Critical review
Dunia
pendidikan seolah menjadi taman Firdaus bagi perspektif masyarakat. Mendengarnya
saja menjadi sensasi tersendiri. Siapa yang tak tergoda? Dengan kesempatan
meneguk sungai-sungai pengetahuan, bermukim di istana-istana kokoh dengan kaum
intelektual, bertemu peri-peri kecil dengan paradigma yang serupa, dan berbaur
dengan golongan latar belakang yang berbeda. Di sinilah surganya ilmu, tak
hanya titisan para petinggi saja yang ikut merasakannya, tapi semua bisa
merasakan harumya pendidikan. Dengan
pendidikan, harapan besar yang diperoleh adalah untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa.
Sesuai
dengan apa yang menjadi tujuan pendidikan dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945
(versi amandemen): (1) pasal 31, ayat 3 menyebutkan , “pemerintahan mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan
nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang”. Dengan
mencerdaskan kehidupan bangsanya, kita bisa hijrah ke strata yang lebih tinggi.
Kesadaran akan arti pentingnya pendidikan akan menentukan kualitas masa
depan masyarakatnya, oleh karena itu
bangunan pendidikan harus direkab sedemikian rupa dengan pengembangan kurikulum
sana-sini dan pengelolaan guru dalam kelas.
Kondisi
pendidikan di Indonesia sendiri, perlu adanya pembenahan. Melihat masih
banyaknya kesalahan dalam sistem pendidikan ini, membuat pendidikan di
Indonesia di pandang sebelah mata. Dalam pembahasan kali ini, akan dibahas
masalah detailnya mengenai kondisi carut marut pendidikan Indonesia yang
menyebabkan efek negatif bagi masyarakatnya.
Pada kajian yang dibahas oleh Dr. Chaedar mengenai “Classroom Discourse to Foster Religious Harmony” ada beberapa pengangkatan kasus yang akan
disorot permasalahnnya, yaitu mengenai “kualitas
pendidikan di Indonesia; Pentingnya interaksi teman sebaya di lingkungan pendidikan;
konflik sosial, budaya dan agama akibat salah pendidikan; kurangnya pemerataan
ajaran pendidikan yang sesuai, khususnya agama; dan propaganda guru yang lemah”.
Kasus-kasus yang diangkat ini menjadi sebuah cambuk bagi masyarakat, dimana
perlu pengobatan lebih lanjut mengenai pendidikannya.
Mengenai pendidikan,
dalam kajian ini membahas tentang kualitas
pendidikan di Indonesia. Sungguh ironis melihat pendidikan di negara kita
ini, melihat tak sedikitnya masalah yang dihasilkan oleh kaum terpelajar dari
hasil binaan instansi sekolahnya. Perlu diketahui, hasil pendidikan sekarang
ini adalah buah dari pendidikan di sekolah tingkat dasarnya (SD). Sebab salah
satu tujuan pendidikan dasar adalah menyediakan murid-murid nya dengan
kemampuan dasar untuk mengembangkan kehidupan mereka sebagai individu, anggota
komunikasi dan penduduk negara. Kemampuan-kemampuan dasar ini adalah fondasi
untuk pendidikan lebih lanjut, dengan bekal ilmu yang diperoleh diharapkan
dapat diimplementasikan di lingkungan nyatanya.
Dalam memperoleh ilmu
pendidikan, tak jauh dari lingkungan kelas yang ditempatkannya. Lingkungan
kelas juga terkait dengan interaksi teman sebayanya, hal ini yang menjadikan akses
ilmu pendidikan dapat dengan mudah didapat. Ini terkait dengan pembahasan kasus
selanjutnya, yaitu Pentingnya interaksi
teman sebaya di lingkungan pendidikan. Sesuai dengan apa yang dikatakan Dr.
Chaedar bahwa dalam konteks sekolah, teman sebaya bisa menjadi tutor. Hubungan
dimana teman sebaya bisa peduli, berbagi, menolong dan tindakan sopan yang umum
kepada satu sama lain. Ini adalah konsep interaksi teman sebaya menurut Rubin
(2009).
Kasus ini sesuai dengan
penelitian yang disampaikan oleh Apriliawati (2011), yang meyimpulkan bahwa
interaksi teman sebaya dalam kelas adalah mendukungnya “positive civil discourse” diantara murid-murid. positive civil discourse berarti mampu
mengaktifkan masyarakatnya kedalam konteks yang diajarkan disekolahnya. Jadi,
ini adalah salah satu rekayasa pengajaran yang dilakukan oleh kaum
intelektualnya. Jika kaum intelektual mengatur semuanya dengan baik, maka
pendidikan ini sesuai dengan harapan Undang-Undang Dasar.
Pendidikan seyogyanya mampu menciptakan insan
yang memiliki SDM yang unggul dalam science maupun berperilaku. Dalam studi
yang di kemukakan oleh Aprialiawati juga ditegaskan, pendidikan tak
hanya mengembangkan siswanya dalam science, tapi juga dalam kehidupan
sosialnya. Pengembangan science pada siswa sangat diperlukan untuk menjadikan
masyarakat yang berintelektual, ketika kemampuan ini dikembangkan maka akan menghasilkan
manusia yang memanusiakan. Sesuai dengan salah satu bunyi yang dibicarakan oleh
Undang-undang sendiri adalah “meningkatkan
keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, yang diatur dengan undang-undang”. Jika semua
tujuan rencana ini gagal, maka akan berdampak buruk bagi siswanya. Salah
satunya bisa mengakibatkan konflik sosial, budaya dan agama akibat salah
pendidikan, piont ini sesuai dengan pembahasan kasus selanjutnya.
Dalam poin berikutnya, juga akan dijelaskan
tentang kurangnya pemerataan ajaran
pendidikan yang sesuai, khususnya agama. Pendidikan di negara Indonesia
termasuk dalam konteks pendidikan liberal, yaitu bebas mengeluarkan pendapat.
Pendidikan liberal harus memasukkan pengetahuan antar etnis, agama, dan sedikit
bahasa dan budaya. Tanpa menghiraukan apa yang akan dicapainya untuk masa
mendatang, contohnya seperti sekolah untuk mendapatkan suatu pekerjaan (politisi,
insinyur, pembisnis dan sebagainya), tapi ini bertolak belakang dengan
pendidikan di Indonesia. Kurangnya sentuhan ilmu-ilmu lain sebagi pengantar
berperilaku sesuai lingkungan, kepercayaan, dan social. Jadi penegasan yang Dr.
Chaedar katakan adalah, pendidikan liberal bertujuan untuk membebaskan siswanya
dari rabun pengetahuan dan dari perilaku udik. Pada dasarnya, itu penempaan
insan kamil, yaitu orang yang
ideal yang memenuhi kriteria
untuk mengasumsikan setiap pekerjaan
atau penunjukan sebagai warga negara yang demokratis.
Dalam pemerataan ajaran pendidikan yang
kurang sesuai, ini diakibatkan karena propaganda guru yang lemah. Semua sistem
pendidikan dalam kelas dikendalikan oleh guru, guru yang mengelola lingkungan
sekolah. Dari mulai pentransferan ilmu, pendidikan beragama sampai pada
pengajaran tingkah laku. Jika guru tak mampu mengelola kondisi kelas baik di
dalam pendidikan maupun di luar pendidikan, akan mengakibatkan konflik. Kita
bisa lihat dari perkataan Dr. Chaedar mengenai hal ini, bahwa konflik sosial
dan ketidak seimbangan agama harus dikembangkan disekolah sedini mungkin. Itu
adalah hal yang amat penting, bahwa kita memajukan kreatifitas dan perubahan
program untuk mendukung “positive civil discourse” diantara para murid. Jadi
semua pendidikan yang ada di indonesia hampir mutlak kebenarannya di tangani
oleh pendidik, karena pendidik yang mengatur jalannya pendidikan yang berada
dalam ruang kelas. Baik itu dalam lingkup pendidikan, sosial, budaya, maupun
kepercayaan.
Penjelasan itu semua merupakan garis besar yang akan dikritisi lebih
lanjut, dalam “Classroom Discourse to Foster Religious Harmony”. Melihat
potret pendidikan dewasa ini, rupanya menjadi sorotan publik baik media cetak
maupun media elektronik. Bagaimana bisa? Dalam beritanya, kualitas pendidikan
di Indonesia masih terbilang rendah. Pendidikan ini yang akan berpengaruh pada
kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) nya.
Di indonesia saat ini, berdasarkan data United Nations Development Program (UNDP) 2011, Indeks Pembangunan
Manusia (IPM) Indonesia berada di urutan 124 dari 187 negara yang disurvei
dengan indeks 0,67 persen. Sedangkan Singapura dan Malaysia mempunyai indeks
yang jauh lebih tinggi yaitu 0,83 persen dan 0,86 persen. Hal ini yang
dikemukakan oleh Direktur Pendidikan Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional
(Bappenas), Subandi Sardjoko.
Subandi pun melanjutkan,
Indeks tingkat pendidikan tinggi Indonesia juga dinilai masih rendah yaitu 14,6
persen, berbeda dengan Singapura dan Malaysia yang
sudah mempunyai indeks tingkat pendidikan yang lebih baik yaitu 28 persen dan
33 persen. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas pendidikan bangsa masih di bawah
garis merah, tapi bukan ini masalahnya. Sumber Daya Manusia (SDM) yang
terkontaminasi dengan perilaku buruk di instansi sekolahnya lah, yang menjadi
buah bibir sebenarnya. Kita gali permasalahan ini dari awal. Bahwa kualitas SDM
di Indonesia belum mencapai garis “finish” dalam masalah pendidikan, apalagi
jika dilihat bagaimana cara belajar mengajarnya. Awal pendidikan yang diperoleh
adalah di tingkat dasar, karena di sini adalah bekal awal untuk pendidikan
kedepan.
Pendidikan dasar yang
dijelaskan dalam wacana Dr. Chaedar mengatakan, bahwa pembelajaran yang
bermacam-macam menunjukkan bahwa anak lebih suka untuk berinteraksi dengan
pasangan-pasangan mereka. Dalam konteks sekolah, itu dimana pasangan-pasangan
bisa peduli, berbagi, menolong, dan
tindakan sopan yang umum satu sama lain. Dalam pendidikan dasar, fungsi ruang
kelas sendiri untuk mengatur murid-murid untuk hampir setiap hari. Harus mereka
tahu bagaimana mendesain dan memfasilitasi atau memudahkan interaksi kawan
sebayanya yang benar. Mereka harus mengembangkan “positive civil discourse”
sebagai bagian dari pendidikan kewarganegaraan.
Beliau menunjukkan solusi yang benar, dengan
pembuatan kelompok diskusi teman sebaya yang diterapkan di pendidikan dasar.
Tapi melihat ini juga peran guru lebih diutamakan, karena guru yang memegang
kekuasaan penuh dalam kelas. Guru juga seharusnya menanamkan diskusi dua arah, sebagai bahan
ajaran. Di indonesia sendiri merupakan pendidikan berbasis liberal, otomatis
siswa juga bebas mengemukakan pendapat masing-masing. Dengan hal itu, mungkin
semuanya akan terlihat lebih efektif dan efesien.
Lihatlah pembelajaran di kelas
sebagai contoh yang dialami oleh kebanyakan siswa, sepertinya sudah
diseragamkan. Anak duduk rapi, tangan dilipat di meja, mendengarkan guru
menjelaskan. seolah-olah Anak “Dipaksa” mendengar dan mendapatkan informasi
sejak pagi sampai siang, belum lagi ada sekolah yang menerapkan Full Days. Anak
diajarkan cara menyimak dan mendengarkan penjelasan guru, sementara kompetensi
bertanya tak disentuh. Anak-anak dilatih sejak TK untuk diam
saat guru menerangkan, untuk mendengarkan guru. Akibatnya Siswa tidak dilatih
untuk bertanya. Siswa tidak dibiasakan bertanya, akibatnya siswa tidak berani
bertanya. Selesai mengajar, guru meminta anak untuk bertanya. Heninglah suasana
kelas, yang bertanya biasanya anak-anak itu saja.
Kurangnya komunikasi dua arah inilah yang
menyebabkan kualitas pendidikan semakin rendah, dengan kaum intelektual yang
tak bertanggung jawab dengan sistem pengajarannya. Ini menyebabkan siswa jauh
dari pengertian “positive civil discourse” menurut Dr. Chaedar. Karena Indikator
“Positive civil discourse” adalah memasukkan pembelajaran dengan penuh
perhatian, menyumbangkan ide-ide atau opini-opini, menanyakan
pertanyaan-pertanyaan, menyatakan pendapat setuju atau tidak setuju dan
mencapai sebuah persetujuan bersama dalam cara peduli maupun dengan sopan.
Penciptaan
interaksi teman sebaya atau lebih dikenal dengan diskusi, memang sangatlah
penting. Di penyelesaian pendidikan formal mereka, murid-murid memasuki dunia
dimana mereka mampu untuk memelihara hubungan baik untuk kepentingan sukses
individual. pada interaksi teman sebaya murid-murid dilatih dalam pembelajaran
aktif dengan memelihara kontak mata langsung dan mengambil giliran berbicara.
Mereka diajar untuk bagaimana menyumbangkan ide-ide yang bersangkut paut pada
topik diskusi, semuanya aktif meriuhkan suasana kelas. Tapi dalam hal ini tak selamanya
berjalan dengan baik, karena tanpa adanya pengawasan yang tepat dari guru akan
terjadi keributan.
Dalam
tulisan Dr Chaedar mengenai “peer interaction” menunjukkan bahwa beliau lebih
memperkenalkan sisi positif dari metode diskusi ini, dan dengan efek yang akan
diterima di proses kedepannya. Tapi beliau tak menerangkan proses pembangunan
konsep dengan metode ini, seperti bagaimana contoh melakukan diskusi dengan
teman sebaya di kelas dengan suatu kelompok lain. Karena ini penting, untuk
menjaga etika penyampaian pendapat.
Sebagi
contoh yang sukses dengan metode “peer interaction” adalah sekolah kelapa
gading Popay Montessori. Mereka menggunakan metode Montesori yang
dikembangkan oleh DR. Maria Montessori, yaitu kebebasan merupakan sutau elemen
penting dalam membentuk satu kesatuan atau komuniti jika diterapkan bagi anak
dan dalam konsep ruang kelas. Pada akhirnya siswa yang dididik mampu mengekspor
pengetahuannya pada khalayak umum, mereka semua mampu berinteraksi dan membina
hubungan baik dengan sesama rekan sejawatnya.
Dalam
perbandingan, sebuah ketidakmampuan untuk memelihara hubungan baik dapat
merusak seseorang dan dapat dipastikan untuk level yang memang memberikan
konflik sosial pada masyarakatnya. Dengan seperti itu, ini yang dapat
mengakibatkan konflik sosial, budaya dan agama akibat salah
pendidikan. Seperti yang dibicarakan oleh Dr. Chaedar, lagi-lagi masalah itu timbul,
seperti keributan-keributan, percekcokkan antar generasi maupun beda generasi,
dan bentuk kerusakan lainnya yang dialami. Indonesia adalah indikasi dari
penyakit sosial, yaitu kurangnya sikap kepekaan dan peduli terhadap orang lain
dari kelompok yang berbeda.
Apalagi konflik ini terjadi dalam
suasana “peer interaction”, mengingat Indonesia adalah masyarakat heterogen
yang kaya akan etnis, budaya, dan kepercayaan. Dalam pengaturan berbagai
budaya, murid-murid datang dari berbagai etnis, agama dan latar belakang sosial
yang berbeda dan pola pikir mereka adalah paling banyak dibentuk oleh latar
belakang itu. Hal ini yang akan melahirkan perdebatan. Program-program sekolah
harus memfasilitasi interaksi-interaksi pada pasangan dengan sengaja untuk mengembangkan “positive civil
discourse”.
Dalam wacana Dr. Chaedar menjelaskan
tentang konflik sosial, budaya dan agama dalam instansi pendidikan. Beliau
benar adanya telah memberikan solusi tentang konflik-konflik ini dengan
perbaikan para intelektualnya yang bertanggung jawab menangani hal ini. Tapi beliau tidak mengeksplor
tulisannya bagaiman cara cepat untuk menyelesaikan konflik ini ditengah
permasalahan yang kerapkali terjadi. Seperti penanaman nilai spiritual yang
harusnya diterapkan di siswanya sejak dini, lalu pengajaran nilai-nilai sosial.
Setiap agama, pasti memiliki
paradigma keyakinan masing-masing. Di negara Indonesia yang mayoritas beragama
Islam, dilarang untuk saling berselisih satu sama lain sesuai dengan surat
Al-Hujarat ayat 13 “Hai
manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seseorang laki-laki seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal mengenal, sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu
disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu, sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. Bukan hanya Islam saja yang menganjurkan
tentang mengasihi sesama, dalam agama kristen juga sama “Barang siapa tidak
mengasihi, ia tetap dalam maut” (1 Yoh:3:14b).
Dalam pendidikan pun demikian, apa
yang Dr. Chaedar katakan jika konflik sosial dan ketidak seimbangan menyelimuti
dunia pendidikan? Mungkin banyak sekali konflik yang tejadi, walaupun itu
merupakan konflik ringan tapi akan menimbulkan konflik yang lebih berat.
Sebagai contoh dalam diskusi atau “peer interaction” akan mengakibatkan perang,
jika siswanya mengesampingkan nilai spiritual. Jika sesama agama saja melakukan
perang, apalagi dengan perbedaan agama. Mungkin akan terjadi perang dunia ke
III, yang meluluh lantahkan penduduk dunia. Hal ini yang disebut dengan
radicalism.
Bentuk-bentuk radicalism dapat mengganggu kepaduan sosial, dan mungkin
membangkitkan rasa tak saling percaya antara kelompok sosial dan
masyarakat. Sebagai contoh pengalaman
yang penulis rasakan dalam memasuki wilayah masyarakat yang heterogen dengan
etnis, budaya dan agamanya di lingkungan pendidikan Sekolah menengah Atas (SMA)
daerah Tanjung. Banyak sekali latar belakang berbeda yang berbaur di lingkungan
sekolah, baik Islam maupun Kristen, baik jawa, sunda maupun batak. Sampai
sekarang mungkin tak bisa bersatu dengan teguh karena hasutan dari profokator
terdahulu mengenai kelompok yang berbeda. Sifat rasis sudah mereka tanam sejak
dini, alhasil dalam diskusi sekolah terkadang mengalami keributan fatal.
Pengalaman penulis sama dengan yang dikatakan Dr.Chaedar, bahwa keseimbangan
agama harus dikembangkan di sekolah sedini mungkin. Itu adalah hal yang amat
penting bahwa kita memajukan kreatifitas dan perubahan program untuk mendukung
“positive civil discourse” diantara para murid. Tapi ada point yang harus
diperhatikan, sebab konflik ini terjadi karena kurangnya pemerataan ajaran pendidikan yang
sesuai, khususnya agama.
Pengajaran agama seharusnya berjalan seiring
dengan pendidikan lainnya, tapi nyatanya tidak. Apalagi kita yang berada dalam
pendidikan liberal, pendidikan yang bebas mengeluarkan pendapat. Menyutujui
tentang pendapat Dr Chaedar bahwa seharusnya menerapkan berbagai macam
pendidikan, khususnya dalam pendidikan agama. Tapi beliau tidak menerangkan
bagaimana cara mengorganisasi pendidikan liberal itu dengan tepat, apakah
dengan perubahan kurikulum atau tidak atau dengan rekayasa teknik pengajaran
guru di kelasnya. Karena guru juga merupakan salah satu mesin penggerak
pendidikan.
Melihat eksistensi guru dalam pengelolaan
kelas, rupanya belum begitu sempurna. Karena masih banyaknya pembenahan yang
seharusnya dilakukan, mulai dari propaganda
guru yang melemah. Malahan tugas guru sekarang makin bertambah dengan tak
hanya mencerdaskan otak anak bangsa, tapi juga mencerdaskan bagaimana anak
didiknya dapat berperilaku sesuai agama. Karena banyak sekali konflik sosial
dan ketidak seimbangan agama dalam fakta adalah sebuah tantangan untuk pendidik
dalam melakukan hal yang terbaik, untuk mempersiapkan generasi selanjutnya
sebagai pendidik yang demokratis dengan karakter baik yang ditentukan dalam
Hukum Pendidikan Nasional.
Menyimpulkan apa yang dikatakan Dr Chaedar
mengenai masalah pendidik, sangat setuju untuk menambah tugasnya. Tapi walaupun
begitu, terkadang tergantung dengan kebijakan pendidik di setiap instansi
sekolahnya, yang menerapkan cara pengajarannya sesuai dengan kemampuan yang
dimilikinya. Tapi beliau kurang menambahkan solusi untuk masalah ini, mungkin
dengan cara penambahan pelatihan untuk penguasaan kelas dan pendidikan agama.
Sehingga guru dapat menguasai penerapan pendidikan dalam dunia dan akhiratnya.
Jadi dalam kajian yang
dijelaskan Dr Chaedar mengenai “Classroom
Discourse to Foster Religious Harmony”, merupakan peran kelas (isi
dan konteks) sebagai pemusatan berbagai
macam ajaran baik itu ajaran umum maupun ajaran yang membahas tentang
kepercayaan. Kualitas pendidikan pun bisa dilihat dari kualitas pengajarannya,
yang diterapkan di pendidikan dasar. Penerapan metode pengajaran teman sebaya
merupakan metode yang baik dilakukan, tapi pengajaran pendidikan agama juga
perlu diterapkan di lingkungan sekolah, sebagai bahan batasan. Sebab jika tak
mengembangkan nilai-nilai agama akan terjadi konflik sosial, budaya, dan agama
dalam lingkungan sekolah. Ini sebagai peringatan bahwa di Indonesia kurang
pemerataan dalam ajaran pendidikan, khususnya dalam agama. Sehingga mereka
berperilaku rasis dan mengesampingkan SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar
golongan). Ini semua kembali pada pemegang kekuasaan dalam kelas, yaitu kaum
intelektualnya. Jika mereka lemah dalam propaganda di kelas, maka kualitas negara
pun masih akan terlihat seperti
sekarang.
Dalam kajian yang ditulis Dr Chaedar mengenai“Classroom Discourse to Foster
Religious Harmony”, beliau memberikan penekanan pembahasan tentang
pendidikan dalam ruang lingkup umum, tapi jika kita lihat sesuai dengan judul
pembahasannya, beliau hanya memberikan sedikit wejangan dalam tulisannya bahwa
nilai agama itu penting, beliau tak memberikan penerangan lebih dalam mengenai
manfaat atau bagaimana nilai spiritual itu jika dikembangkan dalam ruang kelas.
Hanya sekedar efek buruk yang dijelaskan. Tapi secara keseluruhan memang benar,
kelas memberikan celah kepada kita semua dalam dunia pedidikan, jika tak
dibarengi dengan nilai spiritual mungkin nama PENDIDIKAN menjadi PENJAJAKAN.
REFERENSI
23 Februari 2014
23
Februari 2013
22 Februari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic