We are simple, but no simple impact. Proudly Presents, PBI C 2012. Happy Reading!

Course: Writing and Composition 4

Instructor : Lala Bumela

This website created by : College student from The State Institute of Islamic Studies Syekh Nurjati Cirebon, The Dapartment of English Education 2012.


widgets

Senin, 24 Februari 2014

Class Review 3



Literasi Sebagai Apresiasi Sastra

            Dalam mendaki gunung sangatlah susah.  Banyak rintangan yang menghalang kita untuk sampai ke puncak.  Sebelum mendaki gunung, kita harus persiapkan terlebih dahulu fisik dan mental kita.  Setelah itu, baru kita persiapkan peralatan yang harus dibawa.  Seperti, tas rangsel, senter, jaket, manakan, dan minuman.  Semua itu harus kita persiapkan matang-matang.  Proses mendaki gunung begitu sulit, namun tujuan kita untuk mencapai ke puncak harus tercapai.  Karena di puncak gunung terdapat dunia yang berbeda, kita berdiri diatas awan putih dan terasa dunia telah tergapai.  Begitu pula dengan proses kita dalam menghadapi “academic writing”.  Kita harus mempersiapkan daya tahan tubuh kita, pikiran kita, tangan kita untuk banyak menulis dan mata kita yang sekuat-kuatnya melihat layar monitor untuk mencari data-data sebagai bahan tulisan kita.  Semua itu harus kita persiapkan semaksimal mungkin, agar kita berhasil mencapai tujuan kita yaitu menjadi penulis yang handal dan pembaca yang kritis.
            Suasana yang begitu sepi, mulailah saya terbangu dikala semua orang tidur nyenyak dan mimpi indah.   Suara kipas yang selalu menemaniku.  Pada saat itulah saya mulai mengerjakan class review yang ketiga.  Mulailah saya berpikir sedalam-dalamnya, tinta hitam berjalan diatas kertas putih tanpa kusadari.  Yang berisi ide-ide yang berharap ide tersebut bisa membuat seorang pembaca tertarik.  Detik demi detik ku lewati, menit demi menit kulalui dan jam demi jam kujalani hanya bersama tinta dan kertas putih.
            Dalam pembahasan ini akan lebih mendalami tentang literasi sebagai apresiasi sastra.  Orang literat adalah orang yang memiliki sebuah erget yang hendak dicapai dan berusaha untuk mencapai target tersebut.  Begitu pula dengan Mr Lala yang ingin mahasiswa atau nama IAIN bisa terkenal.  Maka dengan cara member tugas menulis dan membaca sebanyak-banyaknya.  Mr Lala menginginkan suatu saat kita akan menjadi pusat keunggulan (centre of excellence).  di Iain terdapat penulis yang handal dan pembaca yang kritis, dimana disitulah terdapat pisat keunggulang dan yang pasti semua orang akan mengunjungi IAIN.  Dosen dari universitas lain banyak yang mencari buku di Iain.  Dengan bet=gitu, nama Iain akan terkenal dan maju.  Itulah sebuah target yang hendak dicapai.
            Kemabali lagi kepembahasan, posisi kita disini adalah multingual writer. 
Multingual Writer = L1 + L2
Jika dalam menuliskita menggunakan 4 bahasa, itu sangatlah luar biasa.  Kita harus bisa memproduksi sesuatu yang baru yang orang lain tidak bisa melakukannya.  Contohnya bambu itu dimana-mana juga ada dan banyak disekeliling kita, tapi kita harus bisa menciptakan sesuatu yang baru dari bamboo tersebut.  Seperti membuat dram, bass, gitar dan lain-lain.  Itulah contohnya multingual writer.
Text menurut Mikko Lehtonen
            Teks dibagi menjadi 2 yaitu physical dan semiotic.  Teks bisa menjadi semiotic ketika mempunyai beberapa bentuk fisik.  Terhadap fisik, kita bisa membawa teks itu sebagai artifact komunikasi, agar manusia dapat memproduksi instrument dari komunikasi.  Sebagai artifact, teks telah dihasilkan melalui bantuan berbagai teknologi.  Bentuk material dari teks mencerminkan keadaan alami saat ini.  Teknologi awal yang bertujuan untuk menghasilak teks tertulis yang terhubung ke kapak atau pisau, dnegantanda-tanda yang terukir dikayu atau bata.
            Teks dibuat oleh teknologi juga mempunyai tanda disebelah kiri yang pada konsep ‘teks’ bahwa menang dikebudayaan kita.  Saling berhubungan abtara bentuk fisik dari teks dan teknologi diproduksi mereka.  Semua teks mempunyai sejarah produksi sendiri. 
Teks sebagai makhluk semiotic
            Teks bisa menjadi bentuk menulis, pidato, gambar, music atau symbol yang lain.  Didalam bentuk lain, teks mempunyai karekter 3 fitur:
1.      Materiality (materialitas)
2.      Formal relations (hubungan resmi)
3.      Meaningfulness (kebermaknaan)
Penjelasan:
1.      Tanda dari teks adalah fisik dan material: keberadaan fisik mereka dan pengartian sensual selalu memiliki basis material, baik itu granit yang digunakan dalam patung atau gelombang udara yang dipancarkan selama tindakan berbicara.
2.      Resmi tertentu berhubungan antara tanda-tanda yang terkandung dalam teks: posisi tanda-tanda berada diposisi sementara dan hubungan yang local dengan tanda-tanda yang lain, seperti surat, kata, kalimat, atau seluruh teks.
3.      Tanda-tanda mempunyai sebuah arti semantic: mereka mengacu pada sesuatu diluar dirinya, apakah itu adalah fenomena non-tekstual atau tekstual.  Sebuah bagiandari music pop, misalnya semua bekerja dalam 3 level: melalui energy suara yang dikandungnya melalui bentuk musical itu duwujudkan dan melali makna itu menyiratkan.  Semua itu berhubungan, tetapi dari tujuan analitikal, mereka juga bisa menjadi sementara dipisah secara terpisah.
Saussure
          kepentingan Saussure terletak pada system bahasa.  Kemudian berhubungan bahasa dengan dunia atau berbeda makna untuk berbagai pengguna.  Jadi unuk meringkas, kami bisa berkata bahwa Saussure menaruh perhatian pada makna kamus langsung dari kata.  Menurut Saussure, tanda linguistic dapat analitik dibagai menjadi 2 tak terpisahkan:  the signifier dan the signified.  Referensi dari tanda, nama, tanda apa yang mengacu, tetap berada diluar dari 2: Signifier dan Signified.
Saussure hanya objek nyata dari linguistic adalah normal, kehidupan yang teratur, dan idiom yang ada.
            Setelah Saussure, Roland Barthes (1915-1980) mengangkat pertanyaan khusus dari informasi makna didalam interaksi tanda-tanda dan pembaca (saya menggunakan kata “reader” sebagai makna yang luas sebagai kata “teks”: ‘reader’ semua pemakai bentuk makna dari teks diberbagai bentuk.  Padahal Barthes menggambarkan interaksi adalah dibuat ketika sebuah tanda sumber pengalaman dan budaya dari oemakai istilah konotasi.
            Istilah denotasi dan konotasi mempunyai sejarah yang panjang melalui berbagai makna.  Biasanya, makna primer dari sebuah kata yang berarti oleh denotasi, padahal konotasi adalah dipahami sebagai nomor kualitas terkait dengan rujukan sebuah kata referent, seperti konteks dan reaksi emosi.
            Barthes mengatakan tentang tanda praktis sebagai aktivitas tidak terjadi pada level bahasa abstrak, tetapi dalam encounter of text (dalam pertemuan teks), context and reader.  Menurut Barthes, teks linguistic adalah produktivitas, produksi dari tahap dimana produsen dari teks dan pembaca bertemu satu sama lain.
Sebagai catatan Barthes:
Perlu untuk membuang monologis, status hokum signifisi dan pluralise.  Itu untuk pembahasan ini bahwa konsep konotasi sigunakan: volume, indra terkait sekunder diturunkan semantic ‘gerakan’ dicangkokkan ke pijat dilambangkan.
            Menurut pandangan Barthes, denotasi adalah makna literer menyampaikan oleh sebuah tanda, padahal Barthes menggunakan istilah ‘konotasi’ untuk menggambarkan makna cultural bahwa mereka terkait dengan tanda-tanda bentuk sebagai makna unit lebih seperti sebagai metaphor atau seluruh teks.
            Jadi, perbedaan istimewa dikonsep Saussure dan Barthes, dari bahasa dan makna.  Dimana bahasa menurut Saussure adalah suatu system yang didefinisikan maknanya sendiri, Barthes melihat peran dari orang yang sipraktekkan aktivitas linguistic juga sebagai pusat makhluk didalam makna informasi.
            Kita tahu sekarang bahwa teks tidak terdiri dari garis kata-kata saja, merilis sebuah ‘teologis’ single berate (pesan dari penulis), tetapi dari ruang multidimensional yang sudah menikah dan diperebutkan seserapa tulisan, tidak ada yang original: teks adalah kain kutipan, yang dihasilkan dair seribu sumber budaya.
            Sebagai penulis beroperasi dalam bahasa, ‘The Death of the Author’, Barthes memang menyatakan kematian penulis, sekaligus menandakan kelahiran pembaca: pembaca naik ke inti dari pembentukkan makna, dan membaca menjadi tempat dimana milik makna.
            Barthes melihat konotasi untuk produktivitas: dari penanda bahasa.  Didalam tradisional melihat tentang makna, yang man pembaca telah mengeti untuk menetapkan diri agak tidak berhubungan rumit untuk tanda.
            Menurut gagasan ini, teks sebagai semiotic makhluk yang tidak mempunyai makna alami: mereka juga mendapatkan maknanya tergantung pada konteks mereka.
Text and context menurut Mikko Lehtonen
          Context bisa diartikan: tergantung pada konteks-seperti sebuah variasi dari sesuatu bahwa samar-hati mungkin merasa ngeri memikirkan.  Context mencakup semua factor tersebut bahwa penulis dan pembaca membawa ke dalam proses informasi dari makna.  Khususnya kompetensi diskursif dan kerangka pertimbangan nilai.

            Konteks mencakup semua ini:
1.      Substansi: materi fisik yang membawa atau relays teks.
2.      Music dan gambar
3.      Paralanguage: perilaku bermakna yang menyertai bahasa, seperti: kualitas suara, gesture, ekspresi muka dan sentuhan (kecepatan), dan memilih jenis huruf dan ukuran huruf (didalam menulis).
4.      Situasi: property dan hubungan dari objek dan sekitar teks, sebagai dirasakan oleh peserta.
5.      Co-text: teks mendahului atau mengikuti bahwa dibawah analisis, dan juri peserta termasuk wacana yang sama.
6.      Inter text: teks dirasakan peserta sebagai didalam wacana lain, tetapi mereka asosiasi dengan teks dibawah pertimbangan dan mempengaruhi interpretasi.
7.      Participants: nilai dan interpretasi, pengetahuan dan keyakina, sikap interpersonal. Afiliasi dan rasa.
8.      Function: teks dimaksudkan untuk apa, oleh pengirim dan alamat, atau dirasakan untuk oeh penerima dan alamat.
Gagasan memasak dari konteks adalah praktis cepat.  Factor eksternal untuk situasi teks, pembaca dan fungsi dimaksudkan untuk teks.  Jika kata dan kalimat memperoleh makna pikiran yang berbeda.
      Makna dari sebuah kata, ekspresi, preposisi, dan lain-lain tidak ada dalam dirinya sendiri.  Hubungan jelas dengan karakter literal dari penanda, tetapi ditentukan oleh posisi ideological membawa permainan kedalam proses sociohistorikal kata, ekspresi, dan preposisi adalah diproduksi.  Tesis ini dapat disimpulkan dari pernyataan kata, ekspresi, preposisi dan lain-lain mengubah makna untuk diadakan posisi oleh mereka yang menggunakannya, yang man mereka menemukan makna oleh referensi untuk posisi.
Reader
            Terry Eagleton menggambarkan aktivitas pembaca mengikuti jalan yaitu:
            Meskipun kita jarang menyadari, kita adalah waktu yang terlibat dalam membangun hipotesis tentang arti teks, pembaca membuat koneksi implicit, mengisi kesenjangan, menarik kesimpulan, dan menguji firasat kami, dan untuk melakukan hal ini berate menggambarkan pada pengetahuan tacit dari dunia pada umumnya dan konvensi sastra pada khususnya.  Teks itu sendiri benar-benar tidak lebih dari serangkaian ‘isyarat’ kepada pembaca, undangan untuk membangun sepotong bahasa ke makna.
            Sebagai istilah “poetics” mempunyai banyak makna, jati yaitu istilah ‘hermeneutics’.  Biasanya teori mengenai interpretasi yang sibuk dengan hal-hal yang universal tentang pemahaman teks disebut hermeneutis. Teks adalah situs diman petjuangan untuk memproduksi makna berlangsung.  Teks dan pembaca tidak ada terlepas satu sama lain, tetapi menghasilkan satu sama lain sebagai teks pembaca masing-masing, dan sebagai pembaca teks masing-masing.
Hence
Hubungan antara text, context, and reader menjadi titik keberangkatan dalam pencarian untuk pembentukkan makna.  Teks ditentukan oleh sejumlah besar factor yang berhubungan dengan produksi dan membaca.
Demikianlah pembahasan tentang text, context, and reader yang sudah sangat jelas.  Marilah kita mulai membahas tentang literasi.  Pada abad ke-21, standar kelas dunia akan menuntut bahwa setiap orang sangat melek huruf, sangat berhitung, baik informasi, mampu belajar terus-menerus dan percaya diri dan mampu memainkan peran mereka sebagai warga masyarakat yang demokratis.
Karakteristik bagi warga Negara yang demokrat:
·         Rasa hormat dan tanggung jawab
·         Bersikap kritis
·         Membuka diskusi dan dialog
·         Bersikap terbuka
·         Rasional
·         Adil
·         Jujur



Rekayasa Literasi
Rekayasa literasi = reading + writing
            Rekayasa adalah upaya yang disengaja dilakukan seseorang, agar memperoleh sesuatu yang baru.  Literasi adalah kemampuan menggunakan symbol-simbol tulis sebagai keterampilan hidup agar semua warga Negara demokratis dapat berperan maksimal dalam masyarakat madani.  Masyarakat madani adalah masyarakat yang berbudaya namun mampu berinteraksi dengan dunia luar yang modern sehingga dapat terus berkembang dan maju.  Dalam masyarakat madani, setiap warganya menyadari dan mengerti akan hak-hak serta kewajibannya terhadap Negara, bangsa, dan agama (Agungborngl.wordpress.com)
            Literasi selama bertahun-tahun dianggap sekedar persoalan psikologis yang berkaitan dengan kemampuan mental dan keterampilan baca-tulis, padahal literasi adalah praktik cultural yang berkaitan dengan persoalan social dan politik.  Free dan Luke menawarkan model literasi sebagai berikut:
1.      Memahami kode dalam teks
2.      Terlibat dalam memaknai teks
3.      Menggunakan teks secara fungsional
4.      Melakukan analisis dan mentransformasikan teks secara kritis.
Sulzby (1986) mengartikan literasi sebagai kemampuan membaca dan menulis.  Dalam pengertian luas, literasi meliputi kemampuan berbahasa (menyimak, berbicara, membaca, dan menulis) dan berpikir yang menjadi elemen didalamnya.  Menurut Unesco, seseorang disebut literat apabila ia memiliki pengetahuan yang hakiki untuk digunakan dalam setiap aktivitas yang menuntut fungsi literasi secara efektif dalam masyarakat, dan pengetahuan yang dicapainya dengan membaca, menulis, dan arithmetic menungkinkan untuk dimanfaatkan bagi dirinya sendiri dan perkembangan masyarakat.
Terdapat 3 jenis literasi:
1.      Literasi visual merupakan kemampuan dimana individu memiliki kemampuan mengenali penggunaan garis, bentuk, dan warna sehingga dapat menginterpretasikan tindakan mengenali objek, dan memahami pesan lambing (Read dan Smith, 1982).
2.      Literasi lisan (verbal): seseorang yang menganut perspektif orasi menganggap bahwa kebutuhan yang paling utama dalam berkomunikasi adalah berbicara dan mendengarkan. Verbal yaitu berbicara dan menulis, mendengarkan dan membaca.
3.      Literasi terhadap teks tertulis (cetakan): Digambarkan sebagai aktivitas dan keterampilan yang berhubungan secara langsung dengan teks yang tercetak, baik melalui bentuk pembacaan maupun penulisan.
Sebuah Appetizer dalam menulis Akademik Elemen
v  Cohesion (kohesi): Gerakan halus atau “aliran” antara kalimat dan paragraph.
v  Clarity (kejelasan): Makna dari apa yang anda niatkan untuk berkomunikasi secara jelas.
v  Logical order (urutan logis): Mengacu pada urutan logis dari informasi.  Dalam penulisan akademik, penulis cenderung bergerak dari umum ke khusus.
v  Consistency (konsisten): Konsisten mengacu pada keseragaman gaya penulisan.
v  Unity: pada sederhana, kesatuan mengacu pada pengecualian informasi yang tidak secara langsung berhubungan dengan topic yang dibahas dalam paragraph tertentu.
v  Conciseness (keringkasan) adalah ekonomi dalam penggunaan kata-kata.  Tulisan yang bagus dengan cepat sampai ke titik dan menghilangkan kata yang tidak perlu dan tidak perlu pengulangan (redundancy or dead wood).  Pengecualian dari informasi yang tidak perlu mempromosikan persatuan dan kesatuan.
v  Completeness (kelengkapan): sementara informasi berulang-ulang atau tidak perlu harus dihilangkan, penulis memiliki untuk memberikan informasi penting mengenai suatu topic tertentu.  Misalnya, dalam definisi cacar air (chicken pox), pembaca akan mengharapkan untuk mengetahui bahwa itu adalah penyakit terutama anak-anak yang ditandai dengan ruam.
v  Variety ( ragam): membantu pembaca dengan menambahkan beberapa “bumbu” untuk teks.
v  Formality (formalitas): Akademik menulis adalah formal dalam nada.  Itu berarti bahwa kosakata canggih dan struktur tata bahasa yang digunakan.  Selain itu, penggunaan kata ganti ‘I’ dan kontraksi dihindari.


Key Hyland (2006) pada Literasi
§  Literasi adalah sesuatu yang kita lakukan.
§  Hamilton (1998), seperti dikutip dalam Hyland (2006:21), melihat keaksaraan sebagai kegiatan yang terletak diinteraksi antara manusia.
§  Hyland Furhter berpendapat: “melek akademik menekankan bahwa cara kita menggunakan bahasa, disebut sebagai praktik keaksaraan, berpola oleh lembaga social dan hubungan kekuasaan”.
§  Keberhasilan akademik berate representing diri anda dengan cara dihargai oleh disiplin anda, mengadopsi nilai-nilai, keyakina, dan identitas yang mewujudkan wacana akademik.
§  Rujukan literasi terus berevolusi, sedangkan rujukan linguistic relative konstan.
§  Studi literasi tumpang tindih (overlapping) dengan objek studi budaya (culture studies) dengan dimensinya yang luas.
§  Pendidikan yang berkualitas tinggi PASTI menghasilakn literasi berkualitas tinggi, dan juga sebaliknya.
§  Reading, writing, arithmetic, and reasoning = modal hidup
§  Orang multiliterat mampu berinteraksi dalam berbagai situasi.
§  Masyarakat yang tidak literat tidak mampu memahami bagaiman hegomoni itu diwacanakan lewat media masa.
§  Pengajaran bahasa harus mengajarkan keterampilan berpikir.
Poin penting dalam “Rekayasa Literasi”
Ø  Literasi adalah praktik cultural yang berkaitan dengan persoalan social politik yang berkaitan dengan persoalan sosila politik.
Ø  Definisi baru literasi terus menjamur sesuai dengan tuntutan “zaman edan” sehingga tuntutan mengenai perubahan mengajaran pun bisa dihindari.
Ø  Model literasi ala Freebody dan Lukas (2003): memecahkan kode teks, berpartisipasi dalam makna teks, menggunakan teks fungsional, kritis menganalisis dan mengubah teks.
Ø  Prof. Alwasilah meringkas lima ayat diatas menjadi: memahami, melibati, menggunakan, manganalis, menstransformasi.
Ø  Ujung tombak pendidikan literasi adalah GURU Artikel Baru Fitur: komitmen professional, sawit terhadap komitmen ETIS, pengembangan strategi analitis dan reflektif, efikasi diri, pengetahuan kepemilikan modal studi menjabarkan, dan keterampilan literasi dan numerasi (Cole dan Chan: 1994 dikutip bahasa dari Alwasilah 2012).
Ø  Rekayasa literasi adalah upaya yang disengaja dan sistematis untuk menjadikan manusia terdidik dan berbudaya lewat penguasaan bahasa secara optimal.
Ø  Penguasaan bahasa adalah pintu masuk menuju ke pendidikan dan pembudayaan.  4 pada dimensi rekayasa literasi: linguistic, kognitif, sosiokultural, dan perkembangan.
Ø  Rekayasa literasi= merekayasa pengajaran membaca dan menulis dalam empat dimensi tersebut.
Ø  Kern (2003): melek mengacu pada “learnedness umum dan keakraban dengan sastra”.
Ø  Orang literat tidak sekedar berbaca tulis tetapi terdidik dan mengenal sasta.
Lemahnya apresiasi sastra dikalangan siswa disebabkan oleh pendekatan yang memisahkan bahasa dan sastra, alih-alih pendekatan language arts.  Pengajaran apresiasi sastra, bukannya tata bahasa, berkontribusi dalam pemupukan kemampuan menulis siswa.  Secara nasional, kurang dari 40% guru bahasa Inggris yang memiliki kompetensi memadai untuk mengajar.  Mengajarkan literasi berarti mengajarkan kepekaan seksual dan cultural lintas kelompok dan lembaga social.  Mengajarkan literasi pada intinya menjadikan manusia yang secara fungsional mampu membaca dan menuis,terdidik, cerdas, dan menunjukkan apresiasi tinggi terhadap sastra.  Apresiasi siswa terhadap sastra masih lemah karena pengajaran mereka yang didapat lebih menekankan aspek afektif dan pengalaman.  Menusia literat adalah individu yang mendapatkan akses kepada ilmu pengetahuan melalui buku dan meteri tulis lainnya.
Jadi, pengajaran bahasa harus lebih ditingkatkan lagi, agar siswa mengetahui apa arti literasi yang sebenarnya.  Orang literat adalah orang yang bukan sekedar bisa berbaca-tulis saja, melainkan juga harus terdidik dan mengenal sastra.  Teks, konteks, dan pembaca adalah titik keberangkatan dalam pencarian untuk pembentukkan makna.  Orang literat harus mengetahui hubungan teks, konteks, dan pembaca, karena itu andalah cara mengenal sastra.


Class Review 3
Literasi Sebagai Apresiasi Sastra
            Dalam mendaki gunung sangatlah susah.  Banyak rintangan yang menghalang kita untuk sampai ke puncak.  Sebelum mendaki gunung, kita harus persiapkan terlebih dahulu fisik dan mental kita.  Setelah itu, baru kita persiapkan peralatan yang harus dibawa.  Seperti, tas rangsel, senter, jaket, manakan, dan minuman.  Semua itu harus kita persiapkan matang-matang.  Proses mendaki gunung begitu sulit, namun tujuan kita untuk mencapai ke puncak harus tercapai.  Karena di puncak gunung terdapat dunia yang berbeda, kita berdiri diatas awan putih dan terasa dunia telah tergapai.  Begitu pula dengan proses kita dalam menghadapi “academic writing”.  Kita harus mempersiapkan daya tahan tubuh kita, pikiran kita, tangan kita untuk banyak menulis dan mata kita yang sekuat-kuatnya melihat layar monitor untuk mencari data-data sebagai bahan tulisan kita.  Semua itu harus kita persiapkan semaksimal mungkin, agar kita berhasil mencapai tujuan kita yaitu menjadi penulis yang handal dan pembaca yang kritis.
            Suasana yang begitu sepi, mulailah saya terbangu dikala semua orang tidur nyenyak dan mimpi indah.   Suara kipas yang selalu menemaniku.  Pada saat itulah saya mulai mengerjakan class review yang ketiga.  Mulailah saya berpikir sedalam-dalamnya, tinta hitam berjalan diatas kertas putih tanpa kusadari.  Yang berisi ide-ide yang berharap ide tersebut bisa membuat seorang pembaca tertarik.  Detik demi detik ku lewati, menit demi menit kulalui dan jam demi jam kujalani hanya bersama tinta dan kertas putih.
            Dalam pembahasan ini akan lebih mendalami tentang literasi sebagai apresiasi sastra.  Orang literat adalah orang yang memiliki sebuah erget yang hendak dicapai dan berusaha untuk mencapai target tersebut.  Begitu pula dengan Mr Lala yang ingin mahasiswa atau nama IAIN bisa terkenal.  Maka dengan cara member tugas menulis dan membaca sebanyak-banyaknya.  Mr Lala menginginkan suatu saat kita akan menjadi pusat keunggulan (centre of excellence).  di Iain terdapat penulis yang handal dan pembaca yang kritis, dimana disitulah terdapat pisat keunggulang dan yang pasti semua orang akan mengunjungi IAIN.  Dosen dari universitas lain banyak yang mencari buku di Iain.  Dengan bet=gitu, nama Iain akan terkenal dan maju.  Itulah sebuah target yang hendak dicapai.
            Kemabali lagi kepembahasan, posisi kita disini adalah multingual writer. 
Multingual Writer = L1 + L2
Jika dalam menuliskita menggunakan 4 bahasa, itu sangatlah luar biasa.  Kita harus bisa memproduksi sesuatu yang baru yang orang lain tidak bisa melakukannya.  Contohnya bambu itu dimana-mana juga ada dan banyak disekeliling kita, tapi kita harus bisa menciptakan sesuatu yang baru dari bamboo tersebut.  Seperti membuat dram, bass, gitar dan lain-lain.  Itulah contohnya multingual writer.
Text menurut Mikko Lehtonen
            Teks dibagi menjadi 2 yaitu physical dan semiotic.  Teks bisa menjadi semiotic ketika mempunyai beberapa bentuk fisik.  Terhadap fisik, kita bisa membawa teks itu sebagai artifact komunikasi, agar manusia dapat memproduksi instrument dari komunikasi.  Sebagai artifact, teks telah dihasilkan melalui bantuan berbagai teknologi.  Bentuk material dari teks mencerminkan keadaan alami saat ini.  Teknologi awal yang bertujuan untuk menghasilak teks tertulis yang terhubung ke kapak atau pisau, dnegantanda-tanda yang terukir dikayu atau bata.
            Teks dibuat oleh teknologi juga mempunyai tanda disebelah kiri yang pada konsep ‘teks’ bahwa menang dikebudayaan kita.  Saling berhubungan abtara bentuk fisik dari teks dan teknologi diproduksi mereka.  Semua teks mempunyai sejarah produksi sendiri. 
Teks sebagai makhluk semiotic
            Teks bisa menjadi bentuk menulis, pidato, gambar, music atau symbol yang lain.  Didalam bentuk lain, teks mempunyai karekter 3 fitur:
1.      Materiality (materialitas)
2.      Formal relations (hubungan resmi)
3.      Meaningfulness (kebermaknaan)
Penjelasan:
1.      Tanda dari teks adalah fisik dan material: keberadaan fisik mereka dan pengartian sensual selalu memiliki basis material, baik itu granit yang digunakan dalam patung atau gelombang udara yang dipancarkan selama tindakan berbicara.
2.      Resmi tertentu berhubungan antara tanda-tanda yang terkandung dalam teks: posisi tanda-tanda berada diposisi sementara dan hubungan yang local dengan tanda-tanda yang lain, seperti surat, kata, kalimat, atau seluruh teks.
3.      Tanda-tanda mempunyai sebuah arti semantic: mereka mengacu pada sesuatu diluar dirinya, apakah itu adalah fenomena non-tekstual atau tekstual.  Sebuah bagiandari music pop, misalnya semua bekerja dalam 3 level: melalui energy suara yang dikandungnya melalui bentuk musical itu duwujudkan dan melali makna itu menyiratkan.  Semua itu berhubungan, tetapi dari tujuan analitikal, mereka juga bisa menjadi sementara dipisah secara terpisah.
Saussure
          kepentingan Saussure terletak pada system bahasa.  Kemudian berhubungan bahasa dengan dunia atau berbeda makna untuk berbagai pengguna.  Jadi unuk meringkas, kami bisa berkata bahwa Saussure menaruh perhatian pada makna kamus langsung dari kata.  Menurut Saussure, tanda linguistic dapat analitik dibagai menjadi 2 tak terpisahkan:  the signifier dan the signified.  Referensi dari tanda, nama, tanda apa yang mengacu, tetap berada diluar dari 2: Signifier dan Signified.
Saussure hanya objek nyata dari linguistic adalah normal, kehidupan yang teratur, dan idiom yang ada.
            Setelah Saussure, Roland Barthes (1915-1980) mengangkat pertanyaan khusus dari informasi makna didalam interaksi tanda-tanda dan pembaca (saya menggunakan kata “reader” sebagai makna yang luas sebagai kata “teks”: ‘reader’ semua pemakai bentuk makna dari teks diberbagai bentuk.  Padahal Barthes menggambarkan interaksi adalah dibuat ketika sebuah tanda sumber pengalaman dan budaya dari oemakai istilah konotasi.
            Istilah denotasi dan konotasi mempunyai sejarah yang panjang melalui berbagai makna.  Biasanya, makna primer dari sebuah kata yang berarti oleh denotasi, padahal konotasi adalah dipahami sebagai nomor kualitas terkait dengan rujukan sebuah kata referent, seperti konteks dan reaksi emosi.
            Barthes mengatakan tentang tanda praktis sebagai aktivitas tidak terjadi pada level bahasa abstrak, tetapi dalam encounter of text (dalam pertemuan teks), context and reader.  Menurut Barthes, teks linguistic adalah produktivitas, produksi dari tahap dimana produsen dari teks dan pembaca bertemu satu sama lain.
Sebagai catatan Barthes:
Perlu untuk membuang monologis, status hokum signifisi dan pluralise.  Itu untuk pembahasan ini bahwa konsep konotasi sigunakan: volume, indra terkait sekunder diturunkan semantic ‘gerakan’ dicangkokkan ke pijat dilambangkan.
            Menurut pandangan Barthes, denotasi adalah makna literer menyampaikan oleh sebuah tanda, padahal Barthes menggunakan istilah ‘konotasi’ untuk menggambarkan makna cultural bahwa mereka terkait dengan tanda-tanda bentuk sebagai makna unit lebih seperti sebagai metaphor atau seluruh teks.
            Jadi, perbedaan istimewa dikonsep Saussure dan Barthes, dari bahasa dan makna.  Dimana bahasa menurut Saussure adalah suatu system yang didefinisikan maknanya sendiri, Barthes melihat peran dari orang yang sipraktekkan aktivitas linguistic juga sebagai pusat makhluk didalam makna informasi.
            Kita tahu sekarang bahwa teks tidak terdiri dari garis kata-kata saja, merilis sebuah ‘teologis’ single berate (pesan dari penulis), tetapi dari ruang multidimensional yang sudah menikah dan diperebutkan seserapa tulisan, tidak ada yang original: teks adalah kain kutipan, yang dihasilkan dair seribu sumber budaya.
            Sebagai penulis beroperasi dalam bahasa, ‘The Death of the Author’, Barthes memang menyatakan kematian penulis, sekaligus menandakan kelahiran pembaca: pembaca naik ke inti dari pembentukkan makna, dan membaca menjadi tempat dimana milik makna.
            Barthes melihat konotasi untuk produktivitas: dari penanda bahasa.  Didalam tradisional melihat tentang makna, yang man pembaca telah mengeti untuk menetapkan diri agak tidak berhubungan rumit untuk tanda.
            Menurut gagasan ini, teks sebagai semiotic makhluk yang tidak mempunyai makna alami: mereka juga mendapatkan maknanya tergantung pada konteks mereka.
Text and context menurut Mikko Lehtonen
          Context bisa diartikan: tergantung pada konteks-seperti sebuah variasi dari sesuatu bahwa samar-hati mungkin merasa ngeri memikirkan.  Context mencakup semua factor tersebut bahwa penulis dan pembaca membawa ke dalam proses informasi dari makna.  Khususnya kompetensi diskursif dan kerangka pertimbangan nilai.

            Konteks mencakup semua ini:
1.      Substansi: materi fisik yang membawa atau relays teks.
2.      Music dan gambar
3.      Paralanguage: perilaku bermakna yang menyertai bahasa, seperti: kualitas suara, gesture, ekspresi muka dan sentuhan (kecepatan), dan memilih jenis huruf dan ukuran huruf (didalam menulis).
4.      Situasi: property dan hubungan dari objek dan sekitar teks, sebagai dirasakan oleh peserta.
5.      Co-text: teks mendahului atau mengikuti bahwa dibawah analisis, dan juri peserta termasuk wacana yang sama.
6.      Inter text: teks dirasakan peserta sebagai didalam wacana lain, tetapi mereka asosiasi dengan teks dibawah pertimbangan dan mempengaruhi interpretasi.
7.      Participants: nilai dan interpretasi, pengetahuan dan keyakina, sikap interpersonal. Afiliasi dan rasa.
8.      Function: teks dimaksudkan untuk apa, oleh pengirim dan alamat, atau dirasakan untuk oeh penerima dan alamat.
Gagasan memasak dari konteks adalah praktis cepat.  Factor eksternal untuk situasi teks, pembaca dan fungsi dimaksudkan untuk teks.  Jika kata dan kalimat memperoleh makna pikiran yang berbeda.
      Makna dari sebuah kata, ekspresi, preposisi, dan lain-lain tidak ada dalam dirinya sendiri.  Hubungan jelas dengan karakter literal dari penanda, tetapi ditentukan oleh posisi ideological membawa permainan kedalam proses sociohistorikal kata, ekspresi, dan preposisi adalah diproduksi.  Tesis ini dapat disimpulkan dari pernyataan kata, ekspresi, preposisi dan lain-lain mengubah makna untuk diadakan posisi oleh mereka yang menggunakannya, yang man mereka menemukan makna oleh referensi untuk posisi.
Reader
            Terry Eagleton menggambarkan aktivitas pembaca mengikuti jalan yaitu:
            Meskipun kita jarang menyadari, kita adalah waktu yang terlibat dalam membangun hipotesis tentang arti teks, pembaca membuat koneksi implicit, mengisi kesenjangan, menarik kesimpulan, dan menguji firasat kami, dan untuk melakukan hal ini berate menggambarkan pada pengetahuan tacit dari dunia pada umumnya dan konvensi sastra pada khususnya.  Teks itu sendiri benar-benar tidak lebih dari serangkaian ‘isyarat’ kepada pembaca, undangan untuk membangun sepotong bahasa ke makna.
            Sebagai istilah “poetics” mempunyai banyak makna, jati yaitu istilah ‘hermeneutics’.  Biasanya teori mengenai interpretasi yang sibuk dengan hal-hal yang universal tentang pemahaman teks disebut hermeneutis. Teks adalah situs diman petjuangan untuk memproduksi makna berlangsung.  Teks dan pembaca tidak ada terlepas satu sama lain, tetapi menghasilkan satu sama lain sebagai teks pembaca masing-masing, dan sebagai pembaca teks masing-masing.
Hence
Hubungan antara text, context, and reader menjadi titik keberangkatan dalam pencarian untuk pembentukkan makna.  Teks ditentukan oleh sejumlah besar factor yang berhubungan dengan produksi dan membaca.
Demikianlah pembahasan tentang text, context, and reader yang sudah sangat jelas.  Marilah kita mulai membahas tentang literasi.  Pada abad ke-21, standar kelas dunia akan menuntut bahwa setiap orang sangat melek huruf, sangat berhitung, baik informasi, mampu belajar terus-menerus dan percaya diri dan mampu memainkan peran mereka sebagai warga masyarakat yang demokratis.
Karakteristik bagi warga Negara yang demokrat:
·         Rasa hormat dan tanggung jawab
·         Bersikap kritis
·         Membuka diskusi dan dialog
·         Bersikap terbuka
·         Rasional
·         Adil
·         Jujur



Rekayasa Literasi
Rekayasa literasi = reading + writing
            Rekayasa adalah upaya yang disengaja dilakukan seseorang, agar memperoleh sesuatu yang baru.  Literasi adalah kemampuan menggunakan symbol-simbol tulis sebagai keterampilan hidup agar semua warga Negara demokratis dapat berperan maksimal dalam masyarakat madani.  Masyarakat madani adalah masyarakat yang berbudaya namun mampu berinteraksi dengan dunia luar yang modern sehingga dapat terus berkembang dan maju.  Dalam masyarakat madani, setiap warganya menyadari dan mengerti akan hak-hak serta kewajibannya terhadap Negara, bangsa, dan agama (Agungborngl.wordpress.com)
            Literasi selama bertahun-tahun dianggap sekedar persoalan psikologis yang berkaitan dengan kemampuan mental dan keterampilan baca-tulis, padahal literasi adalah praktik cultural yang berkaitan dengan persoalan social dan politik.  Free dan Luke menawarkan model literasi sebagai berikut:
1.      Memahami kode dalam teks
2.      Terlibat dalam memaknai teks
3.      Menggunakan teks secara fungsional
4.      Melakukan analisis dan mentransformasikan teks secara kritis.
Sulzby (1986) mengartikan literasi sebagai kemampuan membaca dan menulis.  Dalam pengertian luas, literasi meliputi kemampuan berbahasa (menyimak, berbicara, membaca, dan menulis) dan berpikir yang menjadi elemen didalamnya.  Menurut Unesco, seseorang disebut literat apabila ia memiliki pengetahuan yang hakiki untuk digunakan dalam setiap aktivitas yang menuntut fungsi literasi secara efektif dalam masyarakat, dan pengetahuan yang dicapainya dengan membaca, menulis, dan arithmetic menungkinkan untuk dimanfaatkan bagi dirinya sendiri dan perkembangan masyarakat.
Terdapat 3 jenis literasi:
1.      Literasi visual merupakan kemampuan dimana individu memiliki kemampuan mengenali penggunaan garis, bentuk, dan warna sehingga dapat menginterpretasikan tindakan mengenali objek, dan memahami pesan lambing (Read dan Smith, 1982).
2.      Literasi lisan (verbal): seseorang yang menganut perspektif orasi menganggap bahwa kebutuhan yang paling utama dalam berkomunikasi adalah berbicara dan mendengarkan. Verbal yaitu berbicara dan menulis, mendengarkan dan membaca.
3.      Literasi terhadap teks tertulis (cetakan): Digambarkan sebagai aktivitas dan keterampilan yang berhubungan secara langsung dengan teks yang tercetak, baik melalui bentuk pembacaan maupun penulisan.
Sebuah Appetizer dalam menulis Akademik Elemen
v  Cohesion (kohesi): Gerakan halus atau “aliran” antara kalimat dan paragraph.
v  Clarity (kejelasan): Makna dari apa yang anda niatkan untuk berkomunikasi secara jelas.
v  Logical order (urutan logis): Mengacu pada urutan logis dari informasi.  Dalam penulisan akademik, penulis cenderung bergerak dari umum ke khusus.
v  Consistency (konsisten): Konsisten mengacu pada keseragaman gaya penulisan.
v  Unity: pada sederhana, kesatuan mengacu pada pengecualian informasi yang tidak secara langsung berhubungan dengan topic yang dibahas dalam paragraph tertentu.
v  Conciseness (keringkasan) adalah ekonomi dalam penggunaan kata-kata.  Tulisan yang bagus dengan cepat sampai ke titik dan menghilangkan kata yang tidak perlu dan tidak perlu pengulangan (redundancy or dead wood).  Pengecualian dari informasi yang tidak perlu mempromosikan persatuan dan kesatuan.
v  Completeness (kelengkapan): sementara informasi berulang-ulang atau tidak perlu harus dihilangkan, penulis memiliki untuk memberikan informasi penting mengenai suatu topic tertentu.  Misalnya, dalam definisi cacar air (chicken pox), pembaca akan mengharapkan untuk mengetahui bahwa itu adalah penyakit terutama anak-anak yang ditandai dengan ruam.
v  Variety ( ragam): membantu pembaca dengan menambahkan beberapa “bumbu” untuk teks.
v  Formality (formalitas): Akademik menulis adalah formal dalam nada.  Itu berarti bahwa kosakata canggih dan struktur tata bahasa yang digunakan.  Selain itu, penggunaan kata ganti ‘I’ dan kontraksi dihindari.


Key Hyland (2006) pada Literasi
§  Literasi adalah sesuatu yang kita lakukan.
§  Hamilton (1998), seperti dikutip dalam Hyland (2006:21), melihat keaksaraan sebagai kegiatan yang terletak diinteraksi antara manusia.
§  Hyland Furhter berpendapat: “melek akademik menekankan bahwa cara kita menggunakan bahasa, disebut sebagai praktik keaksaraan, berpola oleh lembaga social dan hubungan kekuasaan”.
§  Keberhasilan akademik berate representing diri anda dengan cara dihargai oleh disiplin anda, mengadopsi nilai-nilai, keyakina, dan identitas yang mewujudkan wacana akademik.
§  Rujukan literasi terus berevolusi, sedangkan rujukan linguistic relative konstan.
§  Studi literasi tumpang tindih (overlapping) dengan objek studi budaya (culture studies) dengan dimensinya yang luas.
§  Pendidikan yang berkualitas tinggi PASTI menghasilakn literasi berkualitas tinggi, dan juga sebaliknya.
§  Reading, writing, arithmetic, and reasoning = modal hidup
§  Orang multiliterat mampu berinteraksi dalam berbagai situasi.
§  Masyarakat yang tidak literat tidak mampu memahami bagaiman hegomoni itu diwacanakan lewat media masa.
§  Pengajaran bahasa harus mengajarkan keterampilan berpikir.
Poin penting dalam “Rekayasa Literasi”
Ø  Literasi adalah praktik cultural yang berkaitan dengan persoalan social politik yang berkaitan dengan persoalan sosila politik.
Ø  Definisi baru literasi terus menjamur sesuai dengan tuntutan “zaman edan” sehingga tuntutan mengenai perubahan mengajaran pun bisa dihindari.
Ø  Model literasi ala Freebody dan Lukas (2003): memecahkan kode teks, berpartisipasi dalam makna teks, menggunakan teks fungsional, kritis menganalisis dan mengubah teks.
Ø  Prof. Alwasilah meringkas lima ayat diatas menjadi: memahami, melibati, menggunakan, manganalis, menstransformasi.
Ø  Ujung tombak pendidikan literasi adalah GURU Artikel Baru Fitur: komitmen professional, sawit terhadap komitmen ETIS, pengembangan strategi analitis dan reflektif, efikasi diri, pengetahuan kepemilikan modal studi menjabarkan, dan keterampilan literasi dan numerasi (Cole dan Chan: 1994 dikutip bahasa dari Alwasilah 2012).
Ø  Rekayasa literasi adalah upaya yang disengaja dan sistematis untuk menjadikan manusia terdidik dan berbudaya lewat penguasaan bahasa secara optimal.
Ø  Penguasaan bahasa adalah pintu masuk menuju ke pendidikan dan pembudayaan.  4 pada dimensi rekayasa literasi: linguistic, kognitif, sosiokultural, dan perkembangan.
Ø  Rekayasa literasi= merekayasa pengajaran membaca dan menulis dalam empat dimensi tersebut.
Ø  Kern (2003): melek mengacu pada “learnedness umum dan keakraban dengan sastra”.
Ø  Orang literat tidak sekedar berbaca tulis tetapi terdidik dan mengenal sasta.
Lemahnya apresiasi sastra dikalangan siswa disebabkan oleh pendekatan yang memisahkan bahasa dan sastra, alih-alih pendekatan language arts.  Pengajaran apresiasi sastra, bukannya tata bahasa, berkontribusi dalam pemupukan kemampuan menulis siswa.  Secara nasional, kurang dari 40% guru bahasa Inggris yang memiliki kompetensi memadai untuk mengajar.  Mengajarkan literasi berarti mengajarkan kepekaan seksual dan cultural lintas kelompok dan lembaga social.  Mengajarkan literasi pada intinya menjadikan manusia yang secara fungsional mampu membaca dan menuis,terdidik, cerdas, dan menunjukkan apresiasi tinggi terhadap sastra.  Apresiasi siswa terhadap sastra masih lemah karena pengajaran mereka yang didapat lebih menekankan aspek afektif dan pengalaman.  Menusia literat adalah individu yang mendapatkan akses kepada ilmu pengetahuan melalui buku dan meteri tulis lainnya.
Jadi, pengajaran bahasa harus lebih ditingkatkan lagi, agar siswa mengetahui apa arti literasi yang sebenarnya.  Orang literat adalah orang yang bukan sekedar bisa berbaca-tulis saja, melainkan juga harus terdidik dan mengenal sastra.  Teks, konteks, dan pembaca adalah titik keberangkatan dalam pencarian untuk pembentukkan makna.  Orang literat harus mengetahui hubungan teks, konteks, dan pembaca, karena itu andalah cara mengenal sastra.


Class Review 3
Literasi Sebagai Apresiasi Sastra
            Dalam mendaki gunung sangatlah susah.  Banyak rintangan yang menghalang kita untuk sampai ke puncak.  Sebelum mendaki gunung, kita harus persiapkan terlebih dahulu fisik dan mental kita.  Setelah itu, baru kita persiapkan peralatan yang harus dibawa.  Seperti, tas rangsel, senter, jaket, manakan, dan minuman.  Semua itu harus kita persiapkan matang-matang.  Proses mendaki gunung begitu sulit, namun tujuan kita untuk mencapai ke puncak harus tercapai.  Karena di puncak gunung terdapat dunia yang berbeda, kita berdiri diatas awan putih dan terasa dunia telah tergapai.  Begitu pula dengan proses kita dalam menghadapi “academic writing”.  Kita harus mempersiapkan daya tahan tubuh kita, pikiran kita, tangan kita untuk banyak menulis dan mata kita yang sekuat-kuatnya melihat layar monitor untuk mencari data-data sebagai bahan tulisan kita.  Semua itu harus kita persiapkan semaksimal mungkin, agar kita berhasil mencapai tujuan kita yaitu menjadi penulis yang handal dan pembaca yang kritis.
            Suasana yang begitu sepi, mulailah saya terbangu dikala semua orang tidur nyenyak dan mimpi indah.   Suara kipas yang selalu menemaniku.  Pada saat itulah saya mulai mengerjakan class review yang ketiga.  Mulailah saya berpikir sedalam-dalamnya, tinta hitam berjalan diatas kertas putih tanpa kusadari.  Yang berisi ide-ide yang berharap ide tersebut bisa membuat seorang pembaca tertarik.  Detik demi detik ku lewati, menit demi menit kulalui dan jam demi jam kujalani hanya bersama tinta dan kertas putih.
            Dalam pembahasan ini akan lebih mendalami tentang literasi sebagai apresiasi sastra.  Orang literat adalah orang yang memiliki sebuah erget yang hendak dicapai dan berusaha untuk mencapai target tersebut.  Begitu pula dengan Mr Lala yang ingin mahasiswa atau nama IAIN bisa terkenal.  Maka dengan cara member tugas menulis dan membaca sebanyak-banyaknya.  Mr Lala menginginkan suatu saat kita akan menjadi pusat keunggulan (centre of excellence).  di Iain terdapat penulis yang handal dan pembaca yang kritis, dimana disitulah terdapat pisat keunggulang dan yang pasti semua orang akan mengunjungi IAIN.  Dosen dari universitas lain banyak yang mencari buku di Iain.  Dengan bet=gitu, nama Iain akan terkenal dan maju.  Itulah sebuah target yang hendak dicapai.
            Kemabali lagi kepembahasan, posisi kita disini adalah multingual writer. 
Multingual Writer = L1 + L2
Jika dalam menuliskita menggunakan 4 bahasa, itu sangatlah luar biasa.  Kita harus bisa memproduksi sesuatu yang baru yang orang lain tidak bisa melakukannya.  Contohnya bambu itu dimana-mana juga ada dan banyak disekeliling kita, tapi kita harus bisa menciptakan sesuatu yang baru dari bamboo tersebut.  Seperti membuat dram, bass, gitar dan lain-lain.  Itulah contohnya multingual writer.
Text menurut Mikko Lehtonen
            Teks dibagi menjadi 2 yaitu physical dan semiotic.  Teks bisa menjadi semiotic ketika mempunyai beberapa bentuk fisik.  Terhadap fisik, kita bisa membawa teks itu sebagai artifact komunikasi, agar manusia dapat memproduksi instrument dari komunikasi.  Sebagai artifact, teks telah dihasilkan melalui bantuan berbagai teknologi.  Bentuk material dari teks mencerminkan keadaan alami saat ini.  Teknologi awal yang bertujuan untuk menghasilak teks tertulis yang terhubung ke kapak atau pisau, dnegantanda-tanda yang terukir dikayu atau bata.
            Teks dibuat oleh teknologi juga mempunyai tanda disebelah kiri yang pada konsep ‘teks’ bahwa menang dikebudayaan kita.  Saling berhubungan abtara bentuk fisik dari teks dan teknologi diproduksi mereka.  Semua teks mempunyai sejarah produksi sendiri. 
Teks sebagai makhluk semiotic
            Teks bisa menjadi bentuk menulis, pidato, gambar, music atau symbol yang lain.  Didalam bentuk lain, teks mempunyai karekter 3 fitur:
1.      Materiality (materialitas)
2.      Formal relations (hubungan resmi)
3.      Meaningfulness (kebermaknaan)
Penjelasan:
1.      Tanda dari teks adalah fisik dan material: keberadaan fisik mereka dan pengartian sensual selalu memiliki basis material, baik itu granit yang digunakan dalam patung atau gelombang udara yang dipancarkan selama tindakan berbicara.
2.      Resmi tertentu berhubungan antara tanda-tanda yang terkandung dalam teks: posisi tanda-tanda berada diposisi sementara dan hubungan yang local dengan tanda-tanda yang lain, seperti surat, kata, kalimat, atau seluruh teks.
3.      Tanda-tanda mempunyai sebuah arti semantic: mereka mengacu pada sesuatu diluar dirinya, apakah itu adalah fenomena non-tekstual atau tekstual.  Sebuah bagiandari music pop, misalnya semua bekerja dalam 3 level: melalui energy suara yang dikandungnya melalui bentuk musical itu duwujudkan dan melali makna itu menyiratkan.  Semua itu berhubungan, tetapi dari tujuan analitikal, mereka juga bisa menjadi sementara dipisah secara terpisah.
Saussure
          kepentingan Saussure terletak pada system bahasa.  Kemudian berhubungan bahasa dengan dunia atau berbeda makna untuk berbagai pengguna.  Jadi unuk meringkas, kami bisa berkata bahwa Saussure menaruh perhatian pada makna kamus langsung dari kata.  Menurut Saussure, tanda linguistic dapat analitik dibagai menjadi 2 tak terpisahkan:  the signifier dan the signified.  Referensi dari tanda, nama, tanda apa yang mengacu, tetap berada diluar dari 2: Signifier dan Signified.
Saussure hanya objek nyata dari linguistic adalah normal, kehidupan yang teratur, dan idiom yang ada.
            Setelah Saussure, Roland Barthes (1915-1980) mengangkat pertanyaan khusus dari informasi makna didalam interaksi tanda-tanda dan pembaca (saya menggunakan kata “reader” sebagai makna yang luas sebagai kata “teks”: ‘reader’ semua pemakai bentuk makna dari teks diberbagai bentuk.  Padahal Barthes menggambarkan interaksi adalah dibuat ketika sebuah tanda sumber pengalaman dan budaya dari oemakai istilah konotasi.
            Istilah denotasi dan konotasi mempunyai sejarah yang panjang melalui berbagai makna.  Biasanya, makna primer dari sebuah kata yang berarti oleh denotasi, padahal konotasi adalah dipahami sebagai nomor kualitas terkait dengan rujukan sebuah kata referent, seperti konteks dan reaksi emosi.
            Barthes mengatakan tentang tanda praktis sebagai aktivitas tidak terjadi pada level bahasa abstrak, tetapi dalam encounter of text (dalam pertemuan teks), context and reader.  Menurut Barthes, teks linguistic adalah produktivitas, produksi dari tahap dimana produsen dari teks dan pembaca bertemu satu sama lain.
Sebagai catatan Barthes:
Perlu untuk membuang monologis, status hokum signifisi dan pluralise.  Itu untuk pembahasan ini bahwa konsep konotasi sigunakan: volume, indra terkait sekunder diturunkan semantic ‘gerakan’ dicangkokkan ke pijat dilambangkan.
            Menurut pandangan Barthes, denotasi adalah makna literer menyampaikan oleh sebuah tanda, padahal Barthes menggunakan istilah ‘konotasi’ untuk menggambarkan makna cultural bahwa mereka terkait dengan tanda-tanda bentuk sebagai makna unit lebih seperti sebagai metaphor atau seluruh teks.
            Jadi, perbedaan istimewa dikonsep Saussure dan Barthes, dari bahasa dan makna.  Dimana bahasa menurut Saussure adalah suatu system yang didefinisikan maknanya sendiri, Barthes melihat peran dari orang yang sipraktekkan aktivitas linguistic juga sebagai pusat makhluk didalam makna informasi.
            Kita tahu sekarang bahwa teks tidak terdiri dari garis kata-kata saja, merilis sebuah ‘teologis’ single berate (pesan dari penulis), tetapi dari ruang multidimensional yang sudah menikah dan diperebutkan seserapa tulisan, tidak ada yang original: teks adalah kain kutipan, yang dihasilkan dair seribu sumber budaya.
            Sebagai penulis beroperasi dalam bahasa, ‘The Death of the Author’, Barthes memang menyatakan kematian penulis, sekaligus menandakan kelahiran pembaca: pembaca naik ke inti dari pembentukkan makna, dan membaca menjadi tempat dimana milik makna.
            Barthes melihat konotasi untuk produktivitas: dari penanda bahasa.  Didalam tradisional melihat tentang makna, yang man pembaca telah mengeti untuk menetapkan diri agak tidak berhubungan rumit untuk tanda.
            Menurut gagasan ini, teks sebagai semiotic makhluk yang tidak mempunyai makna alami: mereka juga mendapatkan maknanya tergantung pada konteks mereka.
Text and context menurut Mikko Lehtonen
          Context bisa diartikan: tergantung pada konteks-seperti sebuah variasi dari sesuatu bahwa samar-hati mungkin merasa ngeri memikirkan.  Context mencakup semua factor tersebut bahwa penulis dan pembaca membawa ke dalam proses informasi dari makna.  Khususnya kompetensi diskursif dan kerangka pertimbangan nilai.

            Konteks mencakup semua ini:
1.      Substansi: materi fisik yang membawa atau relays teks.
2.      Music dan gambar
3.      Paralanguage: perilaku bermakna yang menyertai bahasa, seperti: kualitas suara, gesture, ekspresi muka dan sentuhan (kecepatan), dan memilih jenis huruf dan ukuran huruf (didalam menulis).
4.      Situasi: property dan hubungan dari objek dan sekitar teks, sebagai dirasakan oleh peserta.
5.      Co-text: teks mendahului atau mengikuti bahwa dibawah analisis, dan juri peserta termasuk wacana yang sama.
6.      Inter text: teks dirasakan peserta sebagai didalam wacana lain, tetapi mereka asosiasi dengan teks dibawah pertimbangan dan mempengaruhi interpretasi.
7.      Participants: nilai dan interpretasi, pengetahuan dan keyakina, sikap interpersonal. Afiliasi dan rasa.
8.      Function: teks dimaksudkan untuk apa, oleh pengirim dan alamat, atau dirasakan untuk oeh penerima dan alamat.
Gagasan memasak dari konteks adalah praktis cepat.  Factor eksternal untuk situasi teks, pembaca dan fungsi dimaksudkan untuk teks.  Jika kata dan kalimat memperoleh makna pikiran yang berbeda.
      Makna dari sebuah kata, ekspresi, preposisi, dan lain-lain tidak ada dalam dirinya sendiri.  Hubungan jelas dengan karakter literal dari penanda, tetapi ditentukan oleh posisi ideological membawa permainan kedalam proses sociohistorikal kata, ekspresi, dan preposisi adalah diproduksi.  Tesis ini dapat disimpulkan dari pernyataan kata, ekspresi, preposisi dan lain-lain mengubah makna untuk diadakan posisi oleh mereka yang menggunakannya, yang man mereka menemukan makna oleh referensi untuk posisi.
Reader
            Terry Eagleton menggambarkan aktivitas pembaca mengikuti jalan yaitu:
            Meskipun kita jarang menyadari, kita adalah waktu yang terlibat dalam membangun hipotesis tentang arti teks, pembaca membuat koneksi implicit, mengisi kesenjangan, menarik kesimpulan, dan menguji firasat kami, dan untuk melakukan hal ini berate menggambarkan pada pengetahuan tacit dari dunia pada umumnya dan konvensi sastra pada khususnya.  Teks itu sendiri benar-benar tidak lebih dari serangkaian ‘isyarat’ kepada pembaca, undangan untuk membangun sepotong bahasa ke makna.
            Sebagai istilah “poetics” mempunyai banyak makna, jati yaitu istilah ‘hermeneutics’.  Biasanya teori mengenai interpretasi yang sibuk dengan hal-hal yang universal tentang pemahaman teks disebut hermeneutis. Teks adalah situs diman petjuangan untuk memproduksi makna berlangsung.  Teks dan pembaca tidak ada terlepas satu sama lain, tetapi menghasilkan satu sama lain sebagai teks pembaca masing-masing, dan sebagai pembaca teks masing-masing.
Hence
Hubungan antara text, context, and reader menjadi titik keberangkatan dalam pencarian untuk pembentukkan makna.  Teks ditentukan oleh sejumlah besar factor yang berhubungan dengan produksi dan membaca.
Demikianlah pembahasan tentang text, context, and reader yang sudah sangat jelas.  Marilah kita mulai membahas tentang literasi.  Pada abad ke-21, standar kelas dunia akan menuntut bahwa setiap orang sangat melek huruf, sangat berhitung, baik informasi, mampu belajar terus-menerus dan percaya diri dan mampu memainkan peran mereka sebagai warga masyarakat yang demokratis.
Karakteristik bagi warga Negara yang demokrat:
·         Rasa hormat dan tanggung jawab
·         Bersikap kritis
·         Membuka diskusi dan dialog
·         Bersikap terbuka
·         Rasional
·         Adil
·         Jujur



Rekayasa Literasi
Rekayasa literasi = reading + writing
            Rekayasa adalah upaya yang disengaja dilakukan seseorang, agar memperoleh sesuatu yang baru.  Literasi adalah kemampuan menggunakan symbol-simbol tulis sebagai keterampilan hidup agar semua warga Negara demokratis dapat berperan maksimal dalam masyarakat madani.  Masyarakat madani adalah masyarakat yang berbudaya namun mampu berinteraksi dengan dunia luar yang modern sehingga dapat terus berkembang dan maju.  Dalam masyarakat madani, setiap warganya menyadari dan mengerti akan hak-hak serta kewajibannya terhadap Negara, bangsa, dan agama (Agungborngl.wordpress.com)
            Literasi selama bertahun-tahun dianggap sekedar persoalan psikologis yang berkaitan dengan kemampuan mental dan keterampilan baca-tulis, padahal literasi adalah praktik cultural yang berkaitan dengan persoalan social dan politik.  Free dan Luke menawarkan model literasi sebagai berikut:
1.      Memahami kode dalam teks
2.      Terlibat dalam memaknai teks
3.      Menggunakan teks secara fungsional
4.      Melakukan analisis dan mentransformasikan teks secara kritis.
Sulzby (1986) mengartikan literasi sebagai kemampuan membaca dan menulis.  Dalam pengertian luas, literasi meliputi kemampuan berbahasa (menyimak, berbicara, membaca, dan menulis) dan berpikir yang menjadi elemen didalamnya.  Menurut Unesco, seseorang disebut literat apabila ia memiliki pengetahuan yang hakiki untuk digunakan dalam setiap aktivitas yang menuntut fungsi literasi secara efektif dalam masyarakat, dan pengetahuan yang dicapainya dengan membaca, menulis, dan arithmetic menungkinkan untuk dimanfaatkan bagi dirinya sendiri dan perkembangan masyarakat.
Terdapat 3 jenis literasi:
1.      Literasi visual merupakan kemampuan dimana individu memiliki kemampuan mengenali penggunaan garis, bentuk, dan warna sehingga dapat menginterpretasikan tindakan mengenali objek, dan memahami pesan lambing (Read dan Smith, 1982).
2.      Literasi lisan (verbal): seseorang yang menganut perspektif orasi menganggap bahwa kebutuhan yang paling utama dalam berkomunikasi adalah berbicara dan mendengarkan. Verbal yaitu berbicara dan menulis, mendengarkan dan membaca.
3.      Literasi terhadap teks tertulis (cetakan): Digambarkan sebagai aktivitas dan keterampilan yang berhubungan secara langsung dengan teks yang tercetak, baik melalui bentuk pembacaan maupun penulisan.
Sebuah Appetizer dalam menulis Akademik Elemen
v  Cohesion (kohesi): Gerakan halus atau “aliran” antara kalimat dan paragraph.
v  Clarity (kejelasan): Makna dari apa yang anda niatkan untuk berkomunikasi secara jelas.
v  Logical order (urutan logis): Mengacu pada urutan logis dari informasi.  Dalam penulisan akademik, penulis cenderung bergerak dari umum ke khusus.
v  Consistency (konsisten): Konsisten mengacu pada keseragaman gaya penulisan.
v  Unity: pada sederhana, kesatuan mengacu pada pengecualian informasi yang tidak secara langsung berhubungan dengan topic yang dibahas dalam paragraph tertentu.
v  Conciseness (keringkasan) adalah ekonomi dalam penggunaan kata-kata.  Tulisan yang bagus dengan cepat sampai ke titik dan menghilangkan kata yang tidak perlu dan tidak perlu pengulangan (redundancy or dead wood).  Pengecualian dari informasi yang tidak perlu mempromosikan persatuan dan kesatuan.
v  Completeness (kelengkapan): sementara informasi berulang-ulang atau tidak perlu harus dihilangkan, penulis memiliki untuk memberikan informasi penting mengenai suatu topic tertentu.  Misalnya, dalam definisi cacar air (chicken pox), pembaca akan mengharapkan untuk mengetahui bahwa itu adalah penyakit terutama anak-anak yang ditandai dengan ruam.
v  Variety ( ragam): membantu pembaca dengan menambahkan beberapa “bumbu” untuk teks.
v  Formality (formalitas): Akademik menulis adalah formal dalam nada.  Itu berarti bahwa kosakata canggih dan struktur tata bahasa yang digunakan.  Selain itu, penggunaan kata ganti ‘I’ dan kontraksi dihindari.


Key Hyland (2006) pada Literasi
§  Literasi adalah sesuatu yang kita lakukan.
§  Hamilton (1998), seperti dikutip dalam Hyland (2006:21), melihat keaksaraan sebagai kegiatan yang terletak diinteraksi antara manusia.
§  Hyland Furhter berpendapat: “melek akademik menekankan bahwa cara kita menggunakan bahasa, disebut sebagai praktik keaksaraan, berpola oleh lembaga social dan hubungan kekuasaan”.
§  Keberhasilan akademik berate representing diri anda dengan cara dihargai oleh disiplin anda, mengadopsi nilai-nilai, keyakina, dan identitas yang mewujudkan wacana akademik.
§  Rujukan literasi terus berevolusi, sedangkan rujukan linguistic relative konstan.
§  Studi literasi tumpang tindih (overlapping) dengan objek studi budaya (culture studies) dengan dimensinya yang luas.
§  Pendidikan yang berkualitas tinggi PASTI menghasilakn literasi berkualitas tinggi, dan juga sebaliknya.
§  Reading, writing, arithmetic, and reasoning = modal hidup
§  Orang multiliterat mampu berinteraksi dalam berbagai situasi.
§  Masyarakat yang tidak literat tidak mampu memahami bagaiman hegomoni itu diwacanakan lewat media masa.
§  Pengajaran bahasa harus mengajarkan keterampilan berpikir.
Poin penting dalam “Rekayasa Literasi”
Ø  Literasi adalah praktik cultural yang berkaitan dengan persoalan social politik yang berkaitan dengan persoalan sosila politik.
Ø  Definisi baru literasi terus menjamur sesuai dengan tuntutan “zaman edan” sehingga tuntutan mengenai perubahan mengajaran pun bisa dihindari.
Ø  Model literasi ala Freebody dan Lukas (2003): memecahkan kode teks, berpartisipasi dalam makna teks, menggunakan teks fungsional, kritis menganalisis dan mengubah teks.
Ø  Prof. Alwasilah meringkas lima ayat diatas menjadi: memahami, melibati, menggunakan, manganalis, menstransformasi.
Ø  Ujung tombak pendidikan literasi adalah GURU Artikel Baru Fitur: komitmen professional, sawit terhadap komitmen ETIS, pengembangan strategi analitis dan reflektif, efikasi diri, pengetahuan kepemilikan modal studi menjabarkan, dan keterampilan literasi dan numerasi (Cole dan Chan: 1994 dikutip bahasa dari Alwasilah 2012).
Ø  Rekayasa literasi adalah upaya yang disengaja dan sistematis untuk menjadikan manusia terdidik dan berbudaya lewat penguasaan bahasa secara optimal.
Ø  Penguasaan bahasa adalah pintu masuk menuju ke pendidikan dan pembudayaan.  4 pada dimensi rekayasa literasi: linguistic, kognitif, sosiokultural, dan perkembangan.
Ø  Rekayasa literasi= merekayasa pengajaran membaca dan menulis dalam empat dimensi tersebut.
Ø  Kern (2003): melek mengacu pada “learnedness umum dan keakraban dengan sastra”.
Ø  Orang literat tidak sekedar berbaca tulis tetapi terdidik dan mengenal sasta.
Lemahnya apresiasi sastra dikalangan siswa disebabkan oleh pendekatan yang memisahkan bahasa dan sastra, alih-alih pendekatan language arts.  Pengajaran apresiasi sastra, bukannya tata bahasa, berkontribusi dalam pemupukan kemampuan menulis siswa.  Secara nasional, kurang dari 40% guru bahasa Inggris yang memiliki kompetensi memadai untuk mengajar.  Mengajarkan literasi berarti mengajarkan kepekaan seksual dan cultural lintas kelompok dan lembaga social.  Mengajarkan literasi pada intinya menjadikan manusia yang secara fungsional mampu membaca dan menuis,terdidik, cerdas, dan menunjukkan apresiasi tinggi terhadap sastra.  Apresiasi siswa terhadap sastra masih lemah karena pengajaran mereka yang didapat lebih menekankan aspek afektif dan pengalaman.  Menusia literat adalah individu yang mendapatkan akses kepada ilmu pengetahuan melalui buku dan meteri tulis lainnya.
Jadi, pengajaran bahasa harus lebih ditingkatkan lagi, agar siswa mengetahui apa arti literasi yang sebenarnya.  Orang literat adalah orang yang bukan sekedar bisa berbaca-tulis saja, melainkan juga harus terdidik dan mengenal sastra.  Teks, konteks, dan pembaca adalah titik keberangkatan dalam pencarian untuk pembentukkan makna.  Orang literat harus mengetahui hubungan teks, konteks, dan pembaca, karena itu andalah cara mengenal sastra.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

a space for comment and critic