Toleransi beragama. Ya. Pembahasan
tentang toleransi beragama mungkin pernah kita rasakan dan alami ketika kita
berada di bangku SMP. Saya ingat pembahasan tersebut terdapat pada mata
pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Jika kita perhatikan, sebenarnya pengkajian
pembahasan tersebut dimulai ketika kita duduk di bangku sekolah dasar. Hanya
saja pada saat itu agaknya kita tak menyadari dampaknya secara langsung. Bukan hanya itu, di SLTA sampai di bangku
kuliah pun kita dijejali materi tersebut dengan porsi yang berbeda dari
sebelumnya tentunya. Bahkan pada pancasila kesatu juga tidak dispesifikkan
tuhan yang esa itu sendiri. Hal itu menunjukkan bahwa toleransi itu penting di
kehidupan kita. Seperti yang kita ketahui bahwa manusia itu adalah makhluk
sosial. Jadi, manusia tidak akan pernah bisa hidup sendirian tanpa andil orang
lain. Oleh sebab itulah berinteraksi dengan orang lain merupakan aktivitas
sehari-harinya manusia.
Di Indonesia sendiri, toleransi
merupakan hal yang sangat diperlukan guna menciptakan keharmonisan masyarakat.
Seperti semboyan kita “Bhineka Tunggal Ika” yang artinya yakni meskipun
berbeda-beda namun tetap satu jua. Semboyan tersebut menggambarkan kondisi
Negara kita yang penduduknya terdiri dari bermacam-macam etnis, budaya dan
bahasa. Adanya semboyan tersebut sebagai pemersatu perbedaan yang ada di
sekitar kita. Selain itu, sebagai Negara plural atau universal, kita perlu
memiliki sebuah persamaan yang mampu menyatukan bangsa kita dari ancaman
perpecahan diantara individunya. Maka dari itu banyak terbentuk berbagai upaya
atau bentuk gerakan yang bersifat untuk menyatukan segala perbedaan yang ada di
Negara kita.
Meskipun demikian, Negara kita tidak
luput dari sengketa dan persoalan antar masyarakat atau kelompok. Tidak jarang
beberapa kasus pertikaian antar daerah, antar agama, antar etnis bahkan antar
pelajar mencuat ke media masa. Tidak sedikit pelajar yang harusnya khusyuk
dengan buku-buku malah saling melempar batu dan mengganggu ketertiban lalu
lintas di jalan raya. Antara aparat dan demonstran baku hantam dan terlibat
bentrok sudah bukan hal yang tabu mengisi layar kaca. Kalau begitu, apanya yang
salah dalam kasus tersebut?
Dalam sebuah artikel yang ditulis
oleh A. Chaedar Alwasilah yang berjudul “Classroom Discourse to Foster Religious
Harmony” membahas mengenai masalah serupa. Dengan meng-close up dampak masalah
tersebut yang berhubungan dengan system pendidikan yang belum cukup mampu
mengatasi masalah tersebut. Menurut beliau dalam tulisannya tersebut menyatakan
bahwa kualitas suatu bangsa dapat dilihat dari mutu dan praktek sistem
pendidikannya. Kaitan tersebut rupanya disadari oleh hampir semua Negara maju.
Tentunya dengan demikian, mereka membentuk suatu sistem pendidikan yang baik
guna menciptakan kualitas dari hasil pembelajaran itu sendiri. Kemudian salah
satu tujuan dari pendidikan dasar atau elementary education yaitu sebuah upaya
untuk mempersiapkan siswa-siswa yang memiliki kemampuan dasar dalam rangka
untuk mengembangkan kehidupan mereka sebagai makhluk individu, anggota dari
sebuah komunitas dan anggota masyarakat dari sebuah Negara.
Keterampilan-keterampilan dasar tersebut juga merupakan sebuah pondasi atau
dasar untuk menempuh pendidikan yang lebih lanjut.
Masalah-masalah kemasyarakatan yang
terjadi di Indonesia sendiri merupakan indikasi dari penyakit sosial. Bukan
hanya itu saja, bisa jadi hal tersebut juga disebabkan oleh ketidak harmonisan
dalam hubungan antar sosial maupun hubungan antar beragama. Hal itu bisa
menimbulkan pertikaian yang terjadi di masyarakat kita. Oleh sebab itu, hal
tersebut menjadi sebuah tantangan tersendiri yang harus dipecahkan atau
diselesaikanoleh pendidik. Sekiranya pendidik harus melakukan hal yang terbaik
dalam rangka membersiapkan generasi berikutnya sebagai calon warga Negara yang
demokratis dengan karakter yang baik sebagaimana telah diatur dalam UU
Sisdiknas. Sejatinya, masa depan kelangsungan Negara kita itu tergantung pada
pendidikan cikal bakal pewaris tanah ini yang nantinya akan menjadi pelaku sosial
penerus generasi sekarang ini.
Bagaimana caranya untuk mewujudkan
tujuan tersebut? Cara yang tepat untuk mencapai tujuan tersebut yaitu
menerapkan atau mengembangkan kerukunan beragama di sekolah pada anak-anak usia
dini. Dan untuk mendukung wacana sipil di kalangan siswa, perlu dilakukan
upaya-upaya yang dapat kita lakukan melalui program-program yang kreatif dan
inovatif. Dengan begitu, para siswa tidak merasa terbebani dengan hal tersebut.
Faktanya, banyak penelitian yang dilakukan dengan berbagai pendekatan telah
menunjukkan bahwa anak-anak yang masih sekolah atau anak-anak usia sekolah
lebih memilih untuk berinteraksi dengan rekan-rekan sebaya mereka. Dalam
konteks sekolah, hal itu merupakan hubungan dimana rekan-rekan sesama saling
menghormati, membantu, berbagi, dan biasanya bersikap sopan terhadap satu sama
lain. Konsep interaksi dengan rekan sebaya adalah komponen penting dalam teori
pembangunan sosial (Rubin, 2009).
Dalam multicultural setting, para
siswa berasal dari perbedaan etnis, agama dan latar belakang sosial. Oleh sebab
itu pola pikir yang lebih dominan pada mereka terbentuk dari latar belakang
mereka. Dalam rangka untuk mengembangkan civil discourse yang positif, maka
program sekolah harus sengaja memfasilitasi interaksi rekan untuk mewujudkan
hal tersebut. Indikator civil discourse sendiri meliputi menyimak penuh
perhatian, mengemukakan ide-ide dan pendapat, mengajukan pertanyaan, menyatakan
persetujuan dan ketidaksetujuan, serta mencapai kompromi dengan cara yang tepat
atau sopan. Dalam arti praktis, ini akan berlaku untuk setiap mata pelajaran
sekolah. Artinya, metode tersebut akan dipraktekkan pada setiap kita menerima
pembelajaran dari guru kita. Pembiasaan seperti itu dapat berakibat baik dalam
upaya pengembangan karakter seorang siswa. Pembiasaan dari usia dini biasanya
akan lebih efektif dan dampaknya akan terlihat sangat baik karena praktek
tersebut sekaligus untuk membentuk sebuah karakter seorang anak.
Dalam artikel “Classroom Discourse
to Foster Religious Harmony” juga tertera berbagai jenis permasalahan yang terjadi
di masyarakat kita. Salah satunya dalam kasus-kasus yang diteliti oleh
Apriliaswati (2011). Dari hasil penelitian yang ia lakukan, telah disimpulkan
bahwa interaksi antar teman sebaya mendukung kelas civil discourse yang positif
di kalangan siswa. Interaksi sesama dalam studi social, kelas bahasa Indonesia
dan pancasila bukanlah perilaku yang mengganggu apabila sang guru dapat
mengelolanya secara efektif. Berisik bukanlah hal yang selalu negative. Hal
tersebut dapat menjadi bukti daripada interaksi interaktif dan interaksi
pemberitahuan. Hal itu menunjukkan sebuah metode untuk mencapai pembentukan
hubungan baik diantara para pelajar. Tentu saja itu merupakan hal yang positif
untuk dilakukan.
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa
untuk menciptakan kerukunan diantara perbedaan bukanlah hal yang enteng.
Sebenarnya, perbedaan-perbedaan di Indonesia merupakan sebuah anugerah yang
dapat membentuk berbagai macam bentuk kebudayaan dan ciri khasnya
masing-masing. Jika kita melihat dari sudut pandang tersebut, maka seharusnya
kita bangga dan dapat saling menghargai satu sama lain. Namun, kadang kala dari
perbedaan-perbedaan tersebut malah terjadi pertikaian dan isolasi diri terhadap
perbedaan tersebut. Mereka yang demikian itu adalah mereka yang tidak dapat
menerima keberadaan dari hal yang berbeda dari yang mereka yakini. Mereka
terlalu enggan untuk membuka mata hati mereka untuk menjadikan
perbedaan-perbedaan tersebut agar menjadi sesuatu yang indah.
Masalah mengenai kerukunan beragama
sendiri menjadi focus prioritas dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Negara
(RPJMN) 2010-1014. Hal itu karena belum terwujudnya harmonisasi sosial dan
kerukunan di kalangan beragama. Selain itu, Menteri Agama RI yakni Suryadharma
ali juga menyatakan bahwasanya membangun, mempertahankan dan merawat kerukunan
umat beragama bukanlah hal yang mudah. Hal itu merupakan salah satu pekerjaan
besar yang harus dilakukan oleh Kementrian Agama RI sejak kelahirannya hingga
saat ini dan masa yang akan datang. Oleh sebab itu, persoalan tentang
pembahasan ini bukanlah hal yang mudah untuk ditangani. Hal itu disebabkan oleh
betapa kompleksnya pihak yang terlibat didalamnya.
Dari persoalan yang demikian
peliknya, tentunya banyak solusi yang ditawarkan oleh berbagai pihak yang
peduli akan hal tersebut. Tentunya yakni evaluasi terhadap individu yang
bersangkutan agar diarahkan ke jalur yang benar agar nantinya permasalahan ini
dapat terselesaikan dan selangkah demi selangkah membentuk suatu harmonisasi
diantara perbedaan tersebut. Jika demikian keadaannya, maka didalam sebuah
pembelajaran atau sebuah kelas tentunya mereka dapat menerima keberadaan
rekannya yang berbeda dengan perasaan terbuka.
Dari apa yang ditulis oleh A.
Chaedar Alwasilah banyak dikemukakan metode-metode yang berguna dan efektif
dalam system pembelajarannya. Kita dapat menelaah apa yang beliau tulis dalam
artikelnya tersebut. Apa yang tertulis pada artikel tersebut merupakan
langkah-langkah untuk mewujudkan suatu harmonisasi beragama dalam sebuah kelas.
Namun, ada sesuatu yang mengusik di pikiran saya tentang konteks tersebut.
Bagaimana dengan mereka yang tidak mencicipi pembelajaran di kelas? Apakah
harmonisasi beragama tetap diperlukan? Tentu saja perlu. Walau bagaimanapun,
manusia adalah makhluk sosial yang perlu berinteraksi dengan sesamanya. Maka,
faktor tersebut tentunya sangat vital dalam kehidupan sehari-hari. Bagaimana
mungkin kita mengabaikan eksistensi jenis lain di sekitar kita yang tampak di
depan mata.
Dalam upaya mencari jalan untuk
masalah ini, kita juga perlu mengetahui penyebabnya dan aspek-aspek apa saja
yang terlibat. Saya cuplik dari sebuah jurnal Sosbud yang berjudul “Membangun
Kerukunan Umat Beragama” aspek-aspek yang terlibat dalam hal ini yakni aspek
geografi, demografi, sumber kekayaan, ideologi, politik, ekonomi, social budaya
dan pertahanan dan keamanan. Selain berdampak positif, aspek-aspek tersebut
dapat memicu timbulnya konflik dan permasalahan antar beragama. Selain itu,
munculnya berbagai macam kelompok di kalangan masyarakat juga memperkeruh keadaan.
Hal itu menyebabkan gesekan yang tidak diinginkan dalam harmonisasi beragama.
Kesalahpahaman atau misunderstanding juga akan menjadi salah satu masalah yang
berakibat buruk dan melibatkan banyak pihak.
Dengan melihat perbedaan yang begitu
kontras dalam kehidupan kita, saya rasa akan lebih bijak jika kita mengambil
sisi positif dari keadaan tersebut. Kita dapat memanfaatkan perbedaan tersebut
sebagai keragaman sosial yang mempercantik interaksi antar sesama. Seperti
menurut Imarah (1999:36) yang berpendapat bahwa jika tidak ada pluralitas,
perbedaan dan perselisihan niscaya tidak ada motivasi untuk berlomba, saling
dorong dan berkompetisi diantara individu, umat, pemikiran, filsafat serta
peradaban, selain itu hidup pun akan menjadi stagnan dan tawar serta mati tanpa
dinamika. Itu artinya, perbedaan yang berpotensi menimbulkan konflik juga dapat
dijadikan sebagai motivasi dalam pembelajaran dan hal-hal lainnya.
Pendidikan merupakan salah satu
wadah penting dalam menetralisir atmosfer buruk yang terjadi antara dua
perbedaan. Melalui pendidikan, kita dapat memperoleh pelajaran berharga
mengenai kerukunan beragama. Disini kita diawasi oleh guru sebagai evaluator.
Maka, peran guru harus sebagai penengah yang menjembatani kedua belah pihak
serta berusaha menciptakan suasana yang bersahabat di dalam pembelajaran.
Seoran guru juga hendaknya jangan membeda-bedakan sesuatu yang seharusnya
disamakan di dalam kelas. Memperlakukan siswa secara merata dan adil merupakan
sikap paling bijak yang memang harus dimiliki oleh seorang guru. Selain guru,
system pembelajaran juga harus dibenahi dengan benar agar meghasilkan progress
yang terbaik bagi peserta didiknya. Memberikan contoh yang benar dalam
menyikapi hal tersebut. Menyediakan mereka fasilitas yang sama sesuai kebutuhan
mereka termasuk kebutuhan rohani. Pendidikan moral juga culup efektif dalam hal
ini supaya tiap individu mengetahui cara bersikap di lingkungan sekitar. Jadi,
peran pendidikan bukan hanya sebagai tempat belajar atau mencari ilmu, akan
tetapi juga sebagai tempat untuk membentuk karakter yang baik pada setiap
individu. Dalam penerapan aspek-aspek tersebut hendaknya dilakukan sejak usia
dini pada siswa dan selalu di ulas kembali sebagai evaluasi yang dilakukan pada
tiap anak.
Dalam sebuah kumpulan beberapa
golongan dari kalangan yang berbeda, interaksi merupakan hal yang sangat
penting. Melalui interaksi yang baik, maka kita dapat menjalin hubungan yang
baik pula dengan sesama. Dengan demikian, kecil kemungkinannya akan terjadi
konflik diantara mereka. Hal itu dikarenakan mereka mengakui keberadaan
rekannya tersebut bukanlah sebagai seseorang yang harus disakiti atau diganggu.
Seperti apa yang ditulis oleh A. Chaedar Alwasilah dalam artikelnya tersebut
bahwa interaksi antar teman sebaya itu perlu. Beliau juga menyatakan bahwa penalaran ilmiah
sangat diperlukan dalam mengembangkan warga intelektual , sedangkan kompetensi
wacana sipil sangat penting untuk menciptakan warga negara yang beradab. Jadi, antara pendidikan,
kompetensi dan moral itu diperlukan secara selaras untuk mewujudkan wacana
tersebut.
Saya
berpikiran sama dan menyetujui apa yang A. Chaedar Alwasilah kemukakan bahwa
pendidikan kita termasuk gagal dalam memberikan siswa melalui kompetensi wacana
sipil. Banyak yang telah dibuktikan bahwa Negara kita system pembelajarannya
masih terkesan acak-acakan dan sulit diatasi dengan benar. Contoh kecilnya
banyak kesenjangan antara sekolah yang berada di wilayah strategis dengan sekolah
yang berada jauh dari hiruk pikuk masyarakat seperti sekolah yang berada di
pelosok dan sulit dijamah dan diakses. Perbedaan tersebut juga dapat
menimbulkan masalah baru yang harus diatasi pula. Dalam critical revive ini,
saya perlu mencari sumber referensi lain sebagai bahan pendukung dari artikel
ini. Tidak banyak. Sekedar cukup untuk mengkonfirmasi apa yang dinyatakan oleh
penulis. Hal itu karena kurangnya kemapuan saya dalam memahami maksud penulis
dalam teks tersebut.
Sejauh
ini, dari keseluruhan isi artikel “Classroom Discourse to
Foster Religious Harmony” saya tidak paham benar mengenai isi dari artikel
tersebut. Namun sedikit dimengerti bahwa tujuan penulisan artikel tersebut
adalah untuk mewujudkan suasana harmonis dalam belajar antasa siswa yang
memiliki perbedaan keyakinan atau agama. Didalamnya, banyak metode-metode yang
dapat kita lakukan untuk mewujudkan hal-hal tersebut. Begi pun dengan
sumber-sumber lain yang saya cari dalam rangka melengkapi wacana ini untuk
ditelaah dan dikaji secara seksama. Bukan hanya itu, data-data yang dipaparkan
juga dapat diterima dan juga dapat dipertanggungjawabkan kevalidannya. Selain
itu, didalam teks tersebut juga ditawarkan system pendidikan liberal yang
meliputi pengetahuan etnis dan agama serta minoritas bahasa dan budaya.
Pada ntinya, untuk mencapai
kerukunan dalam kelas yang meliputi pelajar dengan latar belakang yang berbeda,
yang diperlukan adalah toleransi. Dengan toleransi, kita dapat menciptakan
suasana yang rukun dan harmonis yang bebas dari pertikaian. Tentunya hal seperti
itu pasti diinginkan oleh banyak orang. Untuk mewujudkan hal tersebut tidak
mungkin bisa didapatkan secara instant. Tentunya memerlukan waktu yang lama dan
juga langkah-langkah yang tepat untuk mewujudkannya. Selain toleransi, hal
penting lainnya yakni interaksi dan kompetensi juga haris diperhatikan dengan
seksama. Dengan begitu, kita akan melihat perkembangannya dari hal-hal yang
saya sebutkan tadi. Untuk mengatasi masalah yang terjadi di masyarakat harus
diketahui juga akar permasalahannya agar tidak menimbulkan masalah yang serupa
di kemudian hari. Alangkah baiknya apabila kita mengambil metode-metode yang
cocok sesuai dengan persoalan yang dihadapi. Hal itu karena dengan jalan itu
maka prosesnya akan lebih efektif dan efisien. Memberikan apa yang dibutuhkan
oleh siswa merupakan hal yang tidak bisa diabaikan dalam konteks ini.
Sementara, penanaman sejak dini tentang pemahaman dan pembentukan karakter pada
siswa juga tidak kalah penting dengan aspek lainnya. Praktek nyata juga
diperlukan untuk membentuk kepribadian siswa.
Kesimpulan dari apa yang telah
berlembar-lembar saya tulis yakni bahwa kerukunan beragama di kalangan pelajar
itu penting. Tanpa adanya kerukunan, aktivitas sosial pada masyarakat akan
terganggu dan terjadi banyak masalah. Ketidakharmonisan dalam masyarakat
tentunya dapat menimbulkan banyak persoalan, pertikaian, salah paham, konflik,
permusuhan dan penolakan terhadap kelompok lain yang hanya akan merugikan
masyarakat. Dengan adanya persoalan yang terjadi di masyarakat akan membuat
kelangsungan hidup kita terganggu. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
hal tersebut pun banyak sebabnya. Seperti faktor geografi, demografi, sumber
kekayaan alam, ideology, politik, ekonomi, social budaya serta pertahanan dan
keamanan. Bukaan hanya itu saja, hal demikian juga menunjukkan bahwa Negara
kita itu telah gagal dalam penerapan aspek tersebut.
Negara
kita memang sarat akan perbedaan. Namun, perbedaan yang dapat menimbulkan
pertikaian tersebut merupakan sebuah keragaman yang dimiliki oleh Negara kita
yang tercinta ini. Dengan kata lain, kita dapat membentuk sesuatu yang baru
dari perbedaan-perbedaan tersebut. Solusi yang tepat untuk masalah tersebut
yakni dengan cara melihat perbedaan tersebut dari sudut pandang yang positif.
Kenyataannya, melalui perbedaan seseorang dapat bersaing dan berkompeitsi serta
mendapatkan motivasi. Selain itu, toleransi beragama menjadi kunci terjalinnya
hubungan baik atau keharmonisan didalam pembelajaran. Dalam hal ini, peran guru
sangat diandalkan sebagai seseorang yang menjadi penengah antara kedua belah
pihak. Seorang guru harus dapat mengatur jalannya pembelajaran dengan harmonis.
Melalui perbedaan-perbedaan tersebut seorang guru dituntut harus mampu
mengarahkannya kepada jalur yang positif. Dengan begitu para siswa dapat
belajar dengan normal meskipun mereka berada di tengah-tengah perbedaan yang
sangat kontras.
Demikian
critical yang saya tulis sebagai progress test 1 yang mengambil pembahasan dari
apa yang ditulis oleh A. Chaedar Alwasilah dalam artikelnya yang berjudul “Classroom
Discourse to Foster Religious Harmony” yang berisi tentang harmonisasi beragama
dalam discourse. Pembahasannya berisi mengenai pokok-pokok yang harus dilakukan
dalam mewujudkan harmonisasi beragama dalam sebuah pembelajaran berikut
solusinya. Sepert yang saya tekankan pada teks ini bahwa toleransi merupakan
hal yang terpenting dalam upaya mewujudkan hal tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic