Dunia
mengenal Indonesia dari berbagai macam hal.
Korupsi bukan lagi satu-satunya cover Indonesia di mata dunia. Bali dimana salah satu pemain terbaik dunia
Cristiano Ronaldo berkunjung untuk menanam pepohonan mangrove beberapa tahun
yang lalu pun bukan lagi satu-satunya mahkota Indonesia di mata dunia. Bahkan negeri mutiara hitam yang dikenal
sebagai papua dengan kekayaan alam yang dimilikinya pun bukan lagi satu-satunya
magnet Indonesia. Indonesia merupakan
negara dengan jumlah muslim terbanyak di dunia dan mengalahkan negara-negara
timur-tengah yang notabene keislamannya lebih kental. Berdasarkan artikel dalam forum.kompas.com yang di terbitkan pada
tanggal 5 Agustus 2013, jumlah penduduk muslim di Indonesia mencapai 182.570.000 orang. Sedangkan posisi kedua dan ketiga diduduki
oleh Pakistan dan India dengan 134.480.000 dan 121.000.000 orang. Itulah cover Indonesia yang terbaru sebagai
negara muslim terbanyak.
Islam mengajak manusia untuk
selalu berbuat kebaikan dan menjauhi keburukan.
Namun jumlah muslim Indonesia yang fantastis ini tidak selaras dengan
prinsip islam tersebut. Banyak kekacauan
terjadi dimana-mana dan tentunya itu bukan termasuk ajaran islam dalam kitab
sucinya, Al-quran. Pada surat Al-Hasyr ayat 18 pun telah sangat jelas
dipaparkan tentang kewajiban menjauhi larangan-larangan dan melaksanakan
perintah-perintah sebagai tanda ketaqwaan.
“Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dan hendaklah Setiap diri memperhatikan apa yang telah
diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah,
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”, itulah seruan
perintah dalam Ayat tersebut. Apabila
Indonesia dengan muslim terbanyak ini sangat berpedoman kepada ayat tersebut
maka tidak akan ada lagi kekacauan dan keributan dalam masyarakat.
Masih sangat teringat jelas dalam
benak seluruh masyarakat Indonesia perihal tragedi-tragedi terorisme yang
memakan korban begitu banyaknya. Bom
Bali 2002 yang lebih dikenal sebagai bom Bali I menimbulkan korban yang cukup
banyak. Sekitar 200 korban jiwa dan 200
korban luka-luka muncul kepermukaan akibat tragedi ini. Pada tahun 2003 aksi terorisme terjadi di
hotel JW Marriot melalui bom bunuh diri selayaknya pada bom Bali. Satu tahun kemudian Indonesia kembali ramai
oleh aksi terorisme dengan meledaknya bom di depan Kedutaan Besar
Australia. Tragedi ini hanya memakan 20
orang dimana 11 orang merupakan warga Australia. Bom Bali kembali terjadi pada tahun 2005 dan
menewaskan sedikitnya 22 orang. Bom
Cirebon pada tahun 2011 menjadi sebuah penegasan bahwa Indonesia dengan muslim
terbanyak ini memiliki level kekacauan yang begitu tinggi.
Aksi ini berkedok jihad yang
dibuktikan dengan tempat ledakan yang kebanyakan merupakan tempat-tempat
hiburan dan tempat bagi penduduk agama lain selian islam berkumpul. Sekali lagi apabila masyarakat Indonesia
berpegangan pada kitab sucinya, maka tidak akan ada hal-hal demikian. Seperti
yang tertera dalam surat Al-baqarah ayat 256. “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam);
Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu
Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka
Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak
akan putus dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” Jadi tidak diragukan lagi bahwa kerukunan
beragama adalah perintah islam. Lalu
mengapa itu semua bisa terjadi dimana jumlah umat islam begitu banyak? Apa
hampir semua umat islam di negeri ini tidak lagi menghiraukan perintah dan
kewajibannya? Pertanyaan yang pantas
diajukan kepada negeri yang dulu dikenal sebagai macan Asia.
Masalah-masalah keharmonisan
inilah yang menjadi fokus utama dalam artikel yang berjudul “Classroom Discourse to
Foster Religious Harmony”. Professor A. Chaedar
Alwasilah menyampaikan pendapat-pendapatnya melalui artikel ini dalam usaha
pencarian solusi masalah keharmonisan masyarakat. Penjelasan-penjelasan pada paragraf
selanjutnya akan menjelaskan lebih rinci mengenai pandangan-pandangan Professor A. Chaedar
Alwasilah tersebut.
Suatu negara
akan sangat berharap kepada generasi penerusnya guna memimpin negara tersebut
pada masa yang akan datang. Generasi
penerus ini adalah mereka yang saat ini sedang menempuh bangku sekolah dan
kuliah. Hal serupa terjadi pada
Indonesia yang sangat berharap generasi penerus bangsa memiliki kualitas yang
lebih dari pendahulunya. Professor A. Chaedar
Alwasilah sangat menyayangkan insiden-insiden keributan juga tawuran antar
pelajar dan masalah-masalah keharmonisan sosial lainnya. Apabila kondisi tetap seperti saat ini, maka
tidak akan pernah didapatkan generasi-generasi penerusu yang berkualitas
tinggi. Fakta ini merupakan sebuah
penyakit sosial seperti pendapat Professor A. Chaedar Alwasilah dalam artikelnya.
Realita
mengenai generasi penerus bangsa yang sepertinya sedikit menjurus menuju
keterpurukan hanyalah salah satu rempah-rempah dari artikel Professor A. Chaedar Alwasilah. Terdapat satu hal tersisa yang menjadi fokus
dalam masalah sosial pada artikel “Classroom Discourse to Foster Religious Harmony”. Keharmonisan beragama diantara masyarakat merupakan
fokus itu.
Professor A. Chaedar Alwasilah berargumen bahwa tokoh
utama yang berperan sebagai malaikat penolong adalah para pendidik. Jadi dapat dikatakan seorang pendidiklah
penolong suatu negara agar dapat menjadi lebih baik pada masa yang akan
datang. Tugas berat harus ditopang oleh
pundak para pendidik, karena tanggungjawab besar untuk menjadikan negara lebih
baik pada masa depan melalui generasi penerus bangsa ada pada tangan mereka. Pengajar harus sebisa mungkin membuat para pelajar
berkualitas juga tidak memikirkan lagi tawuran dan keributan antar pelajar.
Dalam artikel
karya Professor A. Chaedar Alwasilah ini tidak hanya menyampaikan pendapat
mengenai masalah-masalah sosial di Indonesiaa.
Namun juga berusaha mencari solusinya.
Professor A. Chaedar Alwasilah berpendapat bahwa ada
beberapa cara guna mengatasi masalah ini.
Solusi pertama ialah tentang peran penting pengajar yang telah dibahas
pada paragraf sebelumnya. Solusi kedua
merupakan pengajaran keharmonisan beragama sedini mungkin. Ini berarti keharmonisan beragama harus ditanamkan
sejak pelajar duduk di bangku sekolah dasar.
Alasannya umum
seperti kebanyakaan orang katakan.
Peserta didik dalam usia sekolah dasar lebih mendukung untuk
diajarkannya keharmonisan beragama ini.
Usia sekolahan ini aadalah fase dimana masyarakat dapat berinteraksi
dengan teman sebayanya dalam pergaulan sehari-hari. Seperti contoh saling menghormati, menolong,
dan berbagi cerita. Bahkan Professor A. Chaedar Alwasilah
menyebutkan usia sekolah adalah usia dimana masyarakat sopan dan santun kepada
sesama anggota masyarakat .
Indonesia
dengan budaya yang begitu banyaknya harus menyediakan fasilitas sekolah dalam
mendukung pergaulan antar peserta didik yang sudah dapat dipastikan mereka
berasal dari budaya yang berbeda-beda juga.
Budaya mereka akan menentukan pemikirannya. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa
sekolah harusnya menjadi sarana untuk peer interactions. Professor A. Chaedar Alwasilah menganggap keharmonisan
sosial dimulai dari peer interactions yang terjadi disekolah. Indikator dapat melalui diskusi dengan cara
yang sopan, berpendapat, berargumen dalam persetujuan atau pertidaksetujuan,
dan lain-lain.
Kembali lagi Professor A. Chaedar Alwasilah
menuntut para pendidik untuk pemecahan masalah ini. Guna menciptakan keharmonisan sosial, maka
pendidik harus mimimpin dan mengawasi seluruh pergaulan peserta didik di
sekolah. Hal ini bertujuan agar peserta
didik dapat bergaul dengan cara yang benar dan dapat menunjang terbentuknya
keharmonisan tersebut. Peserta didik
akan menyadari betapa pentingnya bersosial dan mereka pun dapat menyadari
pergaulan adalah kunci sukses berkarir.
Dengan kata lain hubungan baik dengan sesama adalah kunci dari semuanya,
ketika hubungan tidak lagi berjalan baik maka konflik akan bermunculan.
Kasus-kasus
terorisme seperti yang dijelaskan di atas merupakan contoh nyata tidak
harmonisnya masyarakat. Banyaknya aksi
bom bunuh diri juga merupakan bukti bahwa umat beragama di negeri ini tidak
harmonis. Sesuatu yang lebih
mengkhawatirkan adalah tempat dimana aksi-aksi tersebut terjadi. Terorisme terjadi di tempat peribadahan uamt
beragama lainnya. Seperti contoh bom
bunuh diri di gereja di Surakarta. Umat
islam di negeri ini tidak pernah berpikir bagaimana jika mesjid mereka
dibom. Hal-hal seperti inilah yang memunculkan
ketidakpercayaan antar masyarakat.
Professor A. Chaedar Alwasilah memperkuat argumennya
dengan menyertakan hasil penelitian Apriliaswati pada tahun 2011. Penelitian ini menyebutkan hal yang sama
seperti apa yang telah Professor A. Chaedar Alwasilah katakan bahwa interaksi di
kelas akan membantu interaksi atau hubungan sosial yang harmonis. Pada akhirnya baik Professor A. Chaedar Alwasilah
maupun Apriliaswati berpendapat bahwa pendidiklah kuncinya. Para pendidik harus sebisa mungkin mengatur
pembelajaran di kelas secara efektif. Hal
ini dikeranakan target dari usaha pembentukan keharmonisan sosial adalah
peserta didik sekolah dasar yang belum begitu bisa memberikan alasan alasan
dalam pendapatnya. Namun untuk sekedar
menyatakan persetujuan atau pertidaksetujuan dapat mereka lakukan dengan cara
yang santun. Oleh Karena itu pendidik
berperan penting untuk merealisasikannya.
Professor A. Chaedar Alwasilah ingin menyampaikan kepada
masyarakat terutama institut-institut pendidikan juga termasuk didalamnya
pendidik akan pentingnya pendidikan.
Pendidikan bukan hanya melatih siswa untuk cakap dalam bidang
keilmuannya saja akan tetapi juga harus dapat mengembangkan kemampuan peserta
didik dalam bergaul guna menciptakan lingkungan yang harmonis.
Namun sangat disayangkan pendidikan Indonesia gagal
untuk merealisasikan hal tersebut. Professor A. Chaedar Alwasilah
berpendapat bahwa para birokrat-birokrat pendidikan telah gagal dan lebih
parahnya mereka memiliki perilaku yang tidak baik. Hal ini tentunya tidak selaras dengan usaha
mempromosikan keharmonisan sosial dalam masyarakat. Professor A. Chaedar Alwasilah juga menegaskan bahwa
sekolah-sekolah harus memberikan kesempatan pada siswa nya untuk dapat
berinteraksi dan bergaul dengan siswa dari agama dan budaya berbeda. Bahkan harusnya setiap institut pendidikan
menyediakan tempat peribadahan bagai semua peserta didik yang notabene terdiri
dari berbagai macam agama.
Terdapat
beberapa klarifikasi mengenai pendapat Professor A. Chaedar Alwasilah. Interaksi antar peserta didik di dalam kelas
dirasa sudah sangat erat. Bukti kuatnya
adalah ketika peserta didik hendak menceritakan kegiatan-kegiatannya
sehari-hari. Orang pertama yang mereka
ceritakan pastinya adalah teman sebaya mereka di kelas, bahkan kedua orang
tuanya pun bukan yang pertama. Mungkin Professor A. Chaedar Alwasilah
lupa atau bahkan kurang memahami apa itu tawuran atau bentrokan antar pelajar
yang terjadi di masyarakat. Pelaku dari
tawuran adalah mereka yang bersekolah dari sekolah yang berbeda. Misalkan SMAN 1 Kuningan bentrok dengan SMAN
2 Kuningan, tidak masuk akal ketika siswa dalam satu sekolah bentrok dengan
teman sesekolahnya. Jadi keadaan saat
ini memang benar interaksi peserta didik di dalam kelas sudah sangat erat dan
tidak perlu lagi dipusingkan. Dengan
demikian istilah yang disebut “Classroom Discourse” tidak akan berdampak
apapun, bahkan tidak akan merubah tradisi tawuran ini. Bahkan Classroom Discourse ini akan semakin
erat apabila mereka menyerang sekolah lain.
Professor A. Chaedar Alwasilah juga mengatakan bahwa
keharmonisan sosial dan beragama harus ditanamkan sedini mungkin, yaitu dimulai
sejak sekolah dasar. Namun Professor A. Chaedar Alwasilah
lupa akan adanya faktor lain, yaitu lingkungan.
Sebagaimana yang terjadi di masyarakat pelaku tawuran dan bentuk-bentuk
ketidakharmonisan lainnya adalah mereka yang sudah meranjak dewasa atau paling
tidak remaja, entah itu pelajar sekolah menengah pertama atau atas. Seberapa keraspun pendidik menanamkan
pentingnya keharmonisan antar masyarakat, maka akan percuma. Akan lebih sempurna apabila peserta didik pun
diajarkan bagaimana merespon lingkungan.
Tawuran
bukan hanya sekedar insiden belaka.
Terdapat sejarah yang menyelimutinya dan itu yang menyebabkan sulitnya
menghilangkan tradisi pelajar ini. Hanya
sekedar bersenjatakan Classroom discourse, maka tiada hasil yang akan didapat. Professor A. Chaedar Alwasilah mungkin tidak mengetahui
film jepang yang berjudul “Crows Zero”.
Apabila ditonton secara seksama, film yang disutradarai oleh Toyoda Toshiaki pada tahun
2007 ini memberikan pesan bahwa tawuran dimulai sejak masa lalu dimana dendam
masih melekat. Oleh sebab itu para alumni
sebuah sekolah akan mendoktrin adik-adik kelasnya untuk selalu bermusuhan
dengan sekolah yang dimaksud. Ini
dikarenakan menyangkut harga diri dan martabat dari sekolah mereka.
Ilustrasi yang akan
dipaparkan dalam paragraf ini mungkin dapat membantu Professor A.
Chaedar Alwasilah sebagai solusi permasalahan keharmonisan ini. Target dari Professor A. Chaedar Alwasilah adalah
menanamkan Classrom Discourse sedini mungkin.
Ini memang baik, namun tidak cukup.
Setelah lulus dari sekolah dasar peserta didik akan menginjakkan kakinya
di sekolah berbeda, yaitu sekolah menengah pertama yang tentunya dengan sejarah
dan pergaulan yang berbeda. Begitu pun
ketika mereka lulus dari sekolah menengah pertama pastinya akan berlanjut ke
sekolah menengah atas. Classroom
Discourse akan tetap diajarkan namun tidak akan bisa menghentikan tradisi
tawuran dan bentrokan. Faktor
lingkunganlah yang sangat berperan dalam hal ini. Peserta didik dapat dipastikan akan
mendapatkan doktrin dari para alumni mengenai permusuhan sekolahnya dengan
sekolah lain dan membujuk untuk berperang dalam tawuran. Alasanya adalah demi harkat martabat
sekolah. Pihak sekolah harus bekerja
sama dengan kepolisian guna membuat surat perdamaian yang akan ditandatangani
oleh kedua belah pihak yang saling mendendam, karena unutuk memutuskan relasi
alumni dan peserta didik adalah mustahil.
Hal ini selayaknya dalam film “Crows Zero” yang dapat damai dengan
adanya surat atau perjanjian perdamain.
Classroom Discourse dapat diakatakan sebagai langkah yang sia-sia karena
tidak tepat sasaran tembak.
Ketika
langkah-langkah dalam ilustrasi tersebut dapat direalisasikan maka tawuran sedikit
demi sedikit akan terlupakan.
Berdasarkan artikel Tempo.co yang
diterbitkan pada rabu 20 November 2013, tahun lalu jumlah insiden tawuran di ibu kota
Jakarta saja sudah mencapai 229 kasus dan menyebabkan 19 pelajar tewas. Sudah cukup korban yang berjatuhan akibat
tawuran, kali ini adalah waktu bagi seluruh masyarakat untuk memerangi tradisi
itu dengan langkah-langkah yang tertera pada paragraf sebelumnya.
Professor A.
Chaedar Alwasilah berpendapat bahwa Classroom Discourse terdiri juga dari
interaksi antar siswa berbeda agama.
Salah satunya dengan disediakannya tempat ibadah masing-masing agama
guna menciptakan keharmonisan beragama itu sendiri. Ada satu fakta yang terlupakan disini. Rasanya mustahil membangun tempat peribadahan
masing-masing agama apabila hanya ada satu agama dalam satu lembaga
pendidikan. Adanya pesantren-pesantren
dan juga sekolah-sekolah Kristen adalah penyebabnya. Di dalam sekolah umum pun hanya segelintir
orang yang beragama non-islam. Tidak
akan ada cara untuk melihat umat agama lain beribadah dan menimbulkan rasa
hormat antar sesama jika keadaan demikian.
Teorisme
di Indonesia dapat dikatakan sebagai sebuah perang agama. Tidak hanya itu, aksi terorisme mencoreng
nama islam sebagai sebuah mayoritas di Indonesia padahal tidak semua umat islam
sebusuk para terorisme yang berkedokan aksi jihad ini. Memang sangat benar apabila setiap lembaga
pendidikan menyediakan tempat peribadahan dari masing-masing agama. Namun masalahnya di Indonesia setiap agama
memiliki lembaga pendidikan sendiri. Hal
ini membuka peluang konflik-konflik antar agama untuk bermunculan di
Indonesia. Fakta inilah yang harus dipahami
betul oleh Professor
A. Chaedar Alwasilah dalam usahanya guna memperbaiki keharmonisan umat
beragama di Indonesia.
Berdasarkan
Globe Asia Magazine 2008 tercatat beberapa universitas Kristen ternama berada
dan beroperasi di Indonesia. Sebut saja
Universitas Tarumanagara, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Universitas Katolik Parahyangan, Universitas Kristen Maranatha, Satya Wacana, dan Petra
Christian University. Jumlah ini belum
termasuk universitas-universitas Kristen negeri lainnya. Selain itu berdasarkan sumber yang sama,
jumlah sekolah Kristen pun cukup menjamur.
SMU Kristen 1 Penabur Jakarta, SMU Kristen 3 Penabur, SMU Santa Ursula,
SMU Aloysius 1 Bandung, dan SMU ST Angela Bandung merupakan beberapa dari
sekian banyaknya sekolah-sekolah Kristen di Indonesia. Fakta yang lebih mencengangkan lagi adalah ketika
jumlah pondok pesantren begitu menjamur di Indonesia. Berdasarkan Republika.co.id jumlah pondok pesantren menyentuh angka 25.000 pondok pesantren.
“Bagaimana keharmonisan umat beragama dapat tercipta ketika jumlah
sekolah Kristen dan pesantren-pesantrn Islam saling berlomba-lomba dalam hal
jumlah?” Pertanyaan yang patut
dipikirkan oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia terutama Professor A.
Chaedar Alwasilah. Indonesia sungguh
sangat luas, terbentang berpuluh-puluh gunung dan lautan yang begitu luas pula. Jika hanya berpegangan kepada Classroom
Discourse, tiada hasil yang diperoleh secara maksimal.
Satu
tahun lalu sebuah ajang perlombaaan bagi seluruh perguruan tinggi Islam di
Indonesia terlaksana sukses. Di dalamnya
tedapat pula sekolah tinggi Islam, Institut Islam, dan juga universitas
Islam. Acara ini dikenal dengan ajang
pionir dan Banten mendapatkan kepercayaan untuk menjadi tuan rumahnya. Tercatat sekitar 53 perguruan tinggi Islam
ikut serta dalam acara tersebut. Jumlah itu
belum dapat dikatakan sebagai jumlah total perguruan tinggi Islam di Indonesia,
karena terdapat beberapa perguruan tinggi Islam lainnya yang berhalangan untuk
berkompetisi. Ini kembali menjadi sebuah
bukti bahwa jumlah perguruan tinggi Islam dan Kristen saling bersaing untuk
mendapatkan gelar perguruan tinggi yang paling menjamur.
Memang
sangat brilian pandangan dari Professor A. Chaedar Alwasilah.
Keharmonisan sosial terutama umat beragama sangat ditentukan oleh
pengertian dari masing-masing anggota agama tersebut. Ketika mereka saling hormat dan mendukung,
maka tidak akan ada lagi perang agama dalam bentuk terosisme atau bom bunuh
diri di gereja dan bahkan di masjid seperti yang telah terjadi di Cirebon
beberapa tahun yang lalu. Sikap saling
hormat dan menghargai akan muncul ketika perasaan saling mengerti muncul dan
tumbuh subur dalam benak masyarakat. Sebagaimana
Professor A.
Chaedar Alwasilah samapaikan bahwa perasaan saling mengerti ini mustahil
terealisasikan jika antar umat beragama tidak mengetahui satu sama
lainnya. Mereka tidak mengetahui cara
peribadahan umat beragama lain, mereka pula tidak mengetahui kesamaan-kesamaan
mereka Karena pada dasarnya mereka adalah sama dan hanya satu hal yang
membedakannya. Agama itu sendiri. Lembaga-lembaga pendidikan hendaknya
mendirikan tempat peribadahan bagi seluruh umat beragama. Entah itu gereja, masjid atau tempat
peribadahan lainnya. Professor A.
Chaedar Alwasilah menyampaikan itu semua, namun lupa akan satu hal yang sangat
logis. Siapa yang akan beribadah di
geraja ketika peserta didik hanya terdiri dari muslim? Itu yang harus dipikirkan seksama.
Pesan
yang hendak disampaikan oleh Professor A. Chaedar Alwasilah dalam menciptakan keharmonisan beragama
adalah mustahil selama perguruan tinggi Islam dan Kristen tetap beroperasi,
juga selama sekolah Kristen dan pondok pesantren masih ada. Ini memang urusan pemerintah. Akan tetapi ketika umat Kristen dapat saling
bergaul dalam satu naungan lembaga pendidikan dengan umat Islam, itulah waktu
bagi keharmonisan beragama akan tumbuh dengan sendirinya. Dengan kata lain pemerintah harus
menghapuskan perguruan tinggi Islam dan Kristen, pemerintah juga harus
menghapuskan sekolah Kristen dan pondok-pondok pesantren. Memang akan banyak pro dan contra
bermunculan, tapi semua itu resiko yang harus diambil guna menumbuhkan
keharmonisan beragama dan untuk menutup kemungkinan orang-orang yang berkedok
jihad melakukan aksi terorismenya.
References
QS.Al-Hasyr. (59) : 18
QS.Al-Baqarah. (02) : 256
Forum.kompas.com
Republika.co.id
Ciricara.com
Tempo.co
Tempo.co
Luar biasa.. Argumen yang sangat berani..
BalasHapus