We are simple, but no simple impact. Proudly Presents, PBI C 2012. Happy Reading!

Course: Writing and Composition 4

Instructor : Lala Bumela

This website created by : College student from The State Institute of Islamic Studies Syekh Nurjati Cirebon, The Dapartment of English Education 2012.


widgets

Senin, 24 Februari 2014

Harmonisasi Perbedaan dalam Pendidikan



            Toleransi beragama. Ya. Pembahasan tentang toleransi beragama mungkin pernah kita rasakan dan alami ketika kita berada di bangku SMP. Saya ingat pembahasan tersebut terdapat pada mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Jika kita perhatikan, sebenarnya pengkajian pembahasan tersebut dimulai ketika kita duduk di bangku sekolah dasar. Hanya saja pada saat itu agaknya kita tak menyadari dampaknya secara langsung.  Bukan hanya itu, di SLTA sampai di bangku kuliah pun kita dijejali materi tersebut dengan porsi yang berbeda dari sebelumnya tentunya. Bahkan pada pancasila kesatu juga tidak dispesifikkan tuhan yang esa itu sendiri. Hal itu menunjukkan bahwa toleransi itu penting di kehidupan kita. Seperti yang kita ketahui bahwa manusia itu adalah makhluk sosial. Jadi, manusia tidak akan pernah bisa hidup sendirian tanpa andil orang lain. Oleh sebab itulah berinteraksi dengan orang lain merupakan aktivitas sehari-harinya manusia.
            Di Indonesia sendiri, toleransi merupakan hal yang sangat diperlukan guna menciptakan keharmonisan masyarakat. Seperti semboyan kita “Bhineka Tunggal Ika” yang artinya yakni meskipun berbeda-beda namun tetap satu jua. Semboyan tersebut menggambarkan kondisi Negara kita yang penduduknya terdiri dari bermacam-macam etnis, budaya dan bahasa. Adanya semboyan tersebut sebagai pemersatu perbedaan yang ada di sekitar kita. Selain itu, sebagai Negara plural atau universal, kita perlu memiliki sebuah persamaan yang mampu menyatukan bangsa kita dari ancaman perpecahan diantara individunya. Maka dari itu banyak terbentuk berbagai upaya atau bentuk gerakan yang bersifat untuk menyatukan segala perbedaan yang ada di Negara kita.
            Meskipun demikian, Negara kita tidak luput dari sengketa dan persoalan antar masyarakat atau kelompok. Tidak jarang beberapa kasus pertikaian antar daerah, antar agama, antar etnis bahkan antar pelajar mencuat ke media masa. Tidak sedikit pelajar yang harusnya khusyuk dengan buku-buku malah saling melempar batu dan mengganggu ketertiban lalu lintas di jalan raya. Antara aparat dan demonstran baku hantam dan terlibat bentrok sudah bukan hal yang tabu mengisi layar kaca. Kalau begitu, apanya yang salah dalam kasus tersebut?
            Dalam sebuah artikel yang ditulis oleh A. Chaedar Alwasilah yang berjudul “Classroom Discourse to Foster Religious Harmony” membahas mengenai masalah serupa. Dengan meng-close up dampak masalah tersebut yang berhubungan dengan system pendidikan yang belum cukup mampu mengatasi masalah tersebut. Menurut beliau dalam tulisannya tersebut menyatakan bahwa kualitas suatu bangsa dapat dilihat dari mutu dan praktek sistem pendidikannya. Kaitan tersebut rupanya disadari oleh hampir semua Negara maju. Tentunya dengan demikian, mereka membentuk suatu sistem pendidikan yang baik guna menciptakan kualitas dari hasil pembelajaran itu sendiri. Kemudian salah satu tujuan dari pendidikan dasar atau elementary education yaitu sebuah upaya untuk mempersiapkan siswa-siswa yang memiliki kemampuan dasar dalam rangka untuk mengembangkan kehidupan mereka sebagai makhluk individu, anggota dari sebuah komunitas dan anggota masyarakat dari sebuah Negara. Keterampilan-keterampilan dasar tersebut juga merupakan sebuah pondasi atau dasar untuk menempuh pendidikan yang lebih lanjut.
            Masalah-masalah kemasyarakatan yang terjadi di Indonesia sendiri merupakan indikasi dari penyakit sosial. Bukan hanya itu saja, bisa jadi hal tersebut juga disebabkan oleh ketidak harmonisan dalam hubungan antar sosial maupun hubungan antar beragama. Hal itu bisa menimbulkan pertikaian yang terjadi di masyarakat kita. Oleh sebab itu, hal tersebut menjadi sebuah tantangan tersendiri yang harus dipecahkan atau diselesaikanoleh pendidik. Sekiranya pendidik harus melakukan hal yang terbaik dalam rangka membersiapkan generasi berikutnya sebagai calon warga Negara yang demokratis dengan karakter yang baik sebagaimana telah diatur dalam UU Sisdiknas. Sejatinya, masa depan kelangsungan Negara kita itu tergantung pada pendidikan cikal bakal pewaris tanah ini yang nantinya akan menjadi pelaku sosial penerus generasi sekarang ini.
            Bagaimana caranya untuk mewujudkan tujuan tersebut? Cara yang tepat untuk mencapai tujuan tersebut yaitu menerapkan atau mengembangkan kerukunan beragama di sekolah pada anak-anak usia dini. Dan untuk mendukung wacana sipil di kalangan siswa, perlu dilakukan upaya-upaya yang dapat kita lakukan melalui program-program yang kreatif dan inovatif. Dengan begitu, para siswa tidak merasa terbebani dengan hal tersebut. Faktanya, banyak penelitian yang dilakukan dengan berbagai pendekatan telah menunjukkan bahwa anak-anak yang masih sekolah atau anak-anak usia sekolah lebih memilih untuk berinteraksi dengan rekan-rekan sebaya mereka. Dalam konteks sekolah, hal itu merupakan hubungan dimana rekan-rekan sesama saling menghormati, membantu, berbagi, dan biasanya bersikap sopan terhadap satu sama lain. Konsep interaksi dengan rekan sebaya adalah komponen penting dalam teori pembangunan sosial (Rubin, 2009).
            Dalam multicultural setting, para siswa berasal dari perbedaan etnis, agama dan latar belakang sosial. Oleh sebab itu pola pikir yang lebih dominan pada mereka terbentuk dari latar belakang mereka. Dalam rangka untuk mengembangkan civil discourse yang positif, maka program sekolah harus sengaja memfasilitasi interaksi rekan untuk mewujudkan hal tersebut. Indikator civil discourse sendiri meliputi menyimak penuh perhatian, mengemukakan ide-ide dan pendapat, mengajukan pertanyaan, menyatakan persetujuan dan ketidaksetujuan, serta mencapai kompromi dengan cara yang tepat atau sopan. Dalam arti praktis, ini akan berlaku untuk setiap mata pelajaran sekolah. Artinya, metode tersebut akan dipraktekkan pada setiap kita menerima pembelajaran dari guru kita. Pembiasaan seperti itu dapat berakibat baik dalam upaya pengembangan karakter seorang siswa. Pembiasaan dari usia dini biasanya akan lebih efektif dan dampaknya akan terlihat sangat baik karena praktek tersebut sekaligus untuk membentuk sebuah karakter seorang anak.
            Dalam artikel “Classroom Discourse to Foster Religious Harmony” juga tertera berbagai jenis permasalahan yang terjadi di masyarakat kita. Salah satunya dalam kasus-kasus yang diteliti oleh Apriliaswati (2011). Dari hasil penelitian yang ia lakukan, telah disimpulkan bahwa interaksi antar teman sebaya mendukung kelas civil discourse yang positif di kalangan siswa. Interaksi sesama dalam studi social, kelas bahasa Indonesia dan pancasila bukanlah perilaku yang mengganggu apabila sang guru dapat mengelolanya secara efektif. Berisik bukanlah hal yang selalu negative. Hal tersebut dapat menjadi bukti daripada interaksi interaktif dan interaksi pemberitahuan. Hal itu menunjukkan sebuah metode untuk mencapai pembentukan hubungan baik diantara para pelajar. Tentu saja itu merupakan hal yang positif untuk dilakukan.
            Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa untuk menciptakan kerukunan diantara perbedaan bukanlah hal yang enteng. Sebenarnya, perbedaan-perbedaan di Indonesia merupakan sebuah anugerah yang dapat membentuk berbagai macam bentuk kebudayaan dan ciri khasnya masing-masing. Jika kita melihat dari sudut pandang tersebut, maka seharusnya kita bangga dan dapat saling menghargai satu sama lain. Namun, kadang kala dari perbedaan-perbedaan tersebut malah terjadi pertikaian dan isolasi diri terhadap perbedaan tersebut. Mereka yang demikian itu adalah mereka yang tidak dapat menerima keberadaan dari hal yang berbeda dari yang mereka yakini. Mereka terlalu enggan untuk membuka mata hati mereka untuk menjadikan perbedaan-perbedaan tersebut agar menjadi sesuatu yang indah. 
            Masalah mengenai kerukunan beragama sendiri menjadi focus prioritas dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Negara (RPJMN) 2010-1014. Hal itu karena belum terwujudnya harmonisasi sosial dan kerukunan di kalangan beragama. Selain itu, Menteri Agama RI yakni Suryadharma ali juga menyatakan bahwasanya membangun, mempertahankan dan merawat kerukunan umat beragama bukanlah hal yang mudah. Hal itu merupakan salah satu pekerjaan besar yang harus dilakukan oleh Kementrian Agama RI sejak kelahirannya hingga saat ini dan masa yang akan datang. Oleh sebab itu, persoalan tentang pembahasan ini bukanlah hal yang mudah untuk ditangani. Hal itu disebabkan oleh betapa kompleksnya pihak yang terlibat didalamnya.
            Dari persoalan yang demikian peliknya, tentunya banyak solusi yang ditawarkan oleh berbagai pihak yang peduli akan hal tersebut. Tentunya yakni evaluasi terhadap individu yang bersangkutan agar diarahkan ke jalur yang benar agar nantinya permasalahan ini dapat terselesaikan dan selangkah demi selangkah membentuk suatu harmonisasi diantara perbedaan tersebut. Jika demikian keadaannya, maka didalam sebuah pembelajaran atau sebuah kelas tentunya mereka dapat menerima keberadaan rekannya yang berbeda dengan perasaan terbuka.
            Dari apa yang ditulis oleh A. Chaedar Alwasilah banyak dikemukakan metode-metode yang berguna dan efektif dalam system pembelajarannya. Kita dapat menelaah apa yang beliau tulis dalam artikelnya tersebut. Apa yang tertulis pada artikel tersebut merupakan langkah-langkah untuk mewujudkan suatu harmonisasi beragama dalam sebuah kelas. Namun, ada sesuatu yang mengusik di pikiran saya tentang konteks tersebut. Bagaimana dengan mereka yang tidak mencicipi pembelajaran di kelas? Apakah harmonisasi beragama tetap diperlukan? Tentu saja perlu. Walau bagaimanapun, manusia adalah makhluk sosial yang perlu berinteraksi dengan sesamanya. Maka, faktor tersebut tentunya sangat vital dalam kehidupan sehari-hari. Bagaimana mungkin kita mengabaikan eksistensi jenis lain di sekitar kita yang tampak di depan mata.
            Dalam upaya mencari jalan untuk masalah ini, kita juga perlu mengetahui penyebabnya dan aspek-aspek apa saja yang terlibat. Saya cuplik dari sebuah jurnal Sosbud yang berjudul “Membangun Kerukunan Umat Beragama” aspek-aspek yang terlibat dalam hal ini yakni aspek geografi, demografi, sumber kekayaan, ideologi, politik, ekonomi, social budaya dan pertahanan dan keamanan. Selain berdampak positif, aspek-aspek tersebut dapat memicu timbulnya konflik dan permasalahan antar beragama. Selain itu, munculnya berbagai macam kelompok di kalangan masyarakat juga memperkeruh keadaan. Hal itu menyebabkan gesekan yang tidak diinginkan dalam harmonisasi beragama. Kesalahpahaman atau misunderstanding juga akan menjadi salah satu masalah yang berakibat buruk dan melibatkan banyak pihak.
            Dengan melihat perbedaan yang begitu kontras dalam kehidupan kita, saya rasa akan lebih bijak jika kita mengambil sisi positif dari keadaan tersebut. Kita dapat memanfaatkan perbedaan tersebut sebagai keragaman sosial yang mempercantik interaksi antar sesama. Seperti menurut Imarah (1999:36) yang berpendapat bahwa jika tidak ada pluralitas, perbedaan dan perselisihan niscaya tidak ada motivasi untuk berlomba, saling dorong dan berkompetisi diantara individu, umat, pemikiran, filsafat serta peradaban, selain itu hidup pun akan menjadi stagnan dan tawar serta mati tanpa dinamika. Itu artinya, perbedaan yang berpotensi menimbulkan konflik juga dapat dijadikan sebagai motivasi dalam pembelajaran dan hal-hal lainnya.
            Pendidikan merupakan salah satu wadah penting dalam menetralisir atmosfer buruk yang terjadi antara dua perbedaan. Melalui pendidikan, kita dapat memperoleh pelajaran berharga mengenai kerukunan beragama. Disini kita diawasi oleh guru sebagai evaluator. Maka, peran guru harus sebagai penengah yang menjembatani kedua belah pihak serta berusaha menciptakan suasana yang bersahabat di dalam pembelajaran. Seoran guru juga hendaknya jangan membeda-bedakan sesuatu yang seharusnya disamakan di dalam kelas. Memperlakukan siswa secara merata dan adil merupakan sikap paling bijak yang memang harus dimiliki oleh seorang guru. Selain guru, system pembelajaran juga harus dibenahi dengan benar agar meghasilkan progress yang terbaik bagi peserta didiknya. Memberikan contoh yang benar dalam menyikapi hal tersebut. Menyediakan mereka fasilitas yang sama sesuai kebutuhan mereka termasuk kebutuhan rohani. Pendidikan moral juga culup efektif dalam hal ini supaya tiap individu mengetahui cara bersikap di lingkungan sekitar. Jadi, peran pendidikan bukan hanya sebagai tempat belajar atau mencari ilmu, akan tetapi juga sebagai tempat untuk membentuk karakter yang baik pada setiap individu. Dalam penerapan aspek-aspek tersebut hendaknya dilakukan sejak usia dini pada siswa dan selalu di ulas kembali sebagai evaluasi yang dilakukan pada tiap anak.
            Dalam sebuah kumpulan beberapa golongan dari kalangan yang berbeda, interaksi merupakan hal yang sangat penting. Melalui interaksi yang baik, maka kita dapat menjalin hubungan yang baik pula dengan sesama. Dengan demikian, kecil kemungkinannya akan terjadi konflik diantara mereka. Hal itu dikarenakan mereka mengakui keberadaan rekannya tersebut bukanlah sebagai seseorang yang harus disakiti atau diganggu. Seperti apa yang ditulis oleh A. Chaedar Alwasilah dalam artikelnya tersebut bahwa interaksi antar teman sebaya itu perlu. Beliau juga menyatakan bahwa penalaran ilmiah sangat diperlukan dalam mengembangkan warga intelektual , sedangkan kompetensi wacana sipil sangat penting untuk menciptakan warga negara yang beradab. Jadi, antara pendidikan, kompetensi dan moral itu diperlukan secara selaras untuk mewujudkan wacana tersebut.
            Saya berpikiran sama dan menyetujui apa yang A. Chaedar Alwasilah kemukakan bahwa pendidikan kita termasuk gagal dalam memberikan siswa melalui kompetensi wacana sipil. Banyak yang telah dibuktikan bahwa Negara kita system pembelajarannya masih terkesan acak-acakan dan sulit diatasi dengan benar. Contoh kecilnya banyak kesenjangan antara sekolah yang berada di wilayah strategis dengan sekolah yang berada jauh dari hiruk pikuk masyarakat seperti sekolah yang berada di pelosok dan sulit dijamah dan diakses. Perbedaan tersebut juga dapat menimbulkan masalah baru yang harus diatasi pula. Dalam critical revive ini, saya perlu mencari sumber referensi lain sebagai bahan pendukung dari artikel ini. Tidak banyak. Sekedar cukup untuk mengkonfirmasi apa yang dinyatakan oleh penulis. Hal itu karena kurangnya kemapuan saya dalam memahami maksud penulis dalam teks tersebut.
            Sejauh ini, dari keseluruhan isi artikel “Classroom Discourse to Foster Religious Harmony” saya tidak paham benar mengenai isi dari artikel tersebut. Namun sedikit dimengerti bahwa tujuan penulisan artikel tersebut adalah untuk mewujudkan suasana harmonis dalam belajar antasa siswa yang memiliki perbedaan keyakinan atau agama. Didalamnya, banyak metode-metode yang dapat kita lakukan untuk mewujudkan hal-hal tersebut. Begi pun dengan sumber-sumber lain yang saya cari dalam rangka melengkapi wacana ini untuk ditelaah dan dikaji secara seksama. Bukan hanya itu, data-data yang dipaparkan juga dapat diterima dan juga dapat dipertanggungjawabkan kevalidannya. Selain itu, didalam teks tersebut juga ditawarkan system pendidikan liberal yang meliputi pengetahuan etnis dan agama serta minoritas bahasa dan budaya.
Pada ntinya, untuk mencapai kerukunan dalam kelas yang meliputi pelajar dengan latar belakang yang berbeda, yang diperlukan adalah toleransi. Dengan toleransi, kita dapat menciptakan suasana yang rukun dan harmonis yang bebas dari pertikaian. Tentunya hal seperti itu pasti diinginkan oleh banyak orang. Untuk mewujudkan hal tersebut tidak mungkin bisa didapatkan secara instant. Tentunya memerlukan waktu yang lama dan juga langkah-langkah yang tepat untuk mewujudkannya. Selain toleransi, hal penting lainnya yakni interaksi dan kompetensi juga haris diperhatikan dengan seksama. Dengan begitu, kita akan melihat perkembangannya dari hal-hal yang saya sebutkan tadi. Untuk mengatasi masalah yang terjadi di masyarakat harus diketahui juga akar permasalahannya agar tidak menimbulkan masalah yang serupa di kemudian hari. Alangkah baiknya apabila kita mengambil metode-metode yang cocok sesuai dengan persoalan yang dihadapi. Hal itu karena dengan jalan itu maka prosesnya akan lebih efektif dan efisien. Memberikan apa yang dibutuhkan oleh siswa merupakan hal yang tidak bisa diabaikan dalam konteks ini. Sementara, penanaman sejak dini tentang pemahaman dan pembentukan karakter pada siswa juga tidak kalah penting dengan aspek lainnya. Praktek nyata juga diperlukan untuk membentuk kepribadian siswa.
Kesimpulan dari apa yang telah berlembar-lembar saya tulis yakni bahwa kerukunan beragama di kalangan pelajar itu penting. Tanpa adanya kerukunan, aktivitas sosial pada masyarakat akan terganggu dan terjadi banyak masalah. Ketidakharmonisan dalam masyarakat tentunya dapat menimbulkan banyak persoalan, pertikaian, salah paham, konflik, permusuhan dan penolakan terhadap kelompok lain yang hanya akan merugikan masyarakat. Dengan adanya persoalan yang terjadi di masyarakat akan membuat kelangsungan hidup kita terganggu. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya hal tersebut pun banyak sebabnya. Seperti faktor geografi, demografi, sumber kekayaan alam, ideology, politik, ekonomi, social budaya serta pertahanan dan keamanan. Bukaan hanya itu saja, hal demikian juga menunjukkan bahwa Negara kita itu telah gagal dalam penerapan aspek tersebut.
            Negara kita memang sarat akan perbedaan. Namun, perbedaan yang dapat menimbulkan pertikaian tersebut merupakan sebuah keragaman yang dimiliki oleh Negara kita yang tercinta ini. Dengan kata lain, kita dapat membentuk sesuatu yang baru dari perbedaan-perbedaan tersebut. Solusi yang tepat untuk masalah tersebut yakni dengan cara melihat perbedaan tersebut dari sudut pandang yang positif. Kenyataannya, melalui perbedaan seseorang dapat bersaing dan berkompeitsi serta mendapatkan motivasi. Selain itu, toleransi beragama menjadi kunci terjalinnya hubungan baik atau keharmonisan didalam pembelajaran. Dalam hal ini, peran guru sangat diandalkan sebagai seseorang yang menjadi penengah antara kedua belah pihak. Seorang guru harus dapat mengatur jalannya pembelajaran dengan harmonis. Melalui perbedaan-perbedaan tersebut seorang guru dituntut harus mampu mengarahkannya kepada jalur yang positif. Dengan begitu para siswa dapat belajar dengan normal meskipun mereka berada di tengah-tengah perbedaan yang sangat kontras.
            Demikian critical yang saya tulis sebagai progress test 1 yang mengambil pembahasan dari apa yang ditulis oleh A. Chaedar Alwasilah dalam artikelnya yang berjudul “Classroom Discourse to Foster Religious Harmony” yang berisi tentang harmonisasi beragama dalam discourse. Pembahasannya berisi mengenai pokok-pokok yang harus dilakukan dalam mewujudkan harmonisasi beragama dalam sebuah pembelajaran berikut solusinya. Sepert yang saya tekankan pada teks ini bahwa toleransi merupakan hal yang terpenting dalam upaya mewujudkan hal tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

a space for comment and critic