We are simple, but no simple impact. Proudly Presents, PBI C 2012. Happy Reading!

Course: Writing and Composition 4

Instructor : Lala Bumela

This website created by : College student from The State Institute of Islamic Studies Syekh Nurjati Cirebon, The Dapartment of English Education 2012.


widgets

Senin, 24 Februari 2014

RETAKNYA TAMAN FIRDAUS DALAM BALUTAN NILAI SPIRITUAL



Critical review 
 

Dunia pendidikan seolah menjadi taman Firdaus bagi perspektif masyarakat. Mendengarnya saja menjadi sensasi tersendiri. Siapa yang tak tergoda? Dengan kesempatan meneguk sungai-sungai pengetahuan, bermukim di istana-istana kokoh dengan kaum intelektual, bertemu peri-peri kecil dengan paradigma yang serupa, dan berbaur dengan golongan latar belakang yang berbeda. Di sinilah surganya ilmu, tak hanya titisan para petinggi saja yang ikut merasakannya, tapi semua bisa merasakan harumya pendidikan.  Dengan pendidikan, harapan besar yang diperoleh adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Sesuai dengan apa yang menjadi tujuan pendidikan dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 (versi amandemen): (1) pasal 31, ayat 3 menyebutkan , “pemerintahan mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang”. Dengan mencerdaskan kehidupan bangsanya, kita bisa hijrah ke strata yang lebih tinggi. Kesadaran akan arti pentingnya pendidikan akan menentukan kualitas masa depan  masyarakatnya, oleh karena itu bangunan pendidikan harus direkab sedemikian rupa dengan pengembangan kurikulum sana-sini dan pengelolaan guru dalam kelas.
Kondisi pendidikan di Indonesia sendiri, perlu adanya pembenahan. Melihat masih banyaknya kesalahan dalam sistem pendidikan ini, membuat pendidikan di Indonesia di pandang sebelah mata. Dalam pembahasan kali ini, akan dibahas masalah detailnya mengenai kondisi carut marut pendidikan Indonesia yang menyebabkan efek negatif bagi masyarakatnya.
            Pada kajian yang dibahas oleh Dr. Chaedar mengenai “Classroom Discourse to Foster Religious Harmony” ada beberapa pengangkatan kasus yang akan disorot permasalahnnya, yaitu mengenai “kualitas pendidikan di Indonesia; Pentingnya interaksi teman sebaya di lingkungan pendidikan; konflik sosial, budaya dan agama akibat salah pendidikan; kurangnya pemerataan ajaran pendidikan yang sesuai, khususnya agama; dan propaganda guru yang lemah”. Kasus-kasus yang diangkat ini menjadi sebuah cambuk bagi masyarakat, dimana perlu pengobatan lebih lanjut mengenai pendidikannya.
            Mengenai pendidikan, dalam kajian ini membahas tentang kualitas pendidikan di Indonesia. Sungguh ironis melihat pendidikan di negara kita ini, melihat tak sedikitnya masalah yang dihasilkan oleh kaum terpelajar dari hasil binaan instansi sekolahnya. Perlu diketahui, hasil pendidikan sekarang ini adalah buah dari pendidikan di sekolah tingkat dasarnya (SD). Sebab salah satu tujuan pendidikan dasar adalah menyediakan murid-murid nya dengan kemampuan dasar untuk mengembangkan kehidupan mereka sebagai individu, anggota komunikasi dan penduduk negara. Kemampuan-kemampuan dasar ini adalah fondasi untuk pendidikan lebih lanjut, dengan bekal ilmu yang diperoleh diharapkan dapat diimplementasikan di lingkungan nyatanya.
            Dalam memperoleh ilmu pendidikan, tak jauh dari lingkungan kelas yang ditempatkannya. Lingkungan kelas juga terkait dengan interaksi teman sebayanya, hal ini yang menjadikan akses ilmu pendidikan dapat dengan mudah didapat. Ini terkait dengan pembahasan kasus selanjutnya, yaitu Pentingnya interaksi teman sebaya di lingkungan pendidikan. Sesuai dengan apa yang dikatakan Dr. Chaedar bahwa dalam konteks sekolah, teman sebaya bisa menjadi tutor. Hubungan dimana teman sebaya bisa peduli, berbagi, menolong dan tindakan sopan yang umum kepada satu sama lain. Ini adalah konsep interaksi teman sebaya menurut Rubin (2009).
            Kasus ini sesuai dengan penelitian yang disampaikan oleh Apriliawati (2011), yang meyimpulkan bahwa interaksi teman sebaya dalam kelas adalah mendukungnya “positive civil discourse” diantara murid-murid. positive civil discourse berarti mampu mengaktifkan masyarakatnya kedalam konteks yang diajarkan disekolahnya. Jadi, ini adalah salah satu rekayasa pengajaran yang dilakukan oleh kaum intelektualnya. Jika kaum intelektual mengatur semuanya dengan baik, maka pendidikan ini sesuai dengan harapan Undang-Undang Dasar.
Pendidikan seyogyanya mampu menciptakan insan yang memiliki SDM yang unggul dalam science maupun berperilaku. Dalam studi yang di kemukakan oleh Aprialiawati juga ditegaskan, pendidikan tak hanya mengembangkan siswanya dalam science, tapi juga dalam kehidupan sosialnya. Pengembangan science pada siswa sangat diperlukan untuk menjadikan masyarakat yang berintelektual, ketika kemampuan ini dikembangkan maka akan menghasilkan manusia yang memanusiakan. Sesuai dengan salah satu bunyi yang dibicarakan oleh Undang-undang sendiri adalah “meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang”. Jika semua tujuan rencana ini gagal, maka akan berdampak buruk bagi siswanya. Salah satunya bisa mengakibatkan konflik sosial, budaya dan agama akibat salah pendidikan, piont ini sesuai dengan pembahasan kasus selanjutnya.
Dalam poin berikutnya, juga akan dijelaskan tentang kurangnya pemerataan ajaran pendidikan yang sesuai, khususnya agama. Pendidikan di negara Indonesia termasuk dalam konteks pendidikan liberal, yaitu bebas mengeluarkan pendapat. Pendidikan liberal harus memasukkan pengetahuan antar etnis, agama, dan sedikit bahasa dan budaya. Tanpa menghiraukan apa yang akan dicapainya untuk masa mendatang, contohnya seperti sekolah untuk mendapatkan suatu pekerjaan (politisi, insinyur, pembisnis dan sebagainya), tapi ini bertolak belakang dengan pendidikan di Indonesia. Kurangnya sentuhan ilmu-ilmu lain sebagi pengantar berperilaku sesuai lingkungan, kepercayaan, dan social. Jadi penegasan yang Dr. Chaedar katakan adalah, pendidikan liberal bertujuan untuk membebaskan siswanya dari rabun pengetahuan dan dari perilaku udik. Pada dasarnya, itu penempaan insan kamil, yaitu orang yang ideal yang memenuhi kriteria untuk mengasumsikan setiap pekerjaan atau penunjukan sebagai warga negara yang demokratis.
Dalam pemerataan ajaran pendidikan yang kurang sesuai, ini diakibatkan karena  propaganda guru yang lemah. Semua sistem pendidikan dalam kelas dikendalikan oleh guru, guru yang mengelola lingkungan sekolah. Dari mulai pentransferan ilmu, pendidikan beragama sampai pada pengajaran tingkah laku. Jika guru tak mampu mengelola kondisi kelas baik di dalam pendidikan maupun di luar pendidikan, akan mengakibatkan konflik. Kita bisa lihat dari perkataan Dr. Chaedar mengenai hal ini, bahwa konflik sosial dan ketidak seimbangan agama harus dikembangkan disekolah sedini mungkin. Itu adalah hal yang amat penting, bahwa kita memajukan kreatifitas dan perubahan program untuk mendukung “positive civil discourse” diantara para murid. Jadi semua pendidikan yang ada di indonesia hampir mutlak kebenarannya di tangani oleh pendidik, karena pendidik yang mengatur jalannya pendidikan yang berada dalam ruang kelas. Baik itu dalam lingkup pendidikan, sosial, budaya, maupun kepercayaan.
Penjelasan itu semua merupakan garis besar yang akan dikritisi lebih lanjut, dalam “Classroom Discourse to Foster Religious Harmony”. Melihat potret pendidikan dewasa ini, rupanya menjadi sorotan publik baik media cetak maupun media elektronik. Bagaimana bisa? Dalam beritanya, kualitas pendidikan di Indonesia masih terbilang rendah. Pendidikan ini yang akan berpengaruh pada kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) nya.  Di indonesia saat ini, berdasarkan data United Nations Development Program (UNDP) 2011, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia berada di urutan 124 dari 187 negara yang disurvei dengan indeks 0,67 persen. Sedangkan Singapura dan Malaysia mempunyai indeks yang jauh lebih tinggi yaitu 0,83 persen dan 0,86 persen. Hal ini yang dikemukakan oleh Direktur Pendidikan Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas), Subandi Sardjoko.
Subandi pun melanjutkan, Indeks tingkat pendidikan tinggi Indonesia juga dinilai masih rendah yaitu 14,6 persen, berbeda dengan Singapura dan Malaysia yang sudah mempunyai indeks tingkat pendidikan yang lebih baik yaitu 28 persen dan 33 persen. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas pendidikan bangsa masih di bawah garis merah, tapi bukan ini masalahnya. Sumber Daya Manusia (SDM) yang terkontaminasi dengan perilaku buruk di instansi sekolahnya lah, yang menjadi buah bibir sebenarnya. Kita gali permasalahan ini dari awal. Bahwa kualitas SDM di Indonesia belum mencapai garis “finish” dalam masalah pendidikan, apalagi jika dilihat bagaimana cara belajar mengajarnya. Awal pendidikan yang diperoleh adalah di tingkat dasar, karena di sini adalah bekal awal untuk pendidikan kedepan.
Pendidikan dasar yang dijelaskan dalam wacana Dr. Chaedar mengatakan, bahwa pembelajaran yang bermacam-macam menunjukkan bahwa anak lebih suka untuk berinteraksi dengan pasangan-pasangan mereka. Dalam konteks sekolah, itu dimana pasangan-pasangan bisa peduli, berbagi, menolong,  dan tindakan sopan yang umum satu sama lain. Dalam pendidikan dasar, fungsi ruang kelas sendiri untuk mengatur murid-murid untuk hampir setiap hari. Harus mereka tahu bagaimana mendesain dan memfasilitasi atau memudahkan interaksi kawan sebayanya yang benar. Mereka harus mengembangkan “positive civil discourse” sebagai bagian dari pendidikan kewarganegaraan.
 Beliau menunjukkan solusi yang benar, dengan pembuatan kelompok diskusi teman sebaya yang diterapkan di pendidikan dasar. Tapi melihat ini juga peran guru lebih diutamakan, karena guru yang memegang kekuasaan penuh dalam kelas. Guru juga seharusnya  menanamkan diskusi dua arah, sebagai bahan ajaran. Di indonesia sendiri merupakan pendidikan berbasis liberal, otomatis siswa juga bebas mengemukakan pendapat masing-masing. Dengan hal itu, mungkin semuanya akan terlihat lebih efektif dan efesien.
Lihatlah pembelajaran di kelas sebagai contoh yang dialami oleh kebanyakan siswa, sepertinya sudah diseragamkan. Anak duduk rapi, tangan dilipat di meja, mendengarkan guru menjelaskan. seolah-olah Anak “Dipaksa” mendengar dan mendapatkan informasi sejak pagi sampai siang, belum lagi ada sekolah yang menerapkan Full Days. Anak diajarkan cara menyimak dan mendengarkan penjelasan guru, sementara kompetensi bertanya tak disentuh. Anak-anak dilatih sejak TK untuk diam saat guru menerangkan, untuk mendengarkan guru. Akibatnya Siswa tidak dilatih untuk bertanya. Siswa tidak dibiasakan bertanya, akibatnya siswa tidak berani bertanya. Selesai mengajar, guru meminta anak untuk bertanya. Heninglah suasana kelas, yang bertanya biasanya anak-anak itu saja.
Kurangnya komunikasi dua arah inilah yang menyebabkan kualitas pendidikan semakin rendah, dengan kaum intelektual yang tak bertanggung jawab dengan sistem pengajarannya. Ini menyebabkan siswa jauh dari pengertian “positive civil discourse” menurut Dr. Chaedar. Karena Indikator “Positive civil discourse” adalah memasukkan pembelajaran dengan penuh perhatian, menyumbangkan ide-ide atau opini-opini, menanyakan pertanyaan-pertanyaan, menyatakan pendapat setuju atau tidak setuju dan mencapai sebuah persetujuan bersama dalam cara peduli maupun dengan sopan.
Penciptaan interaksi teman sebaya atau lebih dikenal dengan diskusi, memang sangatlah penting. Di penyelesaian pendidikan formal mereka, murid-murid memasuki dunia dimana mereka mampu untuk memelihara hubungan baik untuk kepentingan sukses individual. pada interaksi teman sebaya murid-murid dilatih dalam pembelajaran aktif dengan memelihara kontak mata langsung dan mengambil giliran berbicara. Mereka diajar untuk bagaimana menyumbangkan ide-ide yang bersangkut paut pada topik diskusi, semuanya aktif meriuhkan suasana kelas. Tapi dalam hal ini tak selamanya berjalan dengan baik, karena tanpa adanya pengawasan yang tepat dari guru akan terjadi keributan.
Dalam tulisan Dr Chaedar mengenai “peer interaction” menunjukkan bahwa beliau lebih memperkenalkan sisi positif dari metode diskusi ini, dan dengan efek yang akan diterima di proses kedepannya. Tapi beliau tak menerangkan proses pembangunan konsep dengan metode ini, seperti bagaimana contoh melakukan diskusi dengan teman sebaya di kelas dengan suatu kelompok lain. Karena ini penting, untuk menjaga etika penyampaian pendapat.
Sebagi contoh yang sukses dengan metode “peer interaction” adalah sekolah kelapa gading Popay Montessori. Mereka menggunakan metode Montesori yang dikembangkan oleh DR. Maria Montessori, yaitu kebebasan merupakan sutau elemen penting dalam membentuk satu kesatuan atau komuniti jika diterapkan bagi anak dan dalam konsep ruang kelas. Pada akhirnya siswa yang dididik mampu mengekspor pengetahuannya pada khalayak umum, mereka semua mampu berinteraksi dan membina hubungan baik dengan sesama rekan sejawatnya.
Dalam perbandingan, sebuah ketidakmampuan untuk memelihara hubungan baik dapat merusak seseorang dan dapat dipastikan untuk level yang memang memberikan konflik sosial pada masyarakatnya. Dengan seperti itu, ini yang dapat mengakibatkan konflik sosial, budaya dan agama akibat salah pendidikan. Seperti yang dibicarakan oleh Dr. Chaedar, lagi-lagi masalah itu timbul, seperti keributan-keributan, percekcokkan antar generasi maupun beda generasi, dan bentuk kerusakan lainnya yang dialami. Indonesia adalah indikasi dari penyakit sosial, yaitu kurangnya sikap kepekaan dan peduli terhadap orang lain dari kelompok yang berbeda.
            Apalagi konflik ini terjadi dalam suasana “peer interaction”, mengingat Indonesia adalah masyarakat heterogen yang kaya akan etnis, budaya, dan kepercayaan. Dalam pengaturan berbagai budaya, murid-murid datang dari berbagai etnis, agama dan latar belakang sosial yang berbeda dan pola pikir mereka adalah paling banyak dibentuk oleh latar belakang itu. Hal ini yang akan melahirkan perdebatan. Program-program sekolah harus memfasilitasi interaksi-interaksi pada pasangan dengan sengaja  untuk mengembangkan “positive civil discourse”.
            Dalam wacana Dr. Chaedar menjelaskan tentang konflik sosial, budaya dan agama dalam instansi pendidikan. Beliau benar adanya telah memberikan solusi tentang konflik-konflik ini dengan perbaikan para intelektualnya yang bertanggung jawab menangani  hal ini. Tapi beliau tidak mengeksplor tulisannya bagaiman cara cepat untuk menyelesaikan konflik ini ditengah permasalahan yang kerapkali terjadi. Seperti penanaman nilai spiritual yang harusnya diterapkan di siswanya sejak dini, lalu pengajaran nilai-nilai sosial.
            Setiap agama, pasti memiliki paradigma keyakinan masing-masing. Di negara Indonesia yang mayoritas beragama Islam, dilarang untuk saling berselisih satu sama lain sesuai dengan surat Al-Hujarat ayat 13 “Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seseorang laki-laki seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal, sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. Bukan hanya Islam saja yang menganjurkan tentang mengasihi sesama, dalam agama kristen juga sama “Barang siapa tidak mengasihi, ia tetap dalam maut” (1 Yoh:3:14b).
            Dalam pendidikan pun demikian, apa yang Dr. Chaedar katakan jika konflik sosial dan ketidak seimbangan menyelimuti dunia pendidikan? Mungkin banyak sekali konflik yang tejadi, walaupun itu merupakan konflik ringan tapi akan menimbulkan konflik yang lebih berat. Sebagai contoh dalam diskusi atau “peer interaction” akan mengakibatkan perang, jika siswanya mengesampingkan nilai spiritual. Jika sesama agama saja melakukan perang, apalagi dengan perbedaan agama. Mungkin akan terjadi perang dunia ke III, yang meluluh lantahkan penduduk dunia. Hal ini yang disebut dengan radicalism.
Bentuk-bentuk radicalism dapat mengganggu kepaduan sosial, dan mungkin membangkitkan rasa tak saling percaya antara kelompok sosial dan masyarakat.  Sebagai contoh pengalaman yang penulis rasakan dalam memasuki wilayah masyarakat yang heterogen dengan etnis, budaya dan agamanya di lingkungan pendidikan Sekolah menengah Atas (SMA) daerah Tanjung. Banyak sekali latar belakang berbeda yang berbaur di lingkungan sekolah, baik Islam maupun Kristen, baik jawa, sunda maupun batak. Sampai sekarang mungkin tak bisa bersatu dengan teguh karena hasutan dari profokator terdahulu mengenai kelompok yang berbeda. Sifat rasis sudah mereka tanam sejak dini, alhasil dalam diskusi sekolah terkadang mengalami keributan fatal.
Pengalaman penulis sama dengan yang dikatakan Dr.Chaedar, bahwa keseimbangan agama harus dikembangkan di sekolah sedini mungkin. Itu adalah hal yang amat penting bahwa kita memajukan kreatifitas dan perubahan program untuk mendukung “positive civil discourse” diantara para murid. Tapi ada point yang harus diperhatikan, sebab konflik ini terjadi karena kurangnya pemerataan ajaran pendidikan yang sesuai, khususnya agama.
Pengajaran agama seharusnya berjalan seiring dengan pendidikan lainnya, tapi nyatanya tidak. Apalagi kita yang berada dalam pendidikan liberal, pendidikan yang bebas mengeluarkan pendapat. Menyutujui tentang pendapat Dr Chaedar bahwa seharusnya menerapkan berbagai macam pendidikan, khususnya dalam pendidikan agama. Tapi beliau tidak menerangkan bagaimana cara mengorganisasi pendidikan liberal itu dengan tepat, apakah dengan perubahan kurikulum atau tidak atau dengan rekayasa teknik pengajaran guru di kelasnya. Karena guru juga merupakan salah satu mesin penggerak pendidikan.
Melihat eksistensi guru dalam pengelolaan kelas, rupanya belum begitu sempurna. Karena masih banyaknya pembenahan yang seharusnya dilakukan, mulai dari propaganda guru yang melemah. Malahan tugas guru sekarang makin bertambah dengan tak hanya mencerdaskan otak anak bangsa, tapi juga mencerdaskan bagaimana anak didiknya dapat berperilaku sesuai agama. Karena banyak sekali konflik sosial dan ketidak seimbangan agama dalam fakta adalah sebuah tantangan untuk pendidik dalam melakukan hal yang terbaik, untuk mempersiapkan generasi selanjutnya sebagai pendidik yang demokratis dengan karakter baik yang ditentukan dalam Hukum Pendidikan Nasional.
Menyimpulkan apa yang dikatakan Dr Chaedar mengenai masalah pendidik, sangat setuju untuk menambah tugasnya. Tapi walaupun begitu, terkadang tergantung dengan kebijakan pendidik di setiap instansi sekolahnya, yang menerapkan cara pengajarannya sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Tapi beliau kurang menambahkan solusi untuk masalah ini, mungkin dengan cara penambahan pelatihan untuk penguasaan kelas dan pendidikan agama. Sehingga guru dapat menguasai penerapan pendidikan dalam dunia dan akhiratnya.
            Jadi dalam kajian yang dijelaskan Dr Chaedar mengenai Classroom Discourse to Foster Religious Harmony”, merupakan peran kelas (isi dan konteks) sebagai  pemusatan berbagai macam ajaran baik itu ajaran umum maupun ajaran yang membahas tentang kepercayaan. Kualitas pendidikan pun bisa dilihat dari kualitas pengajarannya, yang diterapkan di pendidikan dasar. Penerapan metode pengajaran teman sebaya merupakan metode yang baik dilakukan, tapi pengajaran pendidikan agama juga perlu diterapkan di lingkungan sekolah, sebagai bahan batasan. Sebab jika tak mengembangkan nilai-nilai agama akan terjadi konflik sosial, budaya, dan agama dalam lingkungan sekolah. Ini sebagai peringatan bahwa di Indonesia kurang pemerataan dalam ajaran pendidikan, khususnya dalam agama. Sehingga mereka berperilaku rasis dan mengesampingkan SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan). Ini semua kembali pada pemegang kekuasaan dalam kelas, yaitu kaum intelektualnya. Jika mereka lemah dalam propaganda di kelas, maka kualitas negara pun masih akan terlihat seperti sekarang.
Dalam kajian yang ditulis Dr Chaedar mengenai“Classroom Discourse to Foster Religious Harmony”, beliau memberikan penekanan pembahasan tentang pendidikan dalam ruang lingkup umum, tapi jika kita lihat sesuai dengan judul pembahasannya, beliau hanya memberikan sedikit wejangan dalam tulisannya bahwa nilai agama itu penting, beliau tak memberikan penerangan lebih dalam mengenai manfaat atau bagaimana nilai spiritual itu jika dikembangkan dalam ruang kelas. Hanya sekedar efek buruk yang dijelaskan. Tapi secara keseluruhan memang benar, kelas memberikan celah kepada kita semua dalam dunia pedidikan, jika tak dibarengi dengan nilai spiritual mungkin nama  PENDIDIKAN menjadi PENJAJAKAN.

REFERENSI
23 Februari 2014
23 Februari 2013
22 Februari 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

a space for comment and critic