai bentuk makna dari teks diberbagai
bentuk. Padahal Barthes menggambarkan
interaksi adalah dibuat ketika sebuah tanda sumber pengalaman dan budaya dari
oemakai istilah konotasi.
Istilah denotasi dan konotasi
mempunyai sejarah yang panjang melalui berbagai makna. Biasanya, makna primer dari sebuah kata yang
berarti oleh denotasi, padahal konotasi adalah dipahami sebagai nomor kualitas
terkait dengan rujukan sebuah kata referent, seperti konteks dan reaksi emosi.
Barthes mengatakan tentang tanda
praktis sebagai aktivitas tidak terjadi pada level bahasa abstrak, tetapi dalam
encounter of text (dalam pertemuan teks), context and reader. Menurut Barthes, teks linguistic adalah
produktivitas, produksi dari tahap dimana produsen dari teks dan pembaca
bertemu satu sama lain.
Sebagai catatan
Barthes:
Perlu
untuk membuang monologis, status hokum signifisi dan pluralise. Itu untuk pembahasan ini bahwa konsep
konotasi sigunakan: volume, indra terkait sekunder diturunkan semantic
‘gerakan’ dicangkokkan ke pijat dilambangkan.
Menurut
pandangan Barthes, denotasi adalah makna literer menyampaikan oleh sebuah
tanda, padahal Barthes menggunakan istilah ‘konotasi’ untuk menggambarkan makna
cultural bahwa mereka terkait dengan tanda-tanda bentuk sebagai makna unit lebih
seperti sebagai metaphor atau seluruh teks.
Jadi, perbedaan istimewa dikonsep Saussure dan Barthes, dari bahasa dan makna. Dimana bahasa menurut Saussure adalah suatu system yang didefinisikan maknanya sendiri, Barthes melihat peran dari orang yang
sipraktekkan aktivitas linguistic juga sebagai pusat makhluk didalam makna
informasi.
Kita tahu sekarang
bahwa teks tidak terdiri dari garis kata-kata saja, merilis sebuah ‘teologis’
single berate (pesan dari penulis), tetapi dari ruang multidimensional yang
sudah menikah dan diperebutkan seserapa tulisan, tidak ada yang original: teks
adalah kain kutipan, yang dihasilkan dair seribu sumber budaya.
Sebagai penulis beroperasi dalam
bahasa, ‘The Death of the Author’, Barthes memang menyatakan kematian penulis,
sekaligus menandakan kelahiran pembaca: pembaca naik ke inti dari pembentukkan
makna, dan membaca menjadi tempat dimana milik makna.
Barthes melihat konotasi untuk
produktivitas: dari penanda bahasa.
Didalam tradisional melihat tentang makna, yang man pembaca telah mengeti
untuk menetapkan diri agak tidak berhubungan rumit untuk tanda.
Menurut gagasan ini, teks sebagai semiotic makhluk yang tidak mempunyai
makna alami: mereka juga mendapatkan maknanya tergantung pada konteks mereka.
Text and context
menurut Mikko Lehtonen
Context
bisa diartikan: tergantung pada konteks-seperti sebuah variasi dari sesuatu
bahwa samar-hati mungkin merasa ngeri memikirkan. Context mencakup semua factor tersebut bahwa
penulis dan pembaca membawa ke dalam proses informasi dari makna. Khususnya kompetensi diskursif dan kerangka
pertimbangan nilai.
Konteks mencakup semua ini:
1. Substansi:
materi fisik yang membawa atau relays teks.
2. Music
dan gambar
3. Paralanguage:
perilaku bermakna yang menyertai bahasa, seperti: kualitas suara, gesture,
ekspresi muka dan sentuhan (kecepatan), dan memilih jenis huruf dan ukuran
huruf (didalam menulis).
4. Situasi:
property dan hubungan dari objek dan sekitar teks, sebagai dirasakan oleh
peserta.
5. Co-text:
teks mendahului atau mengikuti bahwa dibawah analisis, dan juri peserta
termasuk wacana yang sama.
6. Inter
text: teks dirasakan peserta sebagai didalam wacana lain, tetapi mereka
asosiasi dengan teks dibawah pertimbangan dan mempengaruhi interpretasi.
7. Participants:
nilai dan interpretasi, pengetahuan dan keyakina, sikap interpersonal. Afiliasi
dan rasa.
8. Function:
teks dimaksudkan untuk apa, oleh pengirim dan alamat, atau dirasakan untuk oeh
penerima dan alamat.
Gagasan memasak dari konteks adalah
praktis cepat. Factor eksternal untuk
situasi teks, pembaca dan fungsi dimaksudkan untuk teks. Jika kata dan kalimat memperoleh makna
pikiran yang berbeda.
Makna
dari sebuah kata, ekspresi, preposisi, dan lain-lain tidak ada dalam dirinya
sendiri. Hubungan jelas dengan karakter
literal dari penanda, tetapi ditentukan oleh posisi ideological membawa
permainan kedalam proses sociohistorikal kata, ekspresi, dan preposisi adalah diproduksi. Tesis ini dapat disimpulkan dari pernyataan
kata, ekspresi, preposisi dan lain-lain mengubah makna untuk diadakan posisi
oleh mereka yang menggunakannya, yang man mereka menemukan makna oleh referensi
untuk posisi.
Reader
Terry Eagleton menggambarkan aktivitas
pembaca mengikuti jalan yaitu:
Meskipun kita jarang menyadari, kita
adalah waktu yang terlibat dalam membangun hipotesis tentang arti teks, pembaca
membuat koneksi implicit, mengisi kesenjangan, menarik kesimpulan, dan menguji
firasat kami, dan untuk melakukan hal ini berate menggambarkan pada pengetahuan
tacit dari dunia pada umumnya dan konvensi sastra pada khususnya. Teks itu sendiri benar-benar tidak lebih dari
serangkaian ‘isyarat’ kepada pembaca, undangan untuk membangun sepotong bahasa
ke makna.
Sebagai istilah “poetics” mempunyai banyak makna, jati yaitu istilah ‘hermeneutics’. Biasanya teori mengenai interpretasi yang
sibuk dengan hal-hal yang universal tentang pemahaman teks disebut hermeneutis. Teks adalah situs diman petjuangan untuk memproduksi
makna berlangsung. Teks dan pembaca
tidak ada terlepas satu sama lain, tetapi menghasilkan satu sama lain sebagai
teks pembaca masing-masing, dan sebagai pembaca teks masing-masing.
Hence
Hubungan antara text, context, and reader menjadi
titik keberangkatan dalam pencarian untuk pembentukkan makna. Teks ditentukan oleh sejumlah besar factor
yang berhubungan dengan produksi dan membaca.
Demikianlah pembahasan tentang text, context, and
reader yang sudah sangat jelas. Marilah
kita mulai membahas tentang literasi.
Pada abad ke-21, standar kelas dunia akan menuntut bahwa setiap orang
sangat melek huruf, sangat berhitung, baik informasi, mampu belajar
terus-menerus dan percaya diri dan mampu memainkan peran mereka sebagai warga
masyarakat yang demokratis.
Karakteristik bagi warga Negara yang demokrat:
·
Rasa hormat dan
tanggung jawab
·
Bersikap kritis
·
Membuka diskusi dan
dialog
·
Bersikap terbuka
·
Rasional
·
Adil
·
Jujur
Rekayasa Literasi
Rekayasa literasi = reading + writing
Rekayasa adalah upaya
yang disengaja dilakukan seseorang, agar memperoleh sesuatu yang baru. Literasi adalah kemampuan menggunakan
symbol-simbol tulis sebagai keterampilan hidup agar semua warga Negara
demokratis dapat berperan maksimal dalam masyarakat madani. Masyarakat madani adalah masyarakat yang
berbudaya namun mampu berinteraksi dengan dunia luar yang modern sehingga dapat
terus berkembang dan maju. Dalam masyarakat
madani, setiap warganya menyadari dan mengerti akan hak-hak serta kewajibannya
terhadap Negara, bangsa, dan agama (Agungborngl.wordpress.com)
Literasi selama bertahun-tahun
dianggap sekedar persoalan psikologis yang berkaitan dengan kemampuan mental dan
keterampilan baca-tulis, padahal literasi adalah praktik cultural yang
berkaitan dengan persoalan social dan politik. Free dan Luke menawarkan
model literasi sebagai berikut:
1. Memahami
kode dalam teks
2. Terlibat
dalam memaknai teks
3. Menggunakan
teks secara fungsional
4. Melakukan
analisis dan mentransformasikan teks secara kritis.
Sulzby
(1986) mengartikan literasi sebagai kemampuan membaca dan menulis. Dalam pengertian luas, literasi meliputi
kemampuan berbahasa (menyimak, berbicara, membaca, dan menulis) dan berpikir
yang menjadi elemen didalamnya. Menurut
Unesco, seseorang disebut literat apabila ia memiliki pengetahuan yang hakiki
untuk digunakan dalam setiap aktivitas yang menuntut fungsi literasi secara
efektif dalam masyarakat, dan pengetahuan yang dicapainya dengan membaca,
menulis, dan arithmetic menungkinkan untuk dimanfaatkan bagi dirinya sendiri
dan perkembangan masyarakat.
Terdapat
3 jenis literasi:
1. Literasi
visual merupakan kemampuan dimana individu memiliki kemampuan mengenali
penggunaan garis, bentuk, dan warna sehingga dapat menginterpretasikan tindakan
mengenali objek, dan memahami pesan lambing (Read dan Smith, 1982).
2. Literasi
lisan (verbal): seseorang yang menganut perspektif orasi menganggap bahwa
kebutuhan yang paling utama dalam berkomunikasi adalah berbicara dan
mendengarkan. Verbal yaitu berbicara dan menulis, mendengarkan dan membaca.
3. Literasi
terhadap teks tertulis (cetakan): Digambarkan sebagai aktivitas dan
keterampilan yang berhubungan secara langsung dengan teks yang tercetak, baik
melalui bentuk pembacaan maupun penulisan.
Sebuah Appetizer dalam
menulis Akademik Elemen
v Cohesion
(kohesi): Gerakan halus atau “aliran” antara kalimat dan paragraph.
v Clarity
(kejelasan): Makna dari apa yang anda niatkan untuk berkomunikasi secara jelas.
v Logical
order (urutan logis): Mengacu pada urutan logis dari informasi. Dalam penulisan akademik, penulis cenderung
bergerak dari umum ke khusus.
v Consistency
(konsisten): Konsisten mengacu pada keseragaman gaya penulisan.
v Unity:
pada sederhana, kesatuan mengacu pada pengecualian informasi yang tidak secara
langsung berhubungan dengan topic yang dibahas dalam paragraph tertentu.
v Conciseness
(keringkasan) adalah ekonomi dalam penggunaan kata-kata. Tulisan yang bagus dengan cepat sampai ke
titik dan menghilangkan kata yang tidak perlu dan tidak perlu pengulangan
(redundancy or dead wood). Pengecualian
dari informasi yang tidak perlu mempromosikan persatuan dan kesatuan.
v Completeness
(kelengkapan): sementara informasi berulang-ulang atau tidak perlu harus dihilangkan,
penulis memiliki untuk memberikan informasi penting mengenai suatu topic
tertentu. Misalnya, dalam definisi cacar
air (chicken pox), pembaca akan mengharapkan untuk mengetahui bahwa itu adalah penyakit
terutama anak-anak yang ditandai dengan ruam.
v Variety
( ragam): membantu pembaca dengan menambahkan beberapa “bumbu” untuk teks.
v Formality
(formalitas): Akademik menulis adalah formal dalam nada. Itu berarti bahwa kosakata canggih dan
struktur tata bahasa yang digunakan.
Selain itu, penggunaan kata ganti ‘I’ dan kontraksi dihindari.
Key Hyland (2006) pada
Literasi
§ Literasi
adalah sesuatu yang kita lakukan.
§ Hamilton
(1998), seperti dikutip dalam Hyland (2006:21), melihat keaksaraan sebagai
kegiatan yang terletak diinteraksi antara manusia.
§ Hyland
Furhter berpendapat: “melek akademik menekankan bahwa cara kita menggunakan
bahasa, disebut sebagai praktik keaksaraan, berpola oleh lembaga social dan
hubungan kekuasaan”.
§ Keberhasilan
akademik berate representing diri anda dengan cara dihargai oleh disiplin anda,
mengadopsi nilai-nilai, keyakina, dan identitas yang mewujudkan wacana akademik.
§ Rujukan
literasi terus berevolusi, sedangkan rujukan linguistic relative konstan.
§ Studi
literasi tumpang tindih (overlapping) dengan objek studi budaya (culture studies)
dengan dimensinya yang luas.
§ Pendidikan
yang berkualitas tinggi PASTI menghasilakn literasi berkualitas tinggi, dan
juga sebaliknya.
§ Reading,
writing, arithmetic, and reasoning = modal hidup
§ Orang
multiliterat mampu berinteraksi dalam berbagai situasi.
§ Masyarakat
yang tidak literat tidak mampu memahami bagaiman hegomoni itu diwacanakan lewat
media masa.
§ Pengajaran
bahasa harus mengajarkan keterampilan berpikir.
Poin penting dalam
“Rekayasa Literasi”
Ø Literasi
adalah praktik cultural yang berkaitan dengan persoalan social politik yang
berkaitan dengan persoalan sosila politik.
Ø Definisi
baru literasi terus menjamur sesuai dengan tuntutan “zaman edan” sehingga
tuntutan mengenai perubahan mengajaran pun bisa dihindari.
Ø Model
literasi ala Freebody dan Lukas (2003): memecahkan kode teks, berpartisipasi
dalam makna teks, menggunakan teks fungsional, kritis menganalisis dan mengubah
teks.
Ø Prof.
Alwasilah meringkas lima ayat diatas menjadi: memahami, melibati, menggunakan,
manganalis, menstransformasi.
Ø Ujung
tombak pendidikan literasi adalah GURU Artikel Baru Fitur: komitmen
professional, sawit terhadap komitmen ETIS, pengembangan strategi analitis dan
reflektif, efikasi diri, pengetahuan kepemilikan modal studi menjabarkan, dan
keterampilan literasi dan numerasi (Cole dan Chan: 1994 dikutip bahasa dari
Alwasilah 2012).
Ø Rekayasa
literasi adalah upaya yang disengaja dan sistematis untuk menjadikan manusia
terdidik dan berbudaya lewat penguasaan bahasa secara optimal.
Ø Penguasaan
bahasa adalah pintu masuk menuju ke pendidikan dan pembudayaan. 4 pada dimensi rekayasa literasi: linguistic,
kognitif, sosiokultural, dan perkembangan.
Ø Rekayasa
literasi= merekayasa pengajaran membaca dan menulis dalam empat dimensi
tersebut.
Ø Kern
(2003): melek mengacu pada “learnedness umum dan keakraban dengan sastra”.
Ø Orang
literat tidak sekedar berbaca tulis tetapi terdidik dan mengenal sasta.
Lemahnya apresiasi sastra dikalangan siswa
disebabkan oleh pendekatan yang memisahkan bahasa dan sastra, alih-alih
pendekatan language arts. Pengajaran
apresiasi sastra, bukannya tata bahasa, berkontribusi dalam pemupukan kemampuan
menulis siswa. Secara nasional, kurang
dari 40% guru bahasa Inggris yang memiliki kompetensi memadai untuk mengajar. Mengajarkan literasi berarti mengajarkan
kepekaan seksual dan cultural lintas kelompok dan lembaga social. Mengajarkan literasi pada intinya menjadikan
manusia yang secara fungsional mampu membaca dan menuis,terdidik, cerdas, dan
menunjukkan apresiasi tinggi terhadap sastra.
Apresiasi siswa terhadap sastra masih lemah karena pengajaran mereka yang
didapat lebih menekankan aspek afektif dan pengalaman. Menusia literat adalah individu yang mendapatkan
akses kepada ilmu pengetahuan melalui buku dan meteri tulis lainnya.
Jadi, pengajaran bahasa harus lebih ditingkatkan lagi,
agar siswa mengetahui apa arti literasi yang sebenarnya. Orang literat adalah orang yang bukan sekedar bisa
berbaca-tulis saja, melainkan juga harus terdidik dan mengenal sastra. Teks, konteks, dan pembaca adalah titik keberangkatan
dalam pencarian untuk pembentukkan makna. Orang literat harus mengetahui hubungan teks, konteks,
dan pembaca, karena itu andalah cara mengenal sastra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic